"Namaku Seanno,"
Sean mengulurkan tangannya ke bawah saat ketiga orang yang sudah tidak asing lagi di matanya menanyakan namanya. Siapa lagi jika bukan Jeffa, Jeffry dan Emily? Ketiga orang itu menatap uluran tangan Sean dengan bingung, Jeffa menatap kembarannya lalu memandang Emily dengan tatapan bertanya-tanya.
Bukan hanya mereka saja yang kebingungan, Sean pun sama halnya dengan mereka yang ikut bingung. Bukankah mereka sama-sama berwujud manusia? Tapi, mengapa mereka malah menjadi bingung seperti ini?
"Apa kalian ada masalah dengan tanganku?" tanya Sean sambil menarik tangannya kembali lalu menatap telapak tangannya itu yang bersih, tidak ada apa-apa.
Oh iya, ngomong-ngomong kini Sean berada di atas perahu—ikut kembali dengan Lesmana. Alasan lain selain dirinya untuk membantu sang ayah, Sean pun masih ingin tahu lebih lanjut ketiga orang di hadapannya ini. Dan benar saja ketiga orang itu kembali menghampirinya, seperti tahu kalau Sean akan kembali datang ke laut ini.
"Eh, tidak-tidak. Kami hanya bingung saja dengan yang dilakukan manusia di darat." Celetuk Emily, yang langsung diangguki oleh si kembar—Jeffa dan Jeffry.
Sean sempat tertegun mendengar itu, namun dengan cepat ia menetralkan kembali raut wajahnya. Sean hanya tersenyum menanggapinya. "Kalian sejak kapan tinggal di laut? Dan apakah kalian tidak kehabisan napas berada di dalam laut terus menerus?"
Pertanyaan yang terkesan polos yang diberikan oleh Sean membuat ketiga orang itu terkekeh geli. Sontak saja Sean menahan malunya, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rasanya ia sangat malu jika ditertawakan seperti itu. Tapi, apa ucapannya ada yang salah?
"Kenapa kalian tertawa seperti itu?" tanya Sean kesal. "Sudahlah." Kemudian Sean berjalan mendekati Lesmana yang masih sibuk untuk mendapatkan ikan bersama nelayan lainnya. Dan ya, keadaan pria paruh baya itu sudah lebih membaik, tentu saja Sean senang mendengarnya.
Jeffa, Jeffr dan Emily yang melihat Sean pergi pun lantas menghela napasnya sambil menyalahkan satu sama lain.
"Kalian, sih! Coba aja kalau kalian tidak tertawa seperti tadi, mungkin Sean yang tampan itu tidak akan pergi meninggalkan kita." Dengus Emily seraya menatap kakak-kakaknya dengan kesal, ia pun mulai berenang ke sisi lain untuk mendekati Sean yang berada di sisi perahu lainnya.
"Kenapa kita yang jadi disalahkan? Bukankah dia juga ikut tertawa tadi?" heran Jeffry, sedangkan kembarannya itu hanya mengedikkan kedua bahunya tak tahu. Yang jelas tadi Jeffa tidak tertawa terlalu keras, ia masih mempertahankan raut datarnya. Karena memang begitulah sifatnya.
Sean merasa ada seseorang yang berada di sebelahnya tengah memanggil-manggil namanya, namun Sean tetap melanjutkan perbincangannya dengan sang ayah. Tetapi lama kelamaan, dirinya mulai kesal karena Emily terus memanggil namanya.
Dengan terpaksa Sean menoleh ke bawah dan menatap Emily yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang sendu.
"Apa kamu marah padaku? Tolonglah, tadi mereka yang tertawa sedangkan aku tidak."
"Sean? Kamu kenapa melihat ke bawah?" Lesmana bertanya ketika melihat sang putra yang terus menerus menatap ke air laut.
Kedua alis Sean mengerut sebelum akhirnya ia kembali menatap sang ayah. Apa ayahnya tidak bisa melihat Emily yang berada di bawah sana? Tapi kalau Lesmana memang melihatnya, mungkin tidak akan bertanya seperti itu pada Sean. Benar, kan?
"Yang hanya bisa melihatku dan saudaraku itu hanya kamu, Seanno." Ucap Emily, membuat Sean langsung menoleh dan memandang Emily dengan bingung. Mengapa bisa? Sejak kecil dirinya tidak memiliki kemampuan seperti itu—melihat orang-orang yang tak kasat mata, tetapi kenapa sekarang dirinya tiba-tiba memiliki kemampuan itu? Sangat aneh rasanya.
Lesmana mengikuti arah pandang Sean, satu detik kemudian kedua alisnya mengerut saat dirinya tak menemukan apapun di air laut itu. Dengan cepat Lesmana mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Sean. "Ada apa di bawah sana, Nak?" tanyanya heran.
Sean gelagapan. "E-eh, eung—tidak-tidak. Tidak ada apa-apa, Ayah. Sean tadi hanya tidak sengaja melihat ikan yang berkumpul di sini sangat banyak, tapi sekarang sudah tidak ada lagi." Alibi Sean, semoga saja jawabannya ini bisa membuat ayahnya percaya. Pasalnya dari awal ia sudah mulai gelagapan, Sean takut kalau Lesmana tidak mempercayai ucapannya.
"Pak Lesmana! Kita dapat ikan banyak, Pak!"
Mendengar teriakan dari Pak Jo membuat Lesmana langsung bangkit dan berjalan tergesa-gesa ke arah Pak Jo. Sean yang melihat itu lantas menghela napasnya lega diiringi usapan di dadanya, setidaknya dengan seperti ini Lesmana tidak akan bertanya lebih lanjut pagi padanya.
Pandangan Sean kembali ke arah kiri—di mana sekarang sudah ada Jeffa dan juga Jeffry yang berada di samping Emily. "Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi padaku, dua Jef, Emily."
Karena terlalu rumit jika harus menyebut Jeffa dan Jeffry, akhirnya Sean lebih baik memanggil si kembar itu dengan sebutan 'dua Jeff'. Bukankah unik? Ya, itu menurutnya unik.
"Jujur saja, ketika kami tahu kalau kamu bisa melihat kami. Kami pun sempat terkejut, tetapi ketika kami bertanya pada orangtua kami, mereka bilang kalau memang ada beberapa manusia di darat yang bisa melihat kami—manusia yang tinggal di laut." Ungkap Jeffry.
"Itu pun sangat langka, Sean." Tambah Emily.
Sean sangat tidak mengerti dengan yang terjadi saat ini, lalu mengapa harus dirinya yang bisa melihat mereka? Tapi, tak apa lah. Ia bisa memiliki teman yang berada di alam berbeda dengannya. Lagi pula di kampungnya pun, dirinya tidak terlalu banyak memiliki teman.
"Apa kamu mau berteman dengan kami?" tanya Emily.
"Berteman?"
***
Matahari terbit, itu lah jadwal para nelayan untuk kembali ke daratan. Sean tak ikut dengan Lesmana untuk pergi ke pasar, ia lebih dulu pulang ke rumah mengingat kalau dirinya sekarang sudah bekerja dan harus cepat-cepat menuju rumah Bu Darmi.
Yup, kali ini ia bekerja dari pukul tujuh pagi sampai pukul satu siang. Awalnya memang Sean bekerja dari pukul sembilan pagi hingga dua belas siang. Sean mengubah jadwalnya sendiri karena pekerjaan yang ia lakukan di rumah Bu Darmi semakin bertambah.
Masih tersisa satu jam lagi untuk dirinya pergi ke rumah Bu Darmi, Sean lebih dulu membereskan rumahnya, mulai dari menyapu hingga membereskan kamar. Lalu setelah itu, Sean bergegas untuk membuatkan makan untuknya dan juga untuk sang ayah.
Kurang dari dua belas tahun lamanya Sean melakukan hal ini. Tapi, Sean tidak pernah sama sekali mengeluh untuk melakukan pekerjaan rumah ini—yang tidak selalu harus dikerjakan oleh seorang wanita.
Ketika Sean mengizinkan Lesmana untuk menikah lagi pun, Lesmana selalu menolaknya. Iya, Sean memang tidak pernah melarang ayahnya untuk menikah lagi, tetapi Lesmana lah yang selalu tidak ingin menikah lagi.
Pria itu bilang kalau dirinya ingin menikah satu kali seumur hidup, dan itu yang membuat Sean merasa kagum pada sosok pahlawannya.
***