Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 17 - PBA 17

Chapter 17 - PBA 17

Suasana di tengah pasar yang sangat ramai dari biasanya membuat Sean merasa sesak dan panas, ditambah dengan cuaca yang begitu terik sangat tidak mendukungnya. Di depannya seorang gadis yang terus menuntun tangannya agar tidak kehilangan jejak, tidak pernah berhenti berjalan membuat Sean menjadi lelah sendiri.

Dan yang paling membuat Sean heran pun, dirinya tidak menyangka jika Geladis begitu antusias ketika berada di tengah pasar. Sean kira Geladis tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di pasar tradisional seperti ini, ternyata dugaan Sean salah besar.

Yang Sean pikirkan tentang Geladis adalah, gadis yang tidak pernah mau jika berdesak-desakan seperti ini, gadis yang hanya ingin pergi ke pasar modern alias mall. Walaupun terlahir dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan, ternyata terpendam sifat sederhana di dalam diri Geladis. Gadis yang memiliki lesung pipi.

Bukan Sean yang mengajak gadis itu, tetapi Geladis sendiri yang mengajaknya untuk pergi ke pasar. Alasannya adalah Geladis ingin pergi berjalan-jalan, dan Sean kira 'jalan-jalan' yang dimaksud Geladis adalah hanya berkeliling saja. Namun, dugaannya lagi lagi salah besar, Geladis mengajaknya untuk ke pasar tradisional.

Awalnya Sean sempat menolak ajakan Geladis lantaran masih ada pekerjaan yang harus ia cepat selesaikan, tapi ternyata Geladis mengadu pada Bu Darmi. Dan kontan saja wanita yang kini menjabat sebagai majikannya itu buka suara, yang membuat Sean mau tak mau menerima ajakan Geladis dan menelantarkan pekerjaannya untuk beberapa saat.

Dan kini Geladis menghentikan langkahnya, membuat Sean pun ikut menghentikan langkahnya. Keduanya berhenti di depan toko aksesoris. Sean hanya memandangnya datar, karena ia pun tidak mengerti dengan aksesoris perempuan yang berada di depannya. Sean berusaha melepaskan genggaman tangan Geladis, ia merasa risi saat beberapa pengunjung pasar memandangnya.

Bukan tanpa alasan lagi, Geladis terlebih lagi Bu Darmi banyak dikenal orang. Dan sejak tadi pun, keduanya menjadi pusat perhatian banyak orang.

Setelah genggamannya terlepas, barulah Sean bisa bernapas lega. Sean hanya tidak ingin jika berita ini akan sampai ke Pak Fizi, Sean akan benar-benar habis kalau itu terjadi.

"Kak Sean, yang ini bagus tidak?" tanya Geladis sambil menunjukkan gelang berbentuk kotak-kotak kecil yang berwarna-warni.

"Bagus."

Geladis mendengus kesal saat Sean menjawabnya dengan singkat. Namun, tak berselang lama raut wajahnya kembali berbinar saat melihat gelang couple lengkap dengan inisial yang menjadi penghias gelang tersebut.

Tangan mungil itu meraih gelang couple tersebut yang berinisial 'G' dan 'S'. Jelas saja Sean melihat itu, jangan bilang kalau Geladis aka—

"Kak, kita pakai ini, yuk!" ajak Geladis dengan tersenyum lebar, tangannya menunjukkan kedua gelang itu ke hadapan Sean.

Benarkan dugaan Sean?

Tidak, ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. Geladis tidak boleh bersikap berlebihan seperti ini padanya, jelas saja keduanya memiliki status yang berbeda. Sean dan Geladis hanya seorang pekerja di rumahnya dan anak majikan.

Sudah jelas itu membuat mereka seharusnya tidak sedekat ini, walaupun usia keduanya terpaut dua tahun saja.

"Bagaimana kalau kamu memakai gelang ini dengan Zyan? Pasti lebih serasi, karena kalian sepasan adik dan kakak." Sean mencoba memberi saran pada Geladis agar gadis itu berubah pikiran.

"Ide bagus, jadi kalau begitu aku membeli satu gelang lagi yang berinisial 'G'. Kak Zyan dan Kak Sean memakai gelang berinisial 'G' dan aku memakai dua gelang, 'Z' dan 'S'." Seru Geladis seraya tangannya sibuk mencari gelang lainnya yang berinisial 'Z'.

Sean menepuk keningnya seraya memejamkan kedua matanya. Bukan ini yang ia maksud! Mengapa sempat-sempatnya Geladis berpikir seperti itu? Kini harapannya semoga gelang berinisial 'Z' tidak ada dan akhirnya gadis itu tidak jadi untuk membeli gelangnya.

Ia berpikir keras mencari cara agar Geladis mau menggunakan gelangnya sendiri, tidak perlu mengajaknya untuk memakai gelang couple seperti itu. Memang kemarin-kemarin dirinya selalu memikirkan gadis di hadapannya ini, tetapi bukan berarti ia menyukai Geladis dalam artian suka terhadap lawan jenis.

Toh juga Sean tidak ingin berpikiran sampai sana dulu, mengingat dirinya masih terbilang muda. Dan Sean sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang sukses terlebih dahulu, membuat ayahnya bangga memiliki anak sepertinya.

"Yah, tidak ada..." lesu Geladis sambil menatap Sean dengan sedih.

"Yasudah kalau begitu lebih baik kamu membeli gelang yang lain saja. Ini bagus." Sarannya lagi dengan tangan yang meraih gelang berbentuk kotak-kotak kecil berwarna-warni tadi dan memberikannya pada gadis itu.

Geladis tampak menatap gelang itu lekat, lalu kembali menatap gelang couple yang berada di tangannya. Ia tersenyum lalu menganggukan kepalanya. "Iya, aku beli ini aja, Kak." Ucapnya seraya menyimpan kembali gelang couple yang berada di tangan kanannya.

Melihat itu Sean tersenyum lega. Sambil menunggu Geladis membayar, Sean mengamati sekitarnya yang semakin ramai oleh para pembeli. Terdengar pula seorang pembeli yang tengah beradu mulut dengan seorang pedagang, menentukan harga yang paling cocok pada barang yang dipilihnya, negosiasi.

"Ayo, Kak!"

Suara Geladis membuat Sean tersadar lalu tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya. Keduanya pun kembali berjalan melewati berbagai toko-toko. Saat ini kaki Sean benar-benar merasa pegal, ingin sekali rasanya mengajak gadis di hadapannya untuk kembali ke rumah namun Sean merasa tak enak.

"Kak Sean mau membeli sesuatu?"

"Eh? Tidak-tidak, Kakak tidak ingin membeli sesuatu. Lebih baik kita pulang saja." Sean menggerutu di dalam hati saat dirinya dengan refleks mengatakan hal tersebut, bisa saja ucapannya membuat Geladis merasa tersinggung, mengingat gadis itu sangat antusias sekali ketika berada di pasar ini.

"Kak Sean tidak nyaman ya melihat tatapan orang-orang? Yasudah kita pulang saja, Kak." Ucap Geladis yang langsung melenggang pergi, membuat Sean merasa bersalah.

Bagaimana pun juga Geladis adalah seorang remaja, di mana emosinya masih labil, perasaannya yang sensitif. Sean menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sebelum akhirnya ia mengikuti Geladis dari belakang.

"Geladis!" panggil Sean setengah berteriak, Geladis sudah berjalan jauh di depannya sehingga membuat gadis itu tak menoleh sedikit pun.

Sean sesekali tersenyum saat ada orang yang menyapanya, hingga Sean melewati salah satu pedagang ikan yang sudah langganan dengan ayahnya. Dengan terpaksa, Sean menghentikan langkahnya ketika wanita penjual ikan itu memanggil dirinya.

Biarlah untuk urusan Geladis bisa belakangan, tetapi walaupun ia berpikir seperti itu, di sisi lain Sean berpikir bagaimana kalau Fizi melihat anak gadisnya pulang sendirian? Sean sangat takut.

"Nak Sean!"

Kedua mata Sean mengerjap lalu menatap ke arah Geladis berlari, yang kini sudah tak lagi terlihat di matanya. Kemudian Sean menolehkan kepalanya dan menatap wanita di hadapannya dengan penuh tanya.

"Ada apa, Bu?"

"Begini, Ibu mau tanya. Apa Ayah kamu pergi ke pasar hari ini?"

"Iya, Ayah tadi ke pasar, Bu. Memangnya kenapa, ya?"

"Ayah kamu tidak datang ke kios Ibu, Nak."

Satu pertanyaan itu langsung terlintas di pikiran Sean, kenapa ayahnya tidak datang ke kios Bu Siska? Biasanya ketika ayahnya itu pergi ke pasar, pasti kios yang pertama kali didatangi oleh ayahnya itu adalah kios Bu Siska.

"Nanti saya coba tanyakan ya, Bu. Kalau tidak ada lagi yang ingin ditanyakan, saya permisi, Bu." Tanpa berbasa-basi lagi Sean langsung bergegas dari sana dan kembali mengikuti Geladis yang mungkin saja sekarang sudah keluar dari area pasar.

Sean bisa benar-benar mati jika Fizi mengetahui hal ini.

***