Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 5 - PBA 5

Chapter 5 - PBA 5

Sean kembali ke rumah dengan perasaan hampanya, tak dapat dipungkiri ketika Pak Fizi berbicara seperti itu membuat dirinya merasa sedikit sakit hati. Sean duduk di kursi reot yang berada di depan rumahnya, memijit pangkal hidungnya. Ia tidak tahu lagi harus ke mana mencari pekerjaan, ingin mencari pekerjaan ke kota pun ia tidak memiliki bekal apa-apa, ijazah SMA pun ia tidak punya.

Wajar saja Sean hanya menyelesaikan sekolahnya di jenjang Sekolah Dasar saja, tidak melanjutkan hingga Sekolah Menengah Pertama.

Tepukan di bahunya membuat Sean mendongak, dan menatap ayahnya yang ternyata menepuk bahunya. Sean mencoba untuk tersenyum pada Lesmana. "Ada apa, Yah?"

"Kamu dari mana? Ayah cari-cari di kamar kamu, kamu tidak ada,"

"Sean ada di sini, Ayah. Tidak ke mana-mana."

"Jangan berbohong, tadi Ayah keluar pun kamu tidak ada di sini. Sebenarnya kamu dari mana, Sean?"

Sean berubah menjadi gugup saat ketahuan bahwa dirinya berbohong, juga ayahnya itu menuntutnya untuk berbicara yang sebenarnya. Sean memejamkan kedua matanya sebelum akhirnya ia mengatakan sejujurnya.

"Sean baru saja pulang dari rumah Bu Darmi, Ayah,"

Kening keriput Lesmana menyernit. "Untuk apa kamu datang ke sana? Bukannya Ayah tidak menyuruh kamu untuk memberikan ikan pada Bu Darmi?"

"Iya, Ayah benar. Sean ke sana untuk meminta pekerjaan,"

"Pekerjaan? Maksud kamu?"

Laki-laki tampan itu tersenyum tipis. "Sean ingin membantu Ayah. Dengan Sean bekerja, setidaknya memiliki uang tambahan selain dari pekerjaan Ayah. Sean juga tidak tega melihat Ayah yang kelelahan. Izinkan Sean untuk bekerja ya, Ayah?"

"Tapi, apakah kamu mendapatkan pekerjaan dari Bu Darmi?"

Remaja berumur tujuh belas tahun itu menggeleng. "Tadi yang membukakan pintu adalah Pak Fizi, jadi Sean belum sempat bertemu dengan Bu Darmi karena Pak Fizi yang sudah lebih dulu menolak permintaan Sean."

Lesmana menepuk bahu putranya. "Sudah, biar Ayah saja yang mencari uang. Kamu di rumah saja menunggu Ayah pulang."

Sean menatap Lesmana dengan raut tak terbacanya. "Yah, untuk apa Sean hanya berdiam diri di rumah? Sedangkan Ayah banting tulang mencari uang. Toh, Sean juga tidak sekolah, kan? Lebih baik Sean membantu Ayah mencari uang."

Pria paruh baya itu menghela napasnya kasar. "Ayah hanya tidak mau kamu kelelahan, Nak."

"Dan Sean juga tidak mau sampai Ayah kelelahan dan berujung sakit, Sean tidak mau, Yah!"

"Yasudah, itu terserah kamu kalau kamu mau bekerja." Lalu Lesmana melenggang pergi kembali masuk ke dalam rumah. Sean menatap kepergian ayahnya dengan merasa bersalah, tadi dirinya kelepasan karena telah berkata dengan ketus seperti itu.

Mendiang ibunya tidak pernah suka jika ia berbicara dengan nada ketus seperti tadi kepada orang yang lebih tua. Sean berdiri dari duduknya dan ikut masuk ke dalam rumahnya, berniat meminta maaf pada sang ayah karena telah berbicara seperti itu.

"Ayah," panggil Sean ketika mendapati ayahnya yang tengah minum di dapur.

Lesmana menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

"Sean minta maaf, Ayah."

"Kenapa kamu meminta maaf?" tanya Lesmana heran setelah menyimpan gelas tadi ke atas meja.

"Karena Sean sudah berbicara ketus pada Ayah. Sean minta maaf." Sesalnya.

Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Ayah mengerti kalau kamu memang betul-betul ingin bekerja,"

"Terima kasih, Ayah."

***

Hari berikutnya Sean kembali mendatangi rumah Bu Darmi dengan harapan Bu Darmi lah yang membukakan pintu untuknya agar ia dapat meminta pekerjaan pada wanita itu. Setidaknya ia merasa tidak sungkan mengingat Bu Darmi orangnya yang sangat baik padanya.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek!

Sean memejamkan matanya saat pintu itu mulai terbuka. Namun, suara seseorang yang masuk ke dalam telinganya langsung membuat Sean tersenyum cerah dan menatap Bu Darmi ramah.

"Ada apa, Sean?"

"Apa Bu Darmi bisa menerima Sean sebagai pekerja di sini?"

Bu Darmi tersentak. Namun, dengan cepat ia menormalkan kembali raut wajahnya. "Memang Sean mau bekerja apa?"

"Apa saja, Bu. Pasti Sean akan lakukan." Jawab Sean dengan penuh keyakinan, senyumannya mulai terbit saat Bu Darmi bertanya seperti itu. Semoga saja setelah ini Bu Darmi akan menerimanya untuk bekerja di sini. Membantu Bu Darmi bersih-bersih rumah pun tak apa, selagi ia bisa menghasilkan uang.

"Kamu yakin?" ucap Bu Darmi memastikan.

"Baiklah. Kamu besok mulai bekerja di sini, nanti untuk pekerjaannya akan Ibu pikir-pikirkan lagi." Perkataan Bu Darmi membuat Sean langsung terlonjak senang. Ia meraih tangan Bu Darmi dan menyaliminya beberapa kali lantaran kelewat senang dirinya mendapatkan pekerjaan.

"Kalau begitu Sean pulang dulu, Bu. Besok Sean kembali ke sini pukul berapa, Bu?"

"Sekitar jam tujuh, ya,"

"Siap, Bu!"

Setelah itu Sean meninggalkan rumah Bu Darmi dan kembali ke rumah dengan perasaan yang berbanding terbalik dengan kemarin. Rasanya seperti mendapatkan uang sekarung saja ketika ia mendapatkan pekerjaan dari Bu Darmi.

Namun, senyuman bahagianya tak berselang lama mengingat betapa posesif dan galaknya suami Bu Darmi, Pak Fizi. Sepertinya ia harus ekstra hati-hati pada pria itu, tidak boleh sampai terlihat berbicara dengan Bu Darmi. Karena hanya berbicara berduaan saja dengan Bu Darmi mungkin akan membuat Pak Fizi marah besar, dan ia tidak mau jika harus kehilangan pekerjaannya.

Sean memasuki rumah dengan hati yang kembali gembira, tidak peduli dengan Pak Fizi yang terpenting dirinya tidak membuat kesalahan seujung kuku pun. Sean melihat sang ayah yang sedang berada di dapur, lalu Sean pun menghampiri  Lesmana.

"Ayah, Sean besok akan mulai bekerja di rumah Bu Darmi," ucap Sean to the point.

Lesmana langsung menoleh dan menatap putranya dengan tersenyum bangga. "Oh ya? Selamat ya anak Ayah! Kalau nanti kamu lelah bekerja di rumah Bu Darmi, lebih baik berhenti. Jangan dipaksakan ya, Nak?"

"Iya, Ayah."

"Sean," panggil Lesmana setelah dirinya duduk di samping Sean.

"Kenapa, Yah?"

"Kamu masih sering mimpi kejadian itu?"

"Akhir-akhir ini Sean tidak pernah mimpi itu lagi, Ayah. Tapi, mendengar suara ombak Sean masih merasa takut. Dan tiba-tiba bayangan kejadian itu tiba-tiba terlintas di benak Sean, Ayah."

Ia sangat paham bagaimana perasaan putranya, bukan hanya putranya saja yang merasa takut saat mendengar suara ombak. Bahkan dirinya pun yang saat ingin menjala ikan, selalu merasa takut saat ingin naik perahu tanpa sepengetahuan Sean.

Namun, ia mencoba menutupi itu semua guna tak ingin membuat Sean merasa khawatir padanya. Ia paksakan juga karena hal lain, selain mencari uang tetapi juga ia ingin menghilangkan rasa ketakutannya dengan melawannya.

Ingin sekali rasanya mengajak Sean untuk ikut dengannya agar putranya itu tidak terus menerus diselimuti rasa traumanya. Bagaimana pun juga menghilangkan rasa traumanya itu dengan melawan itu semua. Iya, mungkin di lain hari ia akan membawa Sean untuk ikut dengannya.

***