Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 10 - PBA 10

Chapter 10 - PBA 10

Sepulang dari laut Sean masih bingung akan penglihatannya tadi malam, ia takut kalau dirinya hanya salah melihat saja. Lesmana yang melihat dengan jelas akan kebingungan sang putra lantas mengerutkan kedua alisnya.

"Kamu kenapa, Nak? Ada yang mengganjal di dalam diri kamu?" tanya Lesmana pada akhirnya.

Sean langsung menggeleng dan tersenyum kikuk pada Lesmana. "Tidak, Sean tidak apa-apa, Ayah. Oh iya, Ayah akan langsung pergi ke pasar?" jawab Sean sembari mengalihkan topik pembicaraannya, karena ia sangat yakin kalau ayahnya akan terus bertanya padanya sampai menemukan jawaban yang diinginkan.

"Iya. Setelah ini Ayah akan langsung pergi ke pasar, tidak apa-apa kamu pulang saja terlebih dahulu. Lagi pula nanti siang kamu bekerja di rumah Bu Darmi, kan?"

"Yasudah, kalau begitu Sean pulang dulu Ayah. Ayah hati-hati!" setelah itu Sean melenggang pergi dan berjalan dengan cepat meninggalkan kawasan laut, ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Bagaimana bisa ia melihat makhluk yang berada di tengah laut? Padahal sebelumnya saja ia tidak pernah mengalami hal ini.

Begitu sampai di rumah, Sean langsung masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ia terduduk di kursi sambil menatap ke arah dinding dengan pandangan yang kosong, memikirkan kembali apa yang ia lihat di tengah laut tadi. Kepalanya menggeleng cepat, mencoba menghilangkan pikiran itu.

Matanya melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, masih ada waktu beberapa jam ke depan untuk berangkat kerja. Sambil menunggu hingga pukul sembilan tiba, Sean beranjak dari duduknya dan menuju dapur.

Tangannya meraih sapu lalu mulai menyapukan rumahnya yang tidak terlalu luas, selesai itu Sean mencuci piring dan kembali melanjutkan aktivitas bersih-bersih lainnya.

***

Hingga pukul sembilan pun tiba, Sean menutup pintu rumahnya lalu mulai mengayunkan kakinya menuju rumah Bu Darmi. Tadi sekitar pukul delapan, Lesmana sudah pulang jadi Sean tidak perlu mengunci pintu rumahnya. Kadang Sean merasa kasihan jika harus meninggalkan Lesmana seorang diri di dalam rumah, ketika ia pulang dari rumah Bu Darmi pun sudah berapa kali Sean memergoki Lesmana yang tengah melamun—entah sedang memikirkan apa, yang pasti ketika Sean bertanya, pria itu tidak pernah menjawab yang sebenarnya.

"KAK SEAN!"

Sesampai di rumah Bu Darmi, Sean langsung disambut oleh teriakan dari Geladis yang sedang berdiri di ambang pintu. Sean tidak ingin terlalu percaya diri kalau Geladis tengah menunggunya, tetapi ketika ia mulai masuk ke dalam rumah besar itu pun, gadis manis itu mengikutinya dari belakang.

"Geladis!" panggil Fizi dari arah tangga, membuat Geladis memberhentikan langkahnya dan menatap Fizi dengan penuh tanya.

"Ada apa, Pa?" tanya Geladis sambil melirik ke arah Sean yang sudah mulai menjauh—hampir tak terlihat punggungnya.

Fizi mengikuti arah pandang putrinya, seketika ia mendengus kesal. Jangan sampai putrinya ini menyukai putra dari seorang nelayan, mau ditaruh di mana nanti wajahnya?

"Kamu jangan pernah dekat-dekat Sean lagi!" perintah Fizi tegas, tak ingin dibantah barang sedikit pun.

"Memangnya kenapa, Pa? Geladis kan mau berteman dengan Kak Sean, apa salah?"

"Salah! Dia itu tidak pantas berteman dengan kamu. Kamu anak orang kaya, sedangkan dia? Dia hanya anak dari seorang nelayan, Geladis!" bentak Fizi. Napasnya terengah, emosinya tiba-tiba saja memuncak ketika mendengar jawaban Geladis yang terlihat santai-santai saja.

Gadis manis itu menatap Papanya dengan tatapan tak percaya, untuk yang pertama kalinya Papanya itu membentak dirinya. Sesalah apapun ia ketika sejak kecil, belum pernah mendapati Papanya membentak. Itu pun ketika Geladis dimarahi oleh Darmi, pasti Fizi selalu membela Geladis.

Tapi, kini berbeda. Geladis dibentak untuk yang pertama kalinya oleh Fizi, laki-laki yang ia anggap sebagai orang yang bisa menjaganya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Geladis langsung melenggang pergi begitu saja meninggalkan Fizi. Walaupun tadi dimarahi oleh Fizi, tetapi Geladis tetap mengikuti Sean yang sudah berada di halaman belakang.

Fizi tersadar kalau dirinya sudah menyakiti hati anak gadisnya, seharusnya ia tidak bersikap seperti itu pada Geladis. Mengingat dirinya lah yang biasanya selalu berbicara lemah lembut, tetapi kali ini ia malah membentak Geladis.

Di sisi lain Geladis yang sudah berada di halaman belakangnya langsung menghampiri Darmi yang ternyata ada di sana—tengah duduk di gazebo.

Darmi yang menyadari kalau Geladis duduk di sampingnya lantas mengangkat sebelah alisnya heran, pasalnya tidak seperti biasa Geladis diam. Yang ada gadis itu tidak bisa diam, ada saja yang selalu ditanyakan. Namun, kini gadis itu terlihat berbeda dari hari biasanya. Tapi, kalau tidak salah melihat tadi ketika menyambut Sean, Geladis tampak ceria seperti biasanya.

Tangannya melayang untuk merangkul bahu putrinya. "Kamu kenapa?"

Geladis hanya menggeleng dan tetap menatap ke depan—tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun. Darmi memandang Sean dan Geladis bergantian, lalu ia menggoda putrinya dengan mencolek dagu gadis itu.

"Lihat Sean, ya? Ada masalah dengan Sean?"

"Tidak. Geladis dan Kak Sean tidak apa-apa, hanya saja Geladis sedang kesal." Jawab Geladis sekenanya.

Kalau Geladis sedang marah pada satu orang, maka semua orang di dekatnya akan terkena imbas alias mendapatkan amukan dari Geladis. Sehingga Darmi tidak lagi berani untuk bertanya lebih lanjut.

Melihat Sean yang menghampirinya, membuat Geladis tak mengubah posisinya sama sekali, ia tetap menatap ke arah depan dengan pandangan kosong.

"Bu, setelah ini saya mengerjakan apa, ya?" tanya Sean dengan berdiri agak jauh dari Darmi, tak lupa juga pandangannya tertunduk. Entahlah ia merasa kalau dirinya harus bersikap lebih sopan pada orang yang jauh di atasnya. Ya, kurang lebih seperti itu lah sebutannya.

"Hem... oh iya! Kamu tolong cabut-cabut rumput yang tumbuh di sekitaran kolam renang ya!" perintah Darmi yang langsung dilakukan oleh Sean.

Tadi Sean sempat melirik Geladis sekilas, gadis itu terlihat murung tadi. Namun, ia tidak berani mempertanyakan itu mengingat ada majikannya di sana. Lagi pula Sean tidak ingin terlalu masuk ke dalam urusan mereka—termasuk Geladis.

Tujuan Sean di sini hanyalah bekerja, mencari uang untuk membantu Lesmana. Bukan mengikut campuri urusan mereka.

***

Tak terasa sudah pukul dua belas siang, dan itu artinya waktunya Sean pulang. Ya, hanya sebentar saja pekerjaannya. Lagi pula untuk membersihkan rumah dan segala macamnya, sudah ada asisten rumah tangga yang menjalankan tugasnya. Dan sepertinya kalau pun ia bekerja menjadi asisten rumah tangga, terlihat sangat aneh bukan?

Saat ia ingin menghampiri Bu Darmi yang berada di dalam rumah, ujung matanya tak sengaja menatap Geladis yang kini duduk di atas ayunan dengan tangan yang memegang boneka beruang. Terlihat menggemaskan sekali.

Sean akhirnya memilih untuk melangkahkan kakinya mendekati gadis manis itu, pandangannya masih sama—masih kosong, seperti tengah menyimpan kesedihan. Sean lebih memilih untuk berdiri di dekat gadis itu saja, tanpa berniat untuk ikut duduk di samping Geladis. Rasanya tidak sopan, bukan?

"Geladis," panggil Sean pelan.

Gadis itu menoleh lalu kembali menatap ke depan, membuat Sean menyernitkan dahinya heran. Bukankah tidak biasanya Geladis bersikap seperti itu padanya? Pasti Geladis selalu ramah padanya dan selalu ingin dekat dengannya, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Sean merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis manis itu.

"Kamu kenapa, Geladis?" tanya Sean ragu, ia ragu karena dari awal dirinya sudah mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia tidak ingin ikut campur dengan urusan Geladis—termasuk juga urusan Bu Darmi, Pak Fizi dan Kakak dari Geladis. Oh iya, ngomong-ngomong ke mana laki-laki yang bersama Geladis pada saat itu?

"Geladis tidak apa-apa, Kak." Sahut Geladis seadanya. Tangannya semakin mengerat pada boneka beruangnya.

Merasa kalau Geladis memang tidak ingin bercerita padanya, akhirnya Sean pergi meninggalkan Geladis seorang diri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sean menghampiri Darmi yang tengah duduk di sofa bersama Fizi, niat Sean hanya ingin berpamitan saja.

"Bu, saya sudah menyelesaikan semua pekerjaannya dan sekarang pun sudah menunjukkan pukul dua belas." Ucap Sean dengan sopan.

Darmi mengangguk. "Iya, terima kasih, Sean. Ini upah kamu hari ini."

Sean menerimanya dengan baik, setelah itu ia bergegas keluar dari rumah mewah ini. Sean merasa sedikit takut saat melihat tatapan tajam yang diberikan Fizi untuknya. Tatapannya seperti sedang ingin memakan orang. Bukankah terlihat menakutkan?

***