Kaki jenjang Sean melangkah bukan menuju rumahnya, Sean terus berjalan menuju pesisir pantai. Angin sore hari ini begitu nyaman berhembus di depan wajah laki-laki berparas tampan itu. Suara ombak yang menyapa pendengarannya pun entah mengapa membuat Sean tidak merasa terganggu sama sekali, seolah ia tidak pernah merasa trauma akan suara ombak.
Matanya mengedar ke seluruh kawasan pantai Petter. Niat awalnya ia datang kembali ke pantai Petter—yang selalu dijadikan ayahnya tempat sebagai mencari ikan, Sean datang ke sini hanya ingin memastikan bahwa penglihatannya kemarin tidaklah salah.
Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa ia melihat tiga orang remaja yang kira-kira seumuran dengannya seperti kemarin. Apa untuk memastikannya kembali ia harus kembali ikut dengan sang ayah untuk menjala ikan?
Walaupun masih ada sedikit ketakutan lagi di dalam dirinya, tetapi Sean berusaha untuk kembali seperti semula—tidak takut akan laut, apalagi suara ombak. Dan juga kemarin saat Lesmana menjala ikan, ikan yang didapat cukup banyak dari hari-hari sebelumnya. Ya, semoga saja ketika ia nanti malam ikut kembali dengan sang ayah bisa membantu lebih banyak lagi untuk mendapatkan ikannya.
"Sean!"
Merasa namanya terpanggil membuat Sean dengan cepat menoleh, kedua alisnya mengerut ketika mendapati beberapa tetangganya yang tengah berlari menuju ke arahnya. Tak ingin merasa penasaran, Sean pun ikut berjalan mendekati tetangganya itu.
"Ada apa, Pak, Bu?" tanya Sean ramah.
"I-itu Ayah kamu!"
Mendengar ayahnya disebut membuat jantung Sean berdetak lebih cepat, ia menatap tetangganya itu dengan tatapan meminta penjelasan lebih detail lagi.
Satu orang ibu-ibu serta dua orang bapak-bapak itu pun mencoba mengatur napasnya, sebelum akhirnya salah satu dari mereka kembali melanjutkan ucapannya yang mampu membuat Sean seperti jatuh dari langit hingga membentur tanah.
"Ayah kamu pingsan di depan rumah!"
Tanpa berbasa-basi lagi, setelah itu Sean langsung berlari sekuat tenaga menuju rumahnya. Benar saja, ketika ia sampai tepat di depan rumah ia mendapati ayahnya yang tengah tergeletak dengan dikerumuni oleh para tetangganya.
Melihat itu Sean merasa marah, marah karena tetangganya itu tidak membawa ayahnya untuk masuk dan malah mengerumuninya seperti itu.
Dengan cepat Sean menerobos ke gerombolan orang itu dan langsung membopong ayahnya dengan tenaga yang tersisa, masuk ke dalam rumah dan langsung memasukkannya ke dalam kamar. Selesai itu, ia kembali keluar rumah dan mengamati raut wajah para tetangganya yang tampak cemas—namun, mengapa tidak langsung membawa ayahnya masuk?
"Terima kasih," ucap Sean singkat, padat, dan jelas kemudian masuk ke dalam rumahnya dan menutup kembali pintunya. Tidak peduli jika ia disebut sombong atau apalah, yang terpenting ia sudah mengatakan terima kasih, walaupun Sean sendiri pun tidak tahu apa yang dilakukan oleh para tetangganya itu.
***
Sudah sepuluh menit yang lalu Lesmana tetap dalam keadaan pingsannya, Sean benar-benar merasa khawatir dengan kondisi tubuh ayahnya saat ini. Ingin membawa ke rumah sakit pun, ia tidak memiliki uang banyak. Sean hanya mampu membantu Lesmana agar bangun dari pingsannya dengan menggunakan minyak angin yang ditaruh di depan hidung.
Perlahan jari jemari Lesmana bergerak membuat Sean langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri ayahnya itu yang kini mulai membuka kedua matanya.
"Ayah..."
"Sean?"
"Iya, ini Sean, Ayah."
Sean tersenyum tipis ketika kedua bola mata Lesmana mulai terbuka. Tangannya ia raih lalu mengusap punggung tangannya lembut. "Ayah mau minum?" tawar Sean, yang langsung dibalas anggukan oleh Lesmana.
Dengan sigap Sean langsung meraih gelas di atas meja lalu membantu Lesmana bangun terlebih dahulu kemudian meminumkan airnya, tidak habis setengah gelas, Lesmana sudah menyuruhnya untuk menyudahi minumnya.
"Ayah kenapa bisa pingsan?" tanya Sean dengan cemas.
Bukannya apa-apa, pria paruh baya itu biasanya terlihat sehat-sehat saja. Kalaupun sakit, pasti Lesmana selalu berusaha tampak baik-baik saja di depannya. Dan Sean pun tidak terlalu khawatir karena keesokan harinya biasanya, Lesmana akan langsung sembuh. Tetapi kali ini berbeda, membuatnya semakin khawatir, ditambah lagi dengan Lesmana yang pingsan.
Lesmana tersenyum tipis. "Ayah hanya sedikit pusing saja, kamu tidak perlu khawatir dengan keadaan Ayah. Pasti besok juga keadaan Ayah sudah membaik."
Lihatlah! Sean masih merasa heran, bisa-bisanya Lesmana tersenyum ketika dalam kondisi seperti ini.
Laki-laki remaja itu menghela napasnya panjang. "Yasudah. Kalau begitu sekarang Ayah makan dulu." Sean meraih sepiring nasi yang berada di atas nakas berbahan kayu yang sudah mulai rapuh. Perlahan Sean menyendokkan nasi sedikit demi sedikit beserta sayur sop yang tadi sempat ia buat.
Hingga beberapa suap dan tersisa setengah piring, Lesmana memalingkan wajahnya, enggan untuk menerima suapan nasi dari Sean lagi. Sean pun tidak bisa memaksa, ia hanya menuruti kemauan sang ayah. Lalu menyimpan terlebih dahulu piring tadi dan meraih gelas kemudian meminumkannya pada ayahnya.
"Sekarang Ayah istirahat dulu, nanti malam Ayah jangan pergi ke laut dulu. Angin malam tidak baik untuk kesehatan Ayah yang sedang kurang fit seperti ini." Tutur Sean penuh perhatian.
"Tapi—"
"Ayah tidak perlu khawatir, nanti Sean yang akan menjala ikan." Potongnya cepat, tanpa ada keraguan sedikit pun. Entah ke mana sekarang rasa takutnya hanya dengan melihat atau bahkan mendengar suara ombak.
Tapi, kini dengan penuh keyakinannya, Sean mengatakan pada Lesmana agar dirinya yang menggantikan untuk menjala ikan.
***
Malam hari tiba, seperti yang dikatakannya tadi Sean benar-benar akan berangkat untuk menjala ikan. Toh juga, di sana ia tidak akan sendirian bukan? Masih ada teman-teman ayahnya yang lain untuk membantunya dan ia pun tidak terlalu merasa takut.
"Sean apa kamu yakin?" tanya Lesmana dengan suara seraknya sesekali meringis saat kepalanya merasa berdenyut.
Sean tersenyum hangat. "Sean yakin, Ayah. Hitung-hitung Sean juga belajar, siapa tahu nanti Sean bisa menjadi nelayan hebat seperti Ayah." Ucap Sean tegas, penuh keyakinan.
"Kalau begitu Sean berangkat dulu, Yah." Pamit Sean sembari mencium punggung tangan sang ayah.
"Hati-hati!"
Kaki Sean melangkah keluar dari rumahnya, sebelum akhirnya menutup pintu tanpa menguncinya. Membiarkan ayahnya yang mengunci pintunya. Setelah itu Sean langsung berjalan menuju kawasan pantai, yang sudah dipastikan ada beberapa teman ayahnya di sana.
Sesampainya di sana, Sean langsung menghampiri mereka—teman ayahnya dan ikut bergabung.
"Eh, kamu Sean. Ayahmu masih sakit?"
Sean mengangguk. "Iya, Pak. Jadi, Sean yang menggantikannya."
"Yasudah kalau begitu kita langsung berangkat saja, karena sudah tidak ada lagi yang ditunggu." Ucap salah satu dari mereka—yang Sean ketahui namanya adalah Pak Jo.
Ia mulai mengikuti langkah Pak Jo, beserta para bapak-bapak yang lainnya. Sebenarnya tak hanya Sean yang termuda di sini, lantaran ada seorang anak yang umurnya jauh di bawahnya. Sean tidak terlalu tahu itu anak siapa.
Sean berdiri di dekat Pak Jo yang mulai mengeluarkan peralatan untuk menjala ikannya, sama halnya dengan dirinya. Begitu sudah berada di tengah laut, Sean langsung melemparkan jaring ke dalam laut, itu yang Sean lihat kemarin ketika ayahnya menjala ikan.
Untuk kedua kalinya, Sean melihat cahaya dari dalam laut membuatnya semakin bertanya-tanya. Tak dapat dipungkiri hingga saat ini pun Sean masih merasa penasaran dan rasa ingin tahunya semakin meningkat. Padahal seingatnya dulu ketika ia ikut dengan sang ayah dan juga ibunya, Sean tidak pernah melihat cahaya itu.
Tatapan Sean mengarah ke depan dan lagi lagi ia mendapati tiga orang—dua laki-laki dan satu orang perempuan, tengah menatap ke arahnya dengan tersenyum, juga melambaikan tangannya. Sean mengerjapkan kedua matanya lalu kembali menatap ke objek yang sama, namun tak ada. Tak ada tiga orang tadi, lantas Sean mengedarkan pandangannya untuk mencari tiga orang tadi. Tetapi tak kunjung ia temukan.
Hingga sebuah suara membuat Sean mengarahkan pandangannya ke sumber suara.
"Hai!"
Tepat di samping perahunya, ia melihat ketiga orang tadi tengah menatap ke arahnya dengan tersenyum—sama seperti awal dirinya melihat mereka.
Sean menatap ketiga orang itu dengan menyernitkan keningnya, apa ia tak salah lihat? Ada orang malam-malam seperti ini menyelam?
"H-hai!" sapa Sean balik dengan kaku.
"Kamu tidak perlu kaku seperti itu, kami baik, kamu tidak perlu merasa takut." Ujar salah satu dari mereka—dan satu-satunya perempuan.
Dapat Sean lihat perempuan itu sangatlah cantik, memiliki bola mata berwarna biru laut membuatnya semakin terpana, belum lagi perempuan itu memiliki hidung yang mancung.
"Perkenalkan aku Jeffa, dan ini kembaranku Jeffry, satu lagi adik kita Emily."
***