Sean menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang terasa berkeringat, keringat dingin juga yang mulai bercucuran dari pelipisnya, jangan lupakan perutnya yang terasa melilit menahan sesuatu tapi anehnya hanya terasa melilit saja.
Pasalnya malam ini Sean akan menepati janjinya pada sang ayah untuk ikut menjala ikan. Awalnya ketika pagi hingga siang tadi, ia mencoba untuk kembali memikirkan ucapannya dan keputusannya pun sudah bulat kalau dirinya akan benar-benar ikut dengan sang ayah.
Tadi pagi sampai siang pun ia tidak merasa gugup seperti ini, tapi sekarang saat mendekati waktu untuk menjala ikan, ia merasakan gugup bukan main. Saat ini Sean sedang menunggu sang ayah selesai bersiap-siap.
Angin malam tak membuat keringat Sean mengering, bahkan angin malam yang berhembus itu semakin membuat bulu kuduknya terangkat. Jantung Sean berdetak lebih cepat saat melihat Lesmana sudah keluar dari rumah dengan membawa perlengkapan untuk menjala ikan.
"Kamu tidak apa-apa kan, Nak? Kalau kamu tidak siap, tidak apa-apa. Kamu tunggu saja di rumah, tidak perlu ikut dengan Ayah." Baru saja Lesmana akan melangkahkan kakinya, tetapi ketika melihat wajah Sean yang begitu pucat membuatnya merasa kasihan dan mengurungkan niatnya untuk berjalan.
Sean tersenyum kaku seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Sean tidak apa-apa, Yah. Sean akan tetap ikut dengan Ayah."
"Kamu yakin?"
"Yakin."
Setelah itu keduanya pun melenggang pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati dan berjalan menuju pesisir pantai. Sekitar lima menit, keduanya sampai di kawasan pantai. Sean sedari tadi menahan rasa takutnya saat melihat betapa kerasnya suara ombak itu.
Dengan langkah pelannya, Sean mengikuti Lesmana yang sudah berada jauh di depannya. Dapat Sean lihat juga banyak nelayan lain yang tengah berkumpul, siap untuk segera pergi ke tengah laut demi mencari ikan dan mengerjakan tugasnya sebagaimana profesi seorang nelayan.
Kedua bola mata Sean terpejam saat kakinya mulai mendekat ke pesisir pantai, namun bukannya ia merasa lebih tenang dengan kedua bola mata terpejam. Melainkan keringat dingin mulai turun dari dahi hingga pelipisnya, saat terlintas bayangan di mana dirinya serta sang ayah juga sang ibu tengah berteriak meminta pertolongan di tengah-tengah besarnya ombak, walaupun rasanya pada saat itu percuma saja karena tidak akan ada yang mendengarnya.
"Sean!"
"Sean!"
Untuk kedua kalinya barulah Sean membuka kedua bola matanya dan mendapati sang ayah yang berdiri di depannya. Napas Sean tersengal, bukan hanya dahi serta pelipisnya saja yang mengeluarkan keringat dingin, tetapi juga tangan serta kakinya pun sama. Bahkan terasa dingin sekarang.
"Kamu tidak apa-apa, Nak? Kamu pulang saja, ya?"
"Tidak. Sean tidak apa-apa. Tadi Sean hanya sedikit takut saja, Ayah, dan sekarang Sean sudah tidak takut lagi." Jawabnya sembari tersenyum kikuk, mencoba meyakinkan sang ayah kalau dirinya baik-baik saja walaupun sebenarnya jauh dari kata baik-baik saja.
Sedari tadi matanya enggan melihat ke arah laut, mesikpun ia tahu kalau di malam hari seperti ini air laut tidak terlalu terlihat lantaran minimnya cahaya.
"Ayah berangkat sekarang?"
Lesmana mengangguk, lalu merangkul Sean untuk mendekati nelayan lainnya—yang Sean sendiri pun belum tahu nama-namanya.
"Kita berangkat sekarang juga, ya?" ucap salah satu nelayan yang Sean kira itu adalah sebagai ketuanya.
Semuanya pun mengangguk dan kemudian mereka menaiki perahu masing-masing, tetapi ada juga sebagian yang menaiki perahu berukuran cukup besar sehingga dapat menampung beberapa orang. Sedangkan Sean mengikuti sang ayah yang mulai naik ke perahu milik Lesmana.
Perlahan Sean mulai menaiki perahu itu dengan jantung yang tak berhenti berdetak kencang. Sedari tadi di dalam hatinya ia terus merapalkan doa dan berharap kalau ia tidak akan mengalami kejadian seperti dua belas tahun yang lalu.
"Ayo, Sean berani!" tegas Lesmana memberi semangat pada sang putra, Sean yang mendengar itu tersenyum tipis.
Menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lesmana tersenyum melihat Sean yang masih berusaha mengusir rasa takutnya, tapi meskipun begitu ia tetap bangga pada Sean karena putranya itu mau melawan rasa takutnya dan keluar dari zona nyaman.
Lesmana tersenyum sebelum akhirnya ia mulai mendayung perahu, membuat perahu yang ditumpanginya perlahan-lahan mulai melaju ke arah tengah laut.
"Rileks, tidak perlu takut." Ucap Lesmana pelan sambil melirik Sean sekilas.
Tampaknya saat ini Sean tengah memejamkan kedua matanya erat. Lesmana menepuk bahu Sean beberapa kali agar Sean mau membuka kedua matanya dan menatap ke sekelilingnya—yang tidak ada apa-apanya karena gelap juga, yang terdengar hanya suara air.
Perlahan Sean mulai mencoba membuka kedua matanya walaupun sedikit masih ada rasa takutnya. Ia celingak celinguk saat dirinya sudah berada di tengah laut. Jantungnya semakin berdetak lebih cepat dari tadi, bayangan itu mulai kembali memunculkan diri padanya membuat Sean kembali berkeringat dingin.
"Tidak perlu takut, Sean. Bayangkan di sini ada Ibumu yang senantiasa menjagamu dari kejadian buruk, bayangkan juga Ibu memeluk tubuhmu dengan sangat erat. Bayangkan di dekatmu Ibu tengah tersenyum bangga padamu karena telah mau kembali ikut dengan Ayah." Kata Lesmana, yang juga dirinya melakukan hal yang sama—membayangkan.
Membayangkan bahwa di sampingnya ada Veni yang tersenyum padanya, yang bertutur kata lembut menyemangati dirinya.
Sean yang mendengar ucapan sang ayah membuat hatinya seketika menghangat, ia mulai menampilkan senyuman manisnya—senyuman ciri khas seorang Sean adalah manis. Remaja laki-laki itu juga memiliki lesung pipi yang sebenarnya tidak terlalu terlihat, tidak seperti Geladis yang kentara sekali.
Mata Sean mempencar ke seluruh kawasan laut, hanya hitam, tidak ada apa-apanya. Rasa takutnya seolah menghilang begitu saja setelah mengikuti apa yang ayahnya katakan, ia benar-benar merasakan kehadiran sang ibu di dekatnya. Walaupun hanya membayangkannya, tetapi ia merasa senang.
"Ayah, apa sudah dapat ikan?"
"Belum, Nak."
Sean menghela napasnya lalu matanya kembali menatap ke sekelilingnya, hingga pandangannya terpaku pada sebuah sinar yang begitu menyilaukan mata di bawah laut sana. Sean mengalihkan tatapannya mencoba mencari cahaya lain di bagian laut lainnya, namun yang didapatinya adalah ketiga orang—dua laki-laki dan satu perempuan. Wajah kedua laki-laki itu terlihat mirip.
Hingga tatapannya serta ketiga anak itu bertemu, Sean tak bisa berkedip sedetik pun juga tak bisa mengatakan apapun, lidahnya terasa kelu untuk berbicara sedikit saja. Sean melayangkan tangannya untuk mengucek kedua matanya lalu kembali ke arah objek yang tadi ia lihat, masih ada ketiga orang itu dengan matanya yang menatap ke arahnya.
Lalu Sean menatap ke arah bawah laut, dan ternyata masih ada cahaya yang membuatnya silau. Jadi, apa ini benar nyata?
Ingin kembali memastikan, Sean kembali mengucek kedua matanya dan menatap ke arah ketiga orang yang berada di tempat yang sama. Kali ini ketiga orang itu tengah tersenyum padanya sembari melambaikan tangannya.
***