Mata Sean sesekali melirik ke arah seorang gadis yang tengah bermain di taman, tepat di depannya. Sedari tadi Sean tidak bisa fokus pada kegiatannya, lantaran kedua matanya yang terus ingin menatap ke arah Geladis. Bahkan ketika Geladis menghilang dari pandangannya pun, Sean mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan tersenyum lega begitu melihat Geladis masih berada di dekatnya.
Mungkin saja rasa ini bukan suka pada lawan jenis, bisa saja ia menatap Geladis seperti itu karena menginginkan seorang adik apalagi perempuan. Iya, mungkin saja perasaannya hanya sebatas itu. Tetapi, anehnya hanya Geladis yang bisa membuat jantungnya berdegup cepat.
"Sean!"
Sean menoleh ke sumber suara dan mendapati Bu Darmi yang berdiri di ambang pintu—yang menghubungkan halaman belakang serta dalam rumah. Sean dengan langkah tergesanya menghampiri majikannya dan berdiri di hadapan wanita itu dengan kepala yang tertunduk.
Ia memejamkan matanya karena takut jika Bu Darmi mengetahui bahwa dirinya sedari tadi tak berhenti menatap putrinya. Namun, ketakutan Sean sirna begitu saja saat mendengar ucapan Bu Darmi.
"Kamu tolong siram tanaman saya, ya!" perintah Bu Darmi, yang langsung diangguki oleh Sean. Laki-laki itu menghela napasnya lega saat Bu Darmi memanggilnya hanya untuk menyuruhnya saja.
Setelah Bu Darmi melenggang pergi dari hadapannya, Sean langsung berjalan dengan pelan namun pasti mendekati beberapa tanaman yang berada di dekat kolam renang. Sean sebenarnya tidak terlalu paham dengan tanaman-tanaman seperti ini, namun untuk menyiram tentu saja Sean bisa.
Sean mulai menyiram tanaman itu dengan rata, sambil sesekali Sean bersiul untuk menghilangkan suasana heningnya.
"Hai, Kak!"
Untung saja Sean bisa menyeimbangkan tubuhnya saat tiba-tiba Geladis menyapanya dan berdiri di sampingnya dengan sebuah boneka sapi yang tengah dipeluknya. Sean menanggapinya hanya dengan senyuman, walaupun rasanya ingin juga menyapa balik tetapi ia sadar, ia tidak boleh berhubungan lebih dekat dengan anak majikannya—walaupun hanya sebatas teman saja.
"Kak Sean sekolah di mana?"
Sean selalu merasa minder ketika ditanya seperti itu. Rasanya ia menjadi orang terbodoh sedunia karena tidak pernah mengenal yang namanya sekolah, teman pun tidak punya. Ia hanya berinteraksi dengan ayah, serta tetangganya itu pun jarang karena ia tidak pernah keluar dari rumah. Bahkan keluar dari rumah pun bisa dihitung jari.
"Tidak. Kakak sudah tidak sekolah."
Geladis mengangguk paham. "Lagi pula Kakak sudah tujuh belas tahun. Jadi, Kakak sudah lulus ya."
"Yasudah, Kak. Geladis kembali main lagi ya, Kak Sean semangat kerjanya! Nanti setelah selesai bekerja, Kak Sean makan sama Geladis ya!"
Yang dilakukan Sean hanya tersenyum saja. Tidak mungkin juga lah ia mendapatkan makan dari Bu Darmi, apalagi dari suaminya itu, Pak Fizi. Jikalau Bu Darmi mengajaknya untuk makan pun, Sean tidak mau. Yang jelas ia merasa tidak enak, dan tidak pantas saja jika harus berada di tengah-tengah keluarga kaya raya seperti ini.
Sedangkan dirinya hanya anak seorang nelayan. Tak lebih dari itu.
***
Sore hari sekitar pukul tiga, Sean baru saja kembali ke rumah. Tadi ketika ia hendak pulang, Geladis sempat menahannya pulang dengan beralasan mengajaknya untuk makan bersama. Tentu saja Sean menolaknya. Bisa-bisa heboh jika warga di kampung Petter ini mengetahui bahwa dirinya makan bersama dengan keluarga terkaya di kampung ini.
Beberapa warga yang sering melihat dirinya keluar masuk rumah Bu Darmi pun menimbulkan kecurigaan. Namun tanpa rasa malunya, Sean mengatakan bahwa dirinya bekerja di rumah Bu Darmi ketika ada salah satu warga yang bertanya padanya.
Sontak saja pada saat itu langsung terjadi kehebohan, hampir semua warga membicarakannya. Tak ayal juga banyak warga yang membicarakan kedekatannya dengan Geladis, pada tempo hari tanpa Sean sadari Geladis ikut dengannya ke halaman depan rumah dan di sana mereka berdua berbincang—itu pun singkat.
Tetapi karena salah satu warga itu melihatnya seperti terlihat akrab dengan Geladis, langsung menimbulkan berita yang tidak-tidak. Dan Sean tidak menanggapi itu, karena percuma saja jika ia mengelaknya pasti semua orang akan berprasangka padanya bahwa ia berusaha menutup-nutupi sesuatu.
Namun hari demi hari pun berita itu kian menghilang, tak ada lagi yang membicarakannya. Sean akhirnya bisa bernapas lega.
"Makan dulu, Nak," ucap Lesmana saat menghampiri Sean yang tengah duduk di kursi depan rumahnya.
Sean menoleh lalu tersenyum sambil mengangguk. "Ayah sudah makan?"
"Sudah. Sekarang tinggal giliran kamu yang makan."
Keduanya pun memasuki rumah, dan tiba di dapur. Sean menatap hidangan di depannya yang terlihat mewah, tepat di sana ada satu potong ayam goreng dan juga telur lengkap dengan nasi putihnya. Sean menoleh dan menatap Lesmana penuh tanya.
"Ayah memiliki rezeki dari orang baik," kata Lesmana seolah tahu dari raut wajah Sean.
"Syukurlah. Siapa orang itu, Yah?"
Lesmana hanya tersenyum saja tanpa berniat menjawab, Sean mengerutkan kedua alisnya menanti jawaban yang diucapkan oleh Lesmana. Namun, karena tak ada tanda-tanda ayahnya itu akan menjawab sedangkan perutnya terus keroncongan akhirnya Sean lebih memilih menyantap makanan di depannya.
Selang beberapa menit, Sean pun telah selesai menghabiskan makanannya dengan ditemani oleh Lesmana. Setelah Sean mencuci tangan, Sean berjalan mengikuti Lesmana yang duduk di atas kursi kayu yang sudah mulai rapuh.
"Ayah, Sean mohon kali ini terima uang hasil kerja Sean." Mohon Sean sambil menyodorkan uang berwarna biru sebanyak dua lembar, kali ini ia diberi uang seratus ribu karena kerjanya hingga sore hari. Awalnya Sean menolak karena sudah perjanjian buruhnya adalah lima puluh ribu, namun karena paksaan dari Bu Darmi akhirnya Sean lebih memilih menerimanya saja.
"Baiklah Ayah terima. Terima kasih ya, Nak."
Sean mengangguk sambil tersenyum senang. Anggap saja itu sebagai balas budinya terhadap sang ayah yang mau merawatnya hingga saat ini, walaupun ia tahu itu tak seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan ayahnya. Juga tidak akan mungkin setara dengan uang sebanyak apapun, karena jasa kedua orang tua itu tidak ada tandingannya dan harganya sangat mahal sehingga tidak mampu jika harus menggunakan uang—sebanyak apapun uang itu.
"Ayah, nanti malam Sean akan coba untuk ikut dengan Ayah."
Ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Sean membuat Lesmana menoleh secepat kilat. Matanya menatap putranya itu tak percaya, melihat senyuman yang diberikan Sean membuatnya percaya bahwa putranya itu sungguh-sungguh akan kembali ikut dengannya dan mencoba menghilangkan rasa traumanya.
Lagi pula bagi Sean, ia tidak mau terus-terusan tenggelam dalam rasa traumanya. Bersedih boleh, tapi ia sadar ia tidak boleh terlalu larut dalam kesedihannya akan kepergian ibunya. Toh, ibunya itu dulu pernah mengatakan padanya bahwa ia harus membantu sang ayah untuk menjala ikan. Dan kini saatnya ia membantu sang ayah, seperti yang dikatakan ibunya.
***