Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 7 - PBA 7

Chapter 7 - PBA 7

"KAK SEAN!"

Teriakan dari seorang gadis kecil membuat Sean menghentikan langkahnya. Ia baru saja berjalan beberapa langkah keluar dari rumah Bu Darmi namun langkahnya harus terhenti. Sean membalikkan tubuhnya dan melihat seorang gadis tengah berlari ke arahnya.

Napas gadis itu tersengal saat sudah berdiri di samping Sean. Sean yang melihat itu hanya mampu tersenyum kecil.

"Namaku Geladis. Kalau boleh tahu, Kak Sean berumur berapa tahun?"

"Tujuh belas tahun, kalau kamu?"

Geladis mengangkat jarinya dan menunjukkan tangan kanannya satu, sedangkan tangan kirinya empat. "Empat belas tahun," jawab Geladis sambil tersenyum manis, membuat lesung pipinya terlihat.

Sean sempat terpaku melihat senyuman manis yang diberikan Geladis. Namun, dengan cepat ia tersadar kalau di depannya ini adalah seorang gadis yang terlahir dari orang-orang berada, jadi ia tidak boleh terlalu suka pada Geladis.

"Kalau begitu, aku pulang dulu ya." Pamit Sean kemudian melenggang pergi dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya.

Bibir Sean tertarik ke atas sehingga menampilkan senyuman manisnya. Jadi, gadis cantik yang langsung menarik perhatiannya itu bernama Geladis. Gadis yang memiliki lesung pipi, rambut panjang yang tergerai hingga mencapai pinggang, wajah yang berbentuk bulat juga kedua pipinya yang terlihat chubby, gadis yang dapat menarik perhatian Sean itu bernama Geladis.

Kepala Sean bergerak ke kanan dan ke kiri. Tidak, ia tidak boleh menyukai Geladis terlalu jauh. Ia harus menepis rasa itu pada Geladis, karena ia tidak mungkin bisa mendapatkan Geladis bagaimana pun caranya.

"Sean, kamu kenapa, Nak?"

Sean terlonjak kaget saat suara Lesmana tiba-tiba menyadarkannya. Matanya menatap ke sekeliling, ia baru menyadari kalau dirinya sudah berada di depan rumahnya. Selama itu ia memikirkan gadis bernama Geladis sampai tak menyadari kalau dirinya sudah sampai di rumah. Untung saja Sean sampai ke rumah dengan selamat, tidak tersesat ke mana-mana.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Lesmana lagi.

"T-tidak, Ayah."

"Oh ya, bagaimana kerjaan kamu hari ini di rumah Bu Darmi? Tidak ada kendala apapun, kan?"

"Tidak, Ayah. Semuanya lancar, dan Sean hari ini mendapatkan uang." Sean mengeluarkan selembar uang berwarna biru lalu memberikannya pada Lesmana. "Ini untuk Ayah,"

Lesmana tersenyum tipis lalu menggeleng. "Tidak, itu hasil kerja kamu dan lebih baik kamu lah yang menggunakannya."

"Yasudah, biar Sean tabung saja."

Pria itu tersenyum menatap punggung sang putra yang kian menghilang. Ia beruntung sekali memiliki seorang putra seperti Sean, yang selalu berusaha untuk tidak merepotkannya. Padahal ia sendiri pun sama sekali tidak pernah merasa direpotkan oleh Sean.

"Anak kita tumbuh dengan sangat baik, Ven."

***

Seperti biasanya, malam hari Lesmana bergegas untuk menjala ikan. Lesmana menatap Sean yang baru saja keluar dari kamarnya, Sean tak pernah lupa jam-jam ketika dirinya akan pergi ke laut. Pasti remaja laki-laki itu selalu terbangun di waktu yang tepat.

"Sean, apa kamu tidak mau untuk mencoba ikut bersama Ayah lagi? Ayah ingin kamu melawan rasa takutmu itu, Nak." Ucap Lesmana begitu Sean sudah berdiri di hadapannya dengan wajah bantal.

Sean sempat terdiam beberapa detik, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut sang ayah. Sebenarnya ia pun ingin sekali menghilangkan rasa traumanya, namun entah mengapa selalu ada saja di dalam dirinya untuk tidak berniat seperti itu. Selalu ada halangan.

Tepukan di bahunya menyadarkan Sean dari lamunannya.

"Yasudah, kalau kamu belum siap tidak apa-apa. Tapi, kalau nanti kamu berubah pikiran, jangan lupa bicara pada Ayah!"

"Ayah pergi dulu."

Sean hanya bisa menatap punggung Lesmana begitu saja tanpa berniat untuk ikut dengannya. Untuk malam ini ia belum siap jika harus mendengar suara ombak yang tentunya akan membuatnya teringat pada kejadian itu—kejadian yang membuat dunia Sean hancur.

Tangannya terangkat untuk menutup pintu rumah saat dirinya tak lagi melihat ayahnya. Setelah mengunci pintu, Sean kembali masuk ke dalam kamarnya dan mencoba untuk terlelap.

Matanya memandang langit-langit kamarnya yang menampilkan genteng, tak ada tembok yang menutupinya seperti rumah-rumah orang lain. Matanya langsung melihat pemandangan genteng di depannya. Kedua tangannya digunakan untuk menjadi bantalannya.

Pikirannya berkecamuk memikirkan ucapan ayahnya tadi. Ucapan ayahnya memang benar adanya, tidak ada yang salah. Namun, entah mengapa ia belum siap jika harus kembali ikut dengan sang ayah menjala ikan.

Rasanya baru seperti kemarin ia mengalami kejadian mengerikan itu. Walaupun nyatanya kejadian itu sudah terhitung dua belas tahun yang lalu, tetapi Sean belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian itu. Masih terasa bagaimana paniknya ia dulu, dan juga pelukan erat dari sang ibu masih ia rasakan hingga saat ini.

Sean masih bersyukur bisa melihat wajah sang ibu, masih bisa merasakan hidup dengan kedua orangtua yang komplit, bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu walaupun terbilang singkat. Ia masih bisa dikatakan anak yang beruntung jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang tidak pernah melihat wajah ibunya, tidak menjalankan hari-hari bersama ibunya lantaran sudah ditinggalkan sejak lahir.

"Sean rindu Ibu."

***

Hari ini Sean datang lebih siang dari kemarin, karena ia sengaja menunggu sang ayah pulang terlebih dahulu. Agar ia juga bisa memastikan kalau ayahnya itu baik-baik saja setelah pulang dari laut. Dan lagi-lagi untuk hari ini Sean serta Lesmana harus bersabar lantaran Lesmana hanya mendapatkan satu kilo ikan saja.

Sebelum menuju rumah Bu Darmi, Sean menyempatkan diri untuk menemani Lesmana agar pria itu tidak kesepian dan tidak terlalu bersedih karena mendapatkan ikannya yang hanya sedikit. Setelah merasa kalau ayahnya tidak apa-apa ketika ia tinggalkan, Sean pun bergegas pergi menuju rumah Bu Darmi.

Belum sempat tangannya terayun untuk mengetuk pintu, pintu putih berbahan jati itu lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang gadis dengan kunciran kepang dua, membuat penampilannya semakin menggemaskan.

Sean mengerjapkan kedua matanya saat tangan mungil milik Geladis melayang untuk melambai-lambai di depan wajahnya, mungkin karena ia melamun sehingga Geladis berinisiatif melakukan hal itu.

"Kak Sean tidak apa-apa, kan?" tanya Geladis dengan kedua matanya yang membulat.

Ingin sekali Sean melayangkan tangannya untuk mencubit kedua pipi chubby milik Geladis. Namun, ia urungkan karena rasanya tidak sopan melakukan itu pada anak majikannya sendiri.

"Tidak, aku tidak apa-apa."

Geladis menganggukan kepalanya beberapa kali, membuat kedua pipi chubbynya bergoyang. "Yasudah, Kak Sean masuk, yuk! Sudah ditunggu oleh Mama Geladis." Tangan mungil Geladis melayang untuk menarik tangan Sean untuk masuk ke dalam rumahnya.

Sean menghirup udara di sekitarnya dengan sangat banyak, tiba-tiba saja pasokan udaranya mulai menipis hanya karena Geladis menggenggam tangannya. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya, hingga tanpa disadarinya kedua pipi hingga telinga Sean merah merona.

***