Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 4 - PBA 4

Chapter 4 - PBA 4

Sean memasuki rumah dengan menenteng kantong kresek hitam di tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul enam kurang, tetapi ayahnya itu belum juga pulang. Sean takut ketika dirinya masih berada di pasar, sang ayah pulang dan ternyata tidak ada orang di dalam rumah ini.

Setelah menyimpan kantong kresek itu di dapur, Sean kembali berbalik dan berjalan keluar dari rumahnya. Matanya mengedar berharap ada sang ayah yang sedang menunggu, tetapi tidak ada. Akhirnya Sean pun kembali masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke dapur.

Ia mengeluarkan semua belanjaan yang tadi ia beli dengan menggunakan uang seadanya. Kemudian Sean merogoh sakunya, masih ada uang yang tersisa lima ribu rupiah. Hanya membeli beras, telur, tahu, tempe serta minyak dapat menghabiskan uangnya cukup banyak.

Tetapi tak apa, ia ikhlas membantu sang ayah untuk memenuhi kebutuhannya. Toh, lagi pula jika ia tak membeli semua ini dari mana dirinya serta sang ayah dapat mengisi perutnya?

Terdengar suara pintu yang diketuk seseorang, membuat Sean yakin bahwa itu adalah ayahnya. Dengan langkah lebarnya, Sean berjalan menghampiri pintu lalu membukanya. Sean tersenyum saat dugannya benar, di hadapannya ini sang ayah berdiri dengan pelipis yang dibasahi oleh keringat.

Sean melihat itu hanya bisa tersenyum getir, ayahnya bekerja keras untuk bisa mencari uang sedangkan dirinya yang sudah dibilang menuju beranjak dewasa hanya bisa diam tanpa melakukan sesuatu. Mencari kerja pun sulit.

"Nak,"

"Ayah, bagaimana tangkapan ikannya malam tadi, Yah?"

Lesmana tersenyum. "Sepertinya kalau untuk lima ratus ribu masih kurang sedikit,"

Remaja lelaki itu tersenyum menenangkan. Tangannya tergerak untuk mengelus lengan sang ayah. "Tidak apa-apa, Yah. Seadanya saja."

"Iya. Nanti biar Ayah yang antarkan ke pasar."

"Memangnya Ayah tidak lelah? Biar Sean saja yang mengantarkannya ke pasar,"

Lesmana menggeleng. "Tidak perlu. Biar Ayah saja, lagi pula jarak dari rumah ke pasar kan dekat."

Akhirnya Sean pun memilih bungkam. Kalau ayahnya sudah memaksa seperti ini itu tandanya ayahnya benar-benar tak ingin dibantah. Seakan teringat kalau dirinya masih belum menyiapkan makanan untuk sang ayah, Sean pun pamit untuk pergi ke dapur.

Tangan Sean mengambil wadah berukuran kecil lalu mengisinya dengan tahu dan merendamnya menggunakan air, setelah itu memberi sedikit garam. Sambil menunggu garamnya menyerap ke dalam tahu, Sean memanaskan minyak di atas wajan dan memecahkan telur di atasnya, menaburkan sedikit garam dan menunggunya hingga sedikit kecoklatan.

*** 

Selesai berkutat dengan alat dapurnya, Sean juga selesai menyiapkan dua piring nasi serta lauknya yang hari ini adalah tahu serta telur ceplok. Sederhana memang, dan selalu seperti itu hari-hari yang dilalui Sean serta Lesmana.

Tapi mereka masih sangat bersyukur diberikan nikmat seperti ini, karena mereka yakin ada banyak orang di luaran sana yang lebih menderita dari mereka. Oleh karena itu, Sean tidak pernah berhenti bersyukur sudah bisa makan walaupun hanya dengan tahu serta telur ceplok saja.

"Sean, kamu belanja?" suara Lesmana yang memasuki dapur—yang menyatu dengan kamar mandi membuat Sean tersadar dari lamunannya.

Sean tersenyum kecil sambil mengangguk. "Kebetulan Sean punya uang di dalam celengan, Ayah. Dan kebetulan juga tidak ada beras di dapur, jadi Sean memutuskan untuk belanja menggunakan uang Sean saja, Ayah."

Lesmana yang mendengar itu lantas merasa bersalah. Uang yang seharusnya putranya itu simpan untuk kepentingannya sendiri, terpaksa harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Entah mengapa rasanya ketika mendiang istrinya itu meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya ia menjadi tidak memiliki semangat untuk bekerja.

Ketika dulu istrinya itu masih ada, setia mendampinginya, ia selalu bekerja paruh waktu di pasar sebagai orang yang membantu pembeli membawakan belanjaannya. Tetapi, sekarang rasanya begitu lelah untuk bekerja paruh waktu. Jadi, ia hanya bisa mengandalkannya dari sebagai nelayan.

"Ayah tidak perlu merasa bersalah," ucap Sean seolah bisa membaca raut wajah yang ditampilkan Lesmana. "Sean tidak apa-apa, Ayah."

Tangan Lesmana tergerak untuk mengelus puncak kepala sang putra dengan halus. "Kamu memang anak Ayah yang paling baik. Selalu seperti ini ya, Nak?"

"Tanpa Ayah minta, Sean akan selalu menjadi orang baik. Tapi, Sean minta maaf karena Sean belum bisa benar-benar membantu Ayah. Untuk saat ini Sean masih takut, Ayah..."

"Ayah paham, kamu tidak perlu ikut dengan Ayah. Kamu tunggu Ayah pulang saja di rumah."

Sean menghela napasnya panjang. Karena tak ingin terus-terusan bersedih, akhirnya Sean mengajak sang ayah untuk menyantap makanannya. Keduanya makan dengan hening, tak ada yang memulai pembicaraan karena mereka sudah menerapkan bahwa ketika sedang makan tidak boleh berbicara.

Selang beberapa menit, keduanya pun sudah selesai menyantap makanannya hingga tandas. Sean menyuruh ayahnya untuk istirahat saja sedangkan dirinya membereskan piring kotor tadi. Sean duduk di kursi kecil lalu mulai mencuci piringnya, bukan hanya bekas tadi saja tetapi dengan wajan bekasnya tadi menggoreng tahu serta telur.

Walaupun raganya sedang mencuci piring, tetapi pikirannya melayang pada keadaan ayahnya. Ayahnya itu semakin hari semakin tua, dan ia tidak mungkin terus menerus membiarkan sang ayah untuk bekerja. Dilihat dari raut wajahnya tadi saja membuat Sean bisa menebak kalau ayahnya itu sangatlah lelah.

Ia mencoba memikirkan pekerjaan yang mungkin bisa ia lakukan dan tentunya menghasilkan uang yang banyak. Hingga tiba-tiba terlintas nama Bu Darmi di benaknya, senyuman terbit di wajah Sean. Sepertinya selesai ini ia harus cepat-cepat mengunjungi rumah Bu Darmi.

***

Seperti yang dikatakannya tadi, selesai mencuci piring Sean segera bergegas menuju rumah Bu Darmi. Melihat Lesmana yang terlelap membuat Sean mengurungkan niatnya untuk berpamitan toh ia pun tidak akan terlalu lama berada di rumah Bu Darmi.

Sesekali Sean tersenyum saat ada tetangganya yang menyapanya. Lalu Sean kembali melanjutkan langkahnya menuju kediaman Bu Darmi.

Tok! Tok! Tok!

Sean mengetuk pintu rumah mewah di hadapannya. Dan tak berselang lama, pintu berwarna putih itu terbuka menampilkan sosok pria yang Sean ketahui itu adalah Pak Fizi, suami dari Bu Darmi. Sean membungkukkan tubuhnya lalu menatap Pak Fizi sopan.

"Permisi Pak, apa Bu Darmi-nya ada?"

"Ada urusan apa kamu sama istri saya?"

Sean sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Fizi. Ternyata memang benar yang dikatakan warga sini, ia pernah mendengar tetangganya berbicara kalau suami dari Bu Darmi itu sangatlah dingin serta posesif.

"Hem... s-saya mau meminta pekerjaan pada Bu Darmi," jawab Sean.

Pak Fizi menatap penampilan Sean dari bawah hingga atas lalu menatap kedua mata Sean dengan datar. "Di sini tidak membuka lowongan pekerjaan, dan ingat ini rumah! Bukan kantor atau pun tempat untuk menerima orang yang mencari pekerjaan."

Remaja laki-laki itu tersentak kaget saat pintu berwarna putih itu ditutup dengan keras, membuat Sean hanya bisa mengelus dadanya sabar.

***