Malam hari pun tiba, Sean keluar dari kamarnya dan melihat sang ayah yang tengah bersiap-siap untuk pergi ke laut. Sudah menjadi hal yang biasa bagi Lesmana ketika malam hari melakukan pekerjaannya, pria paruh baya itu terlihat sangat bersemangat pasalnya setelah mendapatkan kabar dari Sean bahwa ada yang memesan banyak ikan.
Sean rasanya ingin sekali membantu sang ayah untuk menjala ikan, tetapi rasanya sulit sekali mengingat dirinya yang masih trauma melihat ombak. Trauma itu terjadi karena...
Flashback on
Pada suatu malam Sean kecil sedang makan dengan disuapi oleh sang ibu, Sean kecil duduk di kursi yang berada di teras rumah dengan raut wajah yang menunjukkan betapa senangnya ia saat ini. Karena apa? Karena malam ini ia akan mencari ikan bersama sang ayah juga tentunya dengan sang ibu.
"Senang sekali kelihatannya anak Ibu, hm?"
Seorang wanita dengan rambut yang terikatnya tersenyum menatap putranya itu yang terlihat sangat bahagia sekali. Tangannya terulur mengusap pipi gembul Sean kecil, Sean yang diperlakukan seperti itu lantas tersenyum lebar sehingga membuat kedua matanya menyipit.
"Sean senang sekali, Bu. Akhirnya Sean dan Ibu bisa menemani Ayah mencari ikan, kita akan menemani Ayah, Bu."
Wanita bernama Veni itu mengangguk. "Iya. Oleh karena itu, Sean harus makan yang banyak agar nanti bisa menyemangati Ayah supaya Ayah bisa ambil ikannya banyak."
Sean kecil menganggukan kepalanya seraya mengacungkan kedua jempolnya. Veni yang melihat itu tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap kepala Sean kecil.
"Nak," panggil Veni. "Kamu harus tumbuh jadi laki-laki yang baik, jangan pernah menyakiti perempuan. Kalau nanti Sean sudah besar, jangan lupa bantu Ayah untuk cari ikan ya?"
Dengan wajah polosnya Sean kecil mengangguk lalu kembali membuka mulutnya meminta agar ibunya itu kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
Beberapa saat kemudian Sean kecil telah menghabiskan makanannya. Bertepatan dengan Lesmana yang datang dari dalam rumah lengkap dengan alat-alat yang sekiranya diperlukan untuk nanti di tengah laut.
"Yeay, sebentar lagi Sean akan naik perahu!" seru Sean kecil sambil berjingkrak-jingkrak. Membuat Lesmana dan Veni hanya bisa tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketiganya pun mulai berjalan meninggalkan rumah, sejak keluar dari rumah dan saat ini melangkahkan kakinya menuju pesisir pantai Sean kecil tak pernah henti-hentinya berceloteh, bertanya tentang banyak hal.
"Itu perahu Ayah," tunjuk Lesmana setelah ketiganya sampai di pesisir pantai. Sontak saja Sean kecil langsung mengalihkan pandangannya mengikuti arah tunjuk Lesmana.
Singkat cerita ketiganya pun sudah berada di tengah-tengah laut, namun satu hal yang tidak disangka-sangka tiba-tiba ada sebuah ombak besar yang datang menerjang perahu yang ditumpangi oleh keluarga kecil tersebut sampai membuat perahu itu terguling.
Sayangnya Sean kecil serta Lesmana bisa selamat dengan terbawa ombak ke pesisir pantai, namun Veni tidak dapat ditemukan.
Flashback off
Di sanalah awal mula Sean bisa memiliki trauma. Ia takut kejadian seperti dua belas tahun yang lalu kembali menimpanya. Dan sejak saat itu juga Sean tidak berani mendekati kawasan pantai. Jujur saja ketika melihat sang ayah yang akan berangkat untuk menjala ikan, ia selalu merasa takut. Takut jika nanti ayahnya tidak kembali dengan keadaan selamat, atau lebih parahnya lagi tidak pulang sama sekali dan hilang kabar.
Sean tersentak kaget saat Lesmana tiba-tiba menepuk bahu, menyadarkannya. Sean mengerjapkan kedua matanya dan menatap ayahnya dengan kikuk.
"Kamu kenapa melamun, Sean?"
"Tidak, Ayah. Sean tidak melamun. Eum... Ayah sudah mau berangkat ya?" kata Sean mengalihkan topik pembicaraan.
Lesmana mengangguk. "Ayah pergi dulu, kamu hati-hati di rumah!"
Melihat punggung Lesmana yang semakin menjauh membuat Sean merasa sedih, hingga saat ini ia belum bisa menuruti permintaan ibunya ketika ia sedang disuapi makan saat masih kecil. Ibunya itu meminta dirinya agar bisa membantu sang ayah mencari ikan ketika kelak dirinya sudah besar. Tetapi, hingga saat ini, dirinya berumur tujuh belas tahun. Sean masih belum bisa menuruti permintaan ibunya itu. Sean terlalu takut.
Seakan tersadar bahwa saat ini sudah malam, akhirnya Sean kembali masuk ke dalam rumah dan bergegas menuju kamarnya untuk tertidur lebih awal agar besok pagi dirinya bisa menyambut ayahnya pulang dan membuatkan sarapan.
***
Sekitar pukul lima pagi Sean terbangun tetapi belum juga mendapati ayahnya berada di dalam rumah, lagi pula biasanya ayahnya itu pulang ketika matahari telah terbit. Selesai mandi, Sean menuju dapur dan membuatkan sarapan untuk ayahnya.
Sean mencari lauk yang mungkin bisa dijadikan untuk sarapan pagi ini. Ia mencari ke seluruh penjuru dapur namun ia tak kunjung mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Bahkan tahu yang hampir setiap hari ia makan pun sudah tidak ada, sudah habis.
Jika biasanya saat dulu, dirinya tidak pernah tidak mempunyai lauk untuk makan. Pasti ibunya itu selalu memasakannya makanan yang sangat lezat walaupun sederhana, tetapi Sean menyukainya.
Akhirnya Sean kembali ke kamar dan membuka kotak celengan yang berada di bawah kasurnya. Tanpa berpikir panjang, Sean langsung melemparkan kotak celengan itu sehingga pecah membuat dirinya bisa mengambil beberapa lembar uang yang berada di dalam celengan itu.
"Sepuluh ribu,"
"Lima puluh ribu,"
"Tujuh puluh lima ribu,"
Sean menatap uang yang berada di tangannya, uang sebanyak ini sudah lebih dari cukup baginya. Ia menyimpan terlebih dahulu uang itu di atas kasur dan berniat membersihkan bekas pecahan celengan yang terbuat dari tanah liat itu.
Setelah memastikan tidak ada lagi pecahan celengan itu, Sean meraih uang di atas kasurnya itu lalu berjalan keluar kamar dan menuju dapur. Ia mengecek bahan pokok apa saja yang sudah tidak ada di dapurnya, semoga saja dengan uang sebesar tujuh puluh lima ribu ia dapat memenuhi segala kebutuhan dapurnya.
"Beras, tahu, tempe, minyak," gumam Sean menyebutkan bahan-bahan yang sudah habis di dapurnya. Yang ia bisa hanya menggoreng tahu, tempe, telur dan membuat nasi goreng. Ia tidak terlalu pandai membuat makanan lainnya yang diolah-olah dengan bahan lainnya.
Namun, walaupun begitu ayahnya tidak pernah memintanya untuk berganti menu makan. Mereka berdua tetap memakannya, sekali pun jika sedang tidak memiliki uang dan tidak ada untuk membeli lauk pauk maka keduanya pun hanya memakan nasi panas serta garam.
Remaja laki-laki itu meninggalkan rumahnya setelah memastikan pintunya terkunci dengan rapat. Walaupun di kediamannya ini tidak ada barang-barang berharga, tetapi rumah itu sangat berharga bagi Sean. Karena di sana, di tempat itu banyaknya tersimpan berjuta-juta kenangan. Terkhususnya kenangan bersama sang ibu.
Sean berjalan sendirian menyusuri kampungnya. Saat ini tujuannya adalah pasar. Bahkan di tempat itu pun ada kenangan dirinya bersama sang ibu, karena saat kecil ia selalu mengikuti ke mana ibunya pergi. Tetapi, kini ia hanya sendirian tanpa mengikuti siapapun dan tanpa diikuti siapapun.
***