Dua puluh menit kemudian.
Kami sampai di depan rumah, lalu aku dan Yunki bergegas keluar mobil satu persatu. Aku menggendong Hana dengan pelan, dan Yunki menggendong Hani dengan pelan-pelan juga.
"Tidur nyenyak anakku sayang," batinku yang perlahan-lahan masuk ke dalam rumah.
Sampai di dalam rumah, kami langsung menuju kamar kembar dan menidurkan kembar di atas tempat tidurnya.
"Sepertinya mereka lelah," gumamku.
"Ya anak bayi aja lelah gimana yang dewasa seperti kita," sambung Yunki.
Lalu aku langsung melirik ke arahnya dan berkata. "Kak Yunki lelah?" tanyaku.
Dengan cepat Yunki menatapku. "Apa aku kakakmu?" Yunki berbalik tanya padaku.
Padahal Yunki sudah jelaskan pada diriku kalau dia tidak suka di panggil kakak, aku benar-benar lupa akan hal itu.
"Maafkan aku," aku langsung menundukkan kepalaku.
"Oke sekarang kita harus membahas masalah panggilan untuk kita!"
Dengan cepat Yunki menarik tanganku dan menuntun diriku menuju sofa di ruang tengah. Aku hanya diam saja saat dirinya menarikku seperti itu, dan kami sudah duduk di sofa.
"Oke, jadi kamu lebih nyaman memanggil diriku apa?" tanya Yunki yabg to do poin.
Aku mengerutkan keningku. "A ... aku lebih suka memanggil dirimu kakak," jawabku yang sedikit gugup lalu menundukkan kepala.
Yunki menyentuh pundakku dan dengan spontan kepalaku terangkat dan menatap wajahnya. "Yuna, kau harus ingat kalau aku ini suamimu bukan kakakmu!" tegas Yunki.
"I ... iya aku sangat mengetahui akan hal itu," ucap aku yang masih gugup.
Yunki melepaskan tangannya yang menyentuh pundakku, ia hanya menghela nafas setelah mendengar ucapanku. Entah kenapa Yunki bersikap seperti ini padaku, ia seperti butuh nama panggilan untuk kami. Sedangkan aku bingung harus memberikan nama panggilan apa.
"Tidur saja, ini sudah malam!" Yunki langsung bangun dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya dengan wajah lesu.
Aku masih menatap kepergian Yunki yang begitu saja, aku yakin dia kecewa padaku karena aku tidak memberikan nama panggilan untuk kami.
Aku menghela napas panjang. "Kalau aku tidak memberikan nama panggilan untuk ini, setidaknya dia saja yang memberikan nama panggilan. Kenapa juga harus aku yang memberikan nama panggilan," gerutuku.
Karena sudah lumayan larut, aku bangun dari duduk dan bergegas pergi ke kamar.
Sampai di kamar.
Aku langsung membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamar.
"Apa aku harus minta maaf padanya?"
Aku mengingat kejadian tadi lagi. Yunki yang sudah pasti sedang bad mood hari ini dalam kamarnya.
"Terserah ah, untuk apa aku memikirkannya!"
Aku mengacak-acak rambutku dan mencoba memejamkan mataku untuk tidur, karena lama-lama mataku mulai mengantuk.
***
Keesokan harinya.
Jam 08.00. Aku baru saja sampai di dalam kelas.
"Tumben jam segini baru datang," ucap seorang wanita yang dari tadi sudah duduk di sampingku.
"Maklum Bell, aku agak sibuk." Merapihkan rambutku yang agak.
Bella adalah teman satu kelasku sekaligus sahabatku. Bella adalah wanita cuek dan jutek di kampus ini, bahkan lelaki pun enggan berkenalan dengannya. Jangankan berkenalan, menyapa saja enggan.
"Loh, mana kembaranmu?" tanya aku sambil melirik sekitar.
"Maksudmu, Tara?"
"Ya iya, memang kembaranmu siapa lagi?" aku mengerutkan kening atas ucapan Bella.
"Hahaha "Bella hanya tertawa. "Sepertinya dia masih di kantin dengan yang lainnya."
"Apa hari ini Jimi masuk?" tanya aku sambil berbisik.
"Ya, kenapa? Mau balikan lagi ya!" jawab Bella yang diakhiri dengan pertanyaan.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. "Untuk apa aku balikan dengannya," ucapku.
Tidak lama kemudian. Tiga orang lelaki masuk ke dalam kelas. Mereka melangkah dan menghampiri kami.
"Tara dan Jimi tadi Yuna menanyakan kalian," celetuk Bella.
"Wah sepertinya bakal ada yang balikan nih," goda seorang lelaki yang berdiri di samping Tara.
"Apaan sih Juno!" aku agak tidak suka di goda seperti itu dan aku menatap lelaki itu.
"Kenapa pesanku tidak di balas?" tanya Jimi.
"Pulsa habis," jawabku singkat.
"Weh sepertinya akan ada perang," ledek Tara.
Tara adalah kembaran Bella, mereka kembar namun beda kelamin. Tara seorang lelaki nakal, arogan dan sedikit playboy. Juno seorang lelaki playboy dan suka tebar pesona, dan Jimi sudah tidak perlu di jelaskan bahwa dia siapa. Jimi adalah mantan kekasihku sekaligus mantan calon suamiku.
Kami berlima bersahabat semenjak duduk di bangku SMP, susah senang kami selalu bersama. Aku juga tidak pernah tau bagaimana bisa memiliki mantan dengan sahabat sendiri, yang namanya cinta kita tidak bisa menebak dan merencanakannya. Semua sudah menjadi takdir masing-masing.
"Sekarang pelajaran siapa?" tanyaku pada ke empat sahabatku.
"Pelajaran pak Nandi," jawab Tara.
"Hih, malas sekali aku," ucap Jungkook sambil menggelengkan kepalanya.
Pak Nandi adalah guru bahasa Inggris di universitas ini namun belum lama kami memasuki universitas, namun beberapa sahabatku ada saja yang tidak suka dengan cara kerja para dosen di ini. Alasan mereka ngelantur semua, karena pada dasarnya mereka memang malas belajar.
"Nanti siang kita makan apa?" tanya Jimi yang mengalihkan pembicaraan.
Ke empat sahabatku paling malas belajar namun paling hobi kuliner dan Travelling. Makanya kenapa kita masuk universitas pariwisata, kami sangat hobi traveling kemana pun.
"Makan apa saja yang enak asal di bayarin," jawab Juno sambil tertawa.
Tidak lama kemudian.
Bel berbunyi dan sudah waktunya para mahasiswa dan mahasiswi duduk di kursinya masing-masing. Aku duduk bersama Bella.
"Yuna, bagaimana pernikahan kalian?" tanya Bella sambil berbisik di telingaku.
"Tidak gimana-gimana," jawab aku dengan pelan.
Ke empat sahabatku mengetahui pernikahan aku dengan Yunki namun mereka tidak datang, saat itu mereka memiliki kesibukan masing-masing. Namun setelah menikah, mereka mendatangiku dan mengucapkan salam. Mereka juga tidak lupa untuk memberikan diriku haridah pernikahan.
"Selamat pagi," sapa seorang guru yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Pagi," ucap kompak seluruh orang yang ada di dalam kelas.
Dosen itu menatap kami satu persatu, sepertinya ia sedang mengabsen kami. Lalu ia memberikan senyum dengan lesung pipinya.
"Ih ngapain juga dia senyum-senyum gitu," gerutu Juno sambil mengucapkan dengan pelan agar sang dosen di dengar oleh dosen itu.
"Iri saja kau," sambung Tara.
Tiba-tiba saja seseorang lainnya datang dan menghampiri dosen kami
"Nandi," panggil seseorang itu.
"Halo," sapa dosen itu sambil membungkuk sopan.
"Bisa ke ruangan saya sebentar?" tanya seseorang itu.
"Baik Pak." Dosen itu membungkuk sopan.
Dosen yang memiliki dua lesung pipi itu adalah Nandi, guru bahasa Inggris di kelasku. Dia sangat baik ketika mengajar kami tempo lalu, namun entah kenapa Juno tidak menyukai Dosen itu.
"Mohon maaf anak-anak, saya harus izin sebentar."
"Baik Pak," ucap kompak semuanya.
"Izin lama juga tidak masalah," gumam Juno.
"Tak baik bicara seperti itu," goda Tara padanya.