"Tau ah," gerutuku.
Aku menyimpan ponselku ke dalam saku lalu bersandar pada pundak Tara. Sekilas aku melirik ke arah depan, ternyata Jimi sedang menatapku. Lalu aku menatapnya juga dan aku seperti merindukan suasana ini. Suasana di mana diriku saling bertatapan dengannya, lalu aku tersenyum padanya.
"Kamu kenapa sih Yun!" Sekilas Tara melirikku.
Bella juga ikut melirikku. "Haduh mereka malah saling bertatapan," celetuk Bella setelah melihat diriku dan Jimi yang masih bertatapan.
Tidak lama kemudian. Pesanan makanan sudah datang, karena kami semua sedang lapar. Kami langsung menyerbu makanan itu.
Dua puluh menit kemudian.
"Kenyang," ucap Juno sambil mengelap bibirnya dengan tisu.
"Nikmat sekali," sambung Tara.
"Sudah pasti nikmat karena gratis," sindir ku.
"Yang gratis memang nikmat ya bang," lanjut Bella sambil menepuk pundak Tara, dan Tara hanya menganggukkan kepalanya.
***
Jam 13.00.
Aku baru saja sampai di kantor Yunki. Aku bergegas masuk ke dalam ruangannya namun.
"Selamat siang nyonya," sapa seorang wanita yang sudah ada di depanku, ia juga membungkuk sopan padaku.
"Iya, siang."
"Nyonya mau bertemu dengan Tuan Yunki, ya?" tanya seorang wanita itu.
"Iya, maaf kamu siapa ya?" jawabku dengan di akhiri pertanyaan padanya.
"Perkenalkan saya Lia sekertarisnya Tuan Yunki," jawab Lia sambil tersenyum.
"Oh, iya. Apa Kak Yunki ada di dalam?" tanya aku yang agak bingung.
Biasanya kalau aku ke sini tidak pernah di sambut sekertarisnya, tapi kenapa sekarang di sambut seperti ini? Apa dia sedang menemui wanita gatal itu lagi?
"Tuan Yunki pergi dengan membawa anak-anak di stroller," jawab Lia.
"Pergi? Ke mana?"
"Tuan Yunki bilang akan pulang ke rumah nanti kembali lagi ke kantor," jawab Lia dengan ramah.
"Loh, kenapa pulang? Aku sudah di sini padahal," gerutuku.
"Maaf, saya tidak tau nyonya." Lia menggaruk kepalanya sendiri.
"Ya sudah, kalau begitu terimakasih!"
Aku menepuk pundaknya lalu melangkah pergi begitu saja. Lia membungkuk lagi walaupun diriku sudah pergi dari hadapannya.
"Apa mereka tidak saling berkomunikasi?" gumam Lia.
Aku berlari menuju luar gedung dan mencari taksi untuk menuju rumah.
"Kenapa juga dia tidak memberitahuku kalau mau pulang ke rumah," gerutu aku yang masih kesal dengannya.
Sambil menunggu taksi di pinggir jalan, aku mengambil ponselku untuk mengecek apa ada notifikasi darinya.
Setelah mengecek. "Dia memang tidak menghubungi diriku."
Taksi sudah berhenti di depanku, dengan cepat aku langsung masuk ke dalam taksi itu.
"Pak, ke alamat ini ya!"
Aku memberikan sebuah alamat pada supir taksi itu, lalu supir taksi itu mengambil alamatku dan menganggukkan kepalanya.
"Baik Nona!" Supir itu langsung mengemudi menuju alamat yang sudah aku berikan.
"Kenapa dia merepotkan diriku sih," aku masih kesal dengannya karena tidak memberitahu diriku.
Setengah jam kemudian.
Aku sudah sampai di depan rumah lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
"Kenapa kau lama sekali," ucap Yunki yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Baru juga aku masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, namun aku melihat raut wajah Yunki yang seperti sedang kesal. Kenapa dia memberikan raut wajah seperti itu padaku?
"Lama?"
Aku mengulang ucapan Yunki dan Yunki menganggukkan kepalanya, lalu ia bangun dari duduknya dan hendak melangkah pergi. Tapi, aku menahan tangannya. Yunki menoleh ke arahku.
Aku menatapnya dengan serius. "Ini maksudnya apa sih? Tadi aku ke kantor tapi kenapa kamu ada di rumah?" tanya aku yang sedang kebingungan.
"Kamu?"
Yunki mengerutkan keningnya. Apa dia tidak suka di panggil kamu? Di panggil kakak juga tidak suka, lalu dia sukanya di panggil apa? Kenapa dia selalu membuatku serba salah ketika ada di hadapannya.
Aku menghela nafas dan mencoba sabar menghadapi tingkahnya, lalu aku mengatakan. "Kakak enggak memberitahu aku kalau kakak mau pulang ke rumah, dan ..."
Aku belum selesai bicara namun Yunki langsung berbicara. "Aku tidak suka di panggil kakak, dan aku ada di rumah karena tidak mendapatkan balasan apapun dari pesan yang aku kirim padamu, jadi. Apa ini salahku?" Yunki berucap dengan nada cepat membuat diriku semakin bingung.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapannya. Aku merasa kalau Yunki sedang menyalahkan diriku atas situasi ini, padahal ini bukan salahku tapi salah dia. Kenapa dia enggak menghubungi aku dan memberitahuku kalau dia akan pulang ke rumah, jadi aku tidak akan pergi ke kantornya kalau begitu.
"Balasan mana? Kakak juga enggak mengirim pesan apa-apa lagi padaku."
Yunki melepaskan tanganku yang sedang menahan tangannya. Yunki membuka pintu dan pergi begitu saja. Aku ingin mengejarnya namun wajah Yunki benar-benar tidak enak di pandang.
"TAU AH!"
Aku langsung melangkah ke dalam rumah dan menuju kamar kembar.
Sampai di kamar kembar. "Halo," sapa aku pada kembar.
Ternyata kembar masih membuka matanya dan belum tidur siang, lalu aku mengambil botol susu yang sudah di buat oleh Yunki.
"Hana. Hani, kenapa ayahmu memperlakukan diriku seperti ini? Sebenarnya apa salahku?" tanya aku sambil menatap kembar.
Aku langsung memberikan dua botol susu pada kembar dan kembar langsung menghisapnya dengan lahap, sepertinya kembar sudah kehausan.
"Percuma aku bicara sama kalian karena kalian enggak bisa menjawab pertanyaannya aku," ucap aku yang sadar akan hal itu.
Sepuluh menit kemudian.
Susu kembar sudah habis dan mereka sudah tertidur lelap, lalu aku menyimpan kembali botol susu itu di atas meja.
"Tidur yang nyenyak ya anak-anak aku sayang," aku mengusap pipi kembar secara bersamaan, aku mengusapnya penuh hati-hati agar mereka tidak bangun.
Setelah itu, aku pergi dari kamar kembar dan melangkah menuju kamarku.
Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. "Hari yang menyebalkan," ucapku yang sesekali memejamkan mata.
Lama-lama aku tertidur karena lelah, lelah berlari kesana-kemari untuk bisa pulang ke rumah.
Lima menit kemudian.
"Yuna," panggil seorang wanita dengan gaun putih yang sangat indah.
Aku langsung menghampiri wanita itu, dan. "Kak Yura!"
Aku langsung memeluknya dengan erat. Yura membalas memelukku sambil mengusap punggungku.
"Kak," aku melepaskan pelukan itu dan menatapnya. "Kenapa suami kakak menyebalkan? Aku selalu serba salah saat berada di dekatnya," ucapku yang sedang mengadu pada kak Yura.
Yura mengusap kepalaku dengan lembut. "Yunki tidak menyebalkan, mungkin kamu yang kurang peka dengan perasaannya," jawab Yura sambil tersenyum.
"Enggak peka bagaimana, kak? Coba kakak bayangin aja, hari ini dia membuat aku bolak-balik."
"Haha, kamu sendiri yang enggak membalas pesannya!"
"Selalu deh kakak membela suami," ucapku sambil cemberut.
Yura mengusap kepalaku lagi. "Yuna, Yunki itu ingin di perlakukan layaknya suami olehmu. Jadi mulai sekarang perlakukan dia layaknya sebagai suamimu, oke!"