"Maksud kakak apa? Aku harus malam pertama dengannya? OMG, itu tidak mungkin!"
"Bukan gitu Yuna, layaknya suami bukan harus malam pertama dengannya. Tapi, Yunki mau di panggil sayang olehmu."
"I ... ih, itu enggak mungkin!"
"Yunki emang gitu Yuna, dia selalu ingin di panggil sayang dengan pasangannya. Makanya kenapa dia selalu cuek padamu, kan!"
"Hem, baiklah akan aku coba!"
"Selamat mencoba!"
Perlahan-lahan Yura meninggalkan diriku sambil memberikan senyuman manis, lalu aku mengejarnya karena ingin memeluknya. Tapi, tiba-tiba saja Yura menghilang dengan sangat cepat.
"Kak!"
Aku mencoba mencari keberadaan kak Yura, namun tidak ada. Aku juga sedang berpikir ada di mana diriku saat ini? Tempat ini aku sangat tidak mengenalnya.
"Kak Yura!" teriak aku yang masih mencari keberadaan sang kakak.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang muncul di hadapan aku dan aku berteriak dengan sangat kencang. Lalu aku berlari begitu saja karena wajahnya sangat mengerikan.
"KAK YURA!"
Aku teriak lalu bangun dari tidurku, aku langsung melirik ke arah sekitar. Aku mencoba mengatur nafas dan memukul-mukul pelan kepalaku.
"Bisa-bisanya jam segini mimpi," ucapku lalu bangun dari tempat tidur.
Aku pergi dari kamarku dan melangkah menuju dapur. Sampai di dapur, aku membuka kulkas dan mencari botol air. Lalu aku meneguknya.
Setelah itu. "Ah, segar!"
Aku kembali menyimpan botol itu di dalam kulkas dan menutup kulkas itu. Lalu aku melangkah menuju meja makan, aku melihat banyak makanan di atas meja.
"Apa tadi kak Yunki masak?" gumamku.
Lalu aku mengendus-endus makanan itu, aku menyentuh mangkuk dan piring itu.
"Iya sepertinya tadi kak Yunki masak," ucapku.
Aku duduk di kursi, mengambil sumpit dan mencicipi semua makanan yang ada di atas meja.
"Ah makanannya enak banget," ucapku setelah mencoba beberapa makanan itu.
Sepuluh menit kemudian.
"Kenyang," batinku sambil mengusap perutku.
Sekilas aku membulatkan mata, aku baru saja selesai makan nasi dan beberapa menu makanan lainnya. Biasanya aku tidak makan lahap seperti ini, apa diriku sangat lapar?
"Astaga! Kenapa aku memakan semua ini!"
Aku bangun dari duduk dan mencuci beberapa peralatan makan bekas makan tadi.
"Kenapa masakannya kak Yunki enak sekali," gumam aku yang masih merasakan nikmat makan makanan tadi.
Selesai mencuci peralatan makan. Aku kembali menuju kamar dan duduk di sofa.
"Hari ini kita ngapain ya?"
Aku mengambil ponsel yang ada di saku, membuka beberapa sosial media yang ku punya. Aku membuka Instagram milikku dan melihat di beranda, Jimi memposting sebuah foto. Foto saat kami sedang di Kafe namun tidak memposting wajah kami, melainkan tangan kami yang sedang menggenggam satu sama lain.
"Kenapa dia memposting ini!"
Gerutu aku, aku sangat tau ini foto tangan ini. Karena di foto itu, kami memakai gelang couple yang di belikan Jimi saat pertama kali kami anniversary.
"Haruskah aku unfollow dia!"
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Jimi, kenapa juga dia memposting foto itu? Lalu aku membaca caption yang ia berikan di foto itu.
"Pada saat itu, kami masih bersama. JiYu."
Tiba-tiba air mataku terjatuh saat membaca caption itu. JiYu adalah singkatan nama kami Jimi Yuna, singkatan itu dan nama itu selalu kami gunakan ketika memposting sebuah foto di semua sosial media yang kami miliki.
"Tapi, aku penasaran dengan perasaan Jimi padaku saat ini. Apa dia masih mencintaiku?"
Sekilas aku memikirkan perasaan Jimi, aku yakin hati dan perasaan Jimi sedang sakit karena aku menikah dengan lelaki lain. Tapi, ini bukan keinginan aku. Semuanya keinginan mendiang kak Yura dan keluargaku, aku hanya mengikuti saja karena aku juga tidak tega kembar akan di urus oleh ibu tiri. Setau aku, ibu tiri yang sesungguhnya sangat kejam.
"Aku tidak bisa membiarkan kembar mengalami semua itu," ucapku saat memikirkan sikap ibu tiri yang sesungguhnya.
Aku masih memikirkan perasaan Jimi yang pasti sangat sakit, kami masih satu universitas bahkan kami satu kelas dan lebih menyakitkan kami adalah bersahabat.
"Semoga Jimi memiliki hati yang sabar dan kuat," gumamku.
Aku tap like di postingan Jimi itu, lalu aku berkomentar dengan emoticon senyum.
"Semua sudah menjadi masa lalu dan kita hanya bisa mengenang semuanya," aku langsung menyimpan ponselku di atas meja.
***
Jam 16.00.
Yunki baru saja membereskan seluruh pekerjaannya di kantor, ia sudah bersiap-siap akan pulang ke rumah.
Namun Yunki masih duduk di kursinya dan menatap ponselnya. "Dia benar-benar tidak mengirimi aku pesan?" Yunki menaikkan satu alisnya.
Yunki masih saja kesal karena Yuna tidak mengiriminya pesan, entah mengapa dengan Yunki. Ia seperti gelisah sang istri tidak mengiriminya pesan.
"Setidaknya dia meminta maaf padaku!"
Yunki langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dengan sangat kasar, lalu ia menggenggam tas kerjanya dan melangkah menuju pintu.
"Dia tidak seperti Yura!"
Lagi-lagi Yunki membandingkan Yuna dengan Yura. Yunki benar-benar tidak bisa melupakan mendiang istrinya. Memang tidak mudah melupakan seseorang yang sangat berarti di dalam hidup kita, walaupun seseorang itu sudah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Meninggalkan semua kenangan dan berbeda alam.
"Apa dia makan masakan aku di atas meja?" Lagi-lagi Yunki masih memikirkan yang di rumah.
Sebenarnya Yunki ini agak gengsi, ia juga sebenarnya sangat perhatian dengan pasangannya. Tapi entah kenapa dengan Yuna ia benar-benar seperti itu, mungkin ini baru awal saja. Nanti juga lama-lama terbiasa dan Yunki pasti akan selalu perhatian dan memperhatikan Yuna seutuhnya.
"Selamat sore, Bos," sapa Lia sambil membungkuk sopan.
"Sore, pulang ya jangan kerja terus!" Yunki langsung melangkah pergi begitu saja setelah menutup pintunya.
"Baik Bos!" Lia membungkuk lagi.
Yunki sudah di depan mobilnya, ia langsung masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin mobil dan tidak lupa menyalakan AC. Yunki menghela nafas saat melirik ke kursi sebelahnya yang kosong.
"Apa hari ini pekerjaan kamu banyak?"
Yunki bertanya sendiri pada kursi kosong itu, kursi itu biasanya di tempati oleh Yura dan pertanyaan tadi yang selalu Yunki berikan pada Yura saat dirinya menjemput sang istri ke kantor.
"Move on, Yura sudah bahagia di sana!"
Yunki menyentuh stir mobilnya dan berusaha mengemudi menuju rumah, karena di rumah juga ada tiga wanita yang sedang menunggunya pulang.
Yunki menghela nafas. "Yuna pasti tidak akan pernah meninggalkan diriku," ucap Yunki.
Yunki benar-benar takut di tinggalkan untuk ke dua kalinya, ia selalu berdo'a pada Tuhan agar pernikahan ini bertahan lama. Sampai maut memisahkan mereka berdua.
"Let's go home!"
Yunki sudah memakai sabuk pengamannya lalu mengemudi menuju rumah, ia mencoba tersenyum untuk menerima kenyataan ini.