Varo menatap malas pada gadis yang sedari tadi mengikutinya tanpa henti, hari libur kali ini benar-benar menyebalkan baginya, hari yang seharusnya ia habiskan untuk bersantai jadi berantakan karena gadis itu.
Tentu ini perintah dari sang ayah, mengingat ia telah berjanji pada Laras untuk tidak melawan lagi pada keputusan ayahnya, terlebih jika perintah itu tidak menimbulkan hal negatif atau sebagainya, toh juga hanya disuruh menjaga, tidak lebih.
"Hei, kau! bisa membuat jus tidak?" tanya Varo lantang.
Gadis itu menggeleng pelan, "lagipula kenapa menyuruhku? bukankah kau masih punya dua tangan?" jawabnya acuh.
Varo tertawa tidak percaya dengan jawaban yang dilontarkan gadis itu, "Kau tidak tau diri, yah? coba kau fikir, jika aku tidak menyelamatkanmu apa yang akan terjadi denganmu dan pria hidung belang itu, atau bisa saja kau dijual lalu dibunuh dinegara sana!"
Gadis itu hanya mengidikkan bahunya acuh, "Lagipula, apa aku meminta diselamatkan? sekarang disini yang idiot siapa?"
"Gadis sialan beraninya kau!! menyesal aku telah menyelamatkanmu, sekarang pergilah dari sini!" bentak Varo keras, ia bangun dari duduknya lalu menunjuk kearah pintu.
"Keparat! aku punya nama, Nayla! bukan gadis sialan yang kau sebut itu!" Nayla ikut bangun dari duduknya kemudian menatap nyalang pria yang ada dihadapannya.
"Mulutmu sampahmu tidak berhak mengatai orang sepertiku secara sembarangan! kau sudah melanggar batasmu. Sekarang, keluarlah dari sini sebelum aku menggunakan cara kasar!"
"Paman!!"
"Shit, apa gadis itu mengadu?" batin Varo mengumpat kasar.
Tidak berlangsung lama setelah teriakan Nayla menggelegar, Tn. Syam sudah nampak diatas bersiap melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
"Ada apa lagi?" Tn. Syam mengawali pembicaraan.
"Paman, dia mengusirku dan juga hampir memukulku. Dia benar-benar menyeramkan, jahat sekali kepadaku, paman." Gadis itu bersembunyi dibelakang Tn. Syam, berakting layaknya sedang ketakutan dengan seringai yang diam-diam ia tampilkan dibalik sana.
Varo tidak terkejut dengan pernyataan Nayla, memang ada benarnya. Tapi kenapa gadis itu mendadak jadi dramatis seperti ini, apa dia mantan peserta di sebuah casting film yang tidak lulus? pasalnya bakat aktingnya sangat kuno.
"Aku tidak habis fikir dengan ayah. Kenapa harus repot-repot menghabiskan uang banyak demi menyelamatkan gadis sepertinya, attitudenya rendahan sekali!" sergah Varo.
"Kau tidak punya rasa simpati sedikitpun dengannya? kau tidak kasihan melihat dia yang dijual paksa oleh ayah kandungnya sendiri?"
"Mungkin karena itu dia menjualnya, ayah! sifat aslinya membuatku kesal, aku tidak menyukainya. Kenapa tidak biarkan dia berkeliaran diluar sana sebagai jalang saja?!"
PLAK
Tn. Syam melayangkan satu tamparan keras pada Varo, ia meraba sudut bibirnya yang ternyata mengeluarkan sedikit cairan merah. Sebegitunya sang ayah membela gadis itu hingga mengangkat tangan pada anaknya sendiri.
Varo tersenyum miris, "Aku tau betul gadis macam apa kau, bersembunyi dengan wajah polos tapi sifat yang bertolak belaka, cih! kuharap ayah tidak menyesal dengan keputusanmu sejak awal, permisi."
Varo memundurkan langkahnya dari sana, ia meraih kunci mobil yang berada didekat televisi, ia butuh menenangkan diri saat ini.
-
Mungkin bagi kebanyakan orang hari Minggu adalah waktu yang tepat untuk beristirahat sejenak atau bepergian kesuatu tempat untuk melepas penat. Tentu tidak bagi gadis ini, ia lebih memilih menyempatkan dirinya datang dan membantu mengelola toko bunga sang ibu yang memang sejak awal dititipkan padanya.
Sudah menjadi kebiasannya, setiap hari Minggu ia tak pernah absen untuk datang guna mengecek seberapa aktif karyawan yang bekerja, serta menghitung jumlah penghasilan toko yang meningkat setiap minggunya.
"Ini data lengkap toko kita ni Minggu ini, bu," Sang karyawan menyerahkan sebuah map berisikan data terkait penjualan bunga Minggu ini. "Oh yah, bu. Kenapa Minggu lalu ibu tidak datang? kami sedikit kewalahan mengimbangi jumlah pemasukan bunga dan beberapa catatan mengenai pengeluaran bunga, maaf bu jika saya lancang bertanya." Karyawan wanita itu sedikit membungkuk sopan.
"Tidak usah seformal itu, oh yah dan untuk masalah itu, saya benar-benar minta maaf, yah. Tugas kampus benar-benar membuatku kewalahan hingga lupa jika aku harus mengecek toko ini, sekali lagi maaf dan saya usahakan itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya." Ia tersenyum hangat pada karyawannya membuat sang empu ikut tersenyum mendengarnya. Ibu bosnya ini memang kelewat baik.
"Oh, yah bu Laras. Ingin saya buatkan minuman?"
Laras menggeleng kemudian tersenyum, "tidak usah. Aku bisa membuatnya jika aku mau, kau kembalilah bekerja, semangat yah." Laras menepuk pelan bahu karyawan wanitanya sebagai tanda memberi semangat.
Semuanya kembali seperti semula, Laras tersenyum menatap para karyawannya yang sibuk melayani beberapa pembeli. Masalah mengenai data penjualan, seperti biasa selalu meningkat setidaknya satu persen hingga tiga persen dari biasanya. Hanya saja, Laras merasa kurang enak dengan karyawannya karena sudah membuat mereka kewalahan menangani toko itu sendirian.
Suara lonceng pintu berbunyi pertanda seseorang baru saja masuk, Laras menolehkan kepalanya, ia kemudian tersenyum menemukan kendati sahabatnya yang perlahan berjalan kearahnya.
"Hai nona pengusaha muda yang cantik, aku datang berkunjung." Pria itu tertawa sendiri setelah melontarkan leluconnya.
"Tidak juga 'kok, ini usaha ibuku bukan aku. Aku hanya sedikit membantu saja mengelolanya." Jawab Laras tanpa melunturkan senyumannya.
"Rendah hati sekali 'sih, cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku dimasa depan."
"Verga!! kau selalu saja!" Laras mencibir kesal membuat pria itu tertawa memegangi perutnya.
"Aku hanya bercanda, ras. Hidupmu serius sekali, atau jangan-jangan kau memang ingin hal itu terkabul, yah?"
Lagi, Laras dibuat kesal olehnya, gadis itu mengambil ancang-ancang untuk melayangkan cubitan pada perut kotak milik Verga.
"Kali ini tidak akan kubiarkan kau menyentuhnya." Verga menahan tangan gadis yang lebih pendek darinya.
"Lagipula kau selalu saja bercanda, aku sudah memiliki kekasih dan kau tidak boleh melontarkan lelucon seperti itu lagi."
Deg!
Laras membulatkan matanya, ia segera menutup mulutnya bersamaan dengan itu Verga perlahan melepas tangan Laras dari pangutannya. Ia memandang kosong gadis yang ada dihadapannya.
"Maaf, aku tidak berniat menutupinya, lagipula ini baru terjadi semalam, Verga maafkan aku." Laras berusaha meraih tangan pria itu, tapi dengan cepat Verga menjauhkannya dari jangkauan Laras.
Hening sesaat menerpa keduanya, hingga Verga membuka suara.
"Dengan siapa?" terdengar begitu dingin, Laras mengangkat pelan kepalanya menatap sedikit takut pada pria itu.
"V-varo." Laras kembali menunduk.
"Kau gila?! aku tau kau tidak mungkin sebodoh itu, Laras apa kau bercanda?!" Verga mengguncang pelan bahu Laras, melempari gadis itu dengan banyak pertanyaan secara tidak sabar.
"Aku serius, Vee. Semalam dia datang, kulihat dia sangat rapuh, hatiku ikut sesak melihatnya. Aku tidak bisa berbohong ketika dia menanyai perasaanku yang sebenarnya, aku masih sangat mencintainya, kami saling mencintai hanya saja ada tembok besar yang pernah menghalangi kita, kami akan berusaha membuat tembok itu runtuh." Laras berucap dengan penuh perasaan, ia berharap sahabatnya itu akan mengerti dirinya.
Verga menghela nafas kasar, ia mengangkat kepalanya menatap langit-langit toko itu, berusaha sekuat tenaga agar tidak menumpahkan cairan bening yang bersiap terjun dari pelupuk matanya.
"Vee, aku harap kau mengerti. Dia tidak sejahat yang kau fikirkan, sudah kukatakan hanya ada tembok yang berusaha memisahkan kita." Ucap Laras memelas.
"Sayang, aku datang."
Suara itu membuat Verga memejamkan matanya, menutup rapat mulutnya yang hendak mengeluarkan sebuah kata.