Terdengar suara helaan nafas dari pemuda diseberang sana. Bagi Andi, Varo ini memang sangat plin plan, kenapa melakukan sesuatu tidak dari dulu saja dan langsung pada intinya. Bukan karena apa-apa, tapi Andi juga punya kesibukan sendiri, tidak selamanya ia bisa melakukan semua hal yang diperintahkan oleh Varo.
"Maaf, kali ini aku tidak bisa, jika mau kau lakukan saja sendiri. Aku cukup muak ketika kau memprotes tindakan yang pernah kulakukan." Jawab Andi dibalik telepon.
"Kenapa? kau meminta bayaran?" Varo terkekeh diakhir.
Andi menggeleng meski sang sahabat tidak melihatnya, "uangku sudah banyak, aku tidak butuh bayaran. Lagipula, aku melakukan beberapa perintahmu itu hanya karena aku senang saat melakukannya, i do what i want to do." Andi.
"Apa yang menghalangimu sehingga kau tidak mau? berikan aku alasan yang masuk akal." Varo menuntut.
"Itulah mengapa aku melakukannya dengan cepat waktu itu, dan kau memprotes tindakan ku, kau tau? aku sangat kesal mendengarnya. Setelah hari itu, aku menyadari, kau tidak membutuhkan siapapun, kau hanya menuntaskan rasa egoismu. Sekarang kau bisa melakukannya sendiri, aku sibuk."
"Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Kenapa disaat aku belum menyuruhmu bertindak, kau sudah lebih dulu mencelakai Verga dengan memblog rem mobilnya, kau tau? Laras nenyalahkanku dalam hal itu, bagaimana jika dia tau kalau ini rencanaku tapi kau yang melakukannya? sebagai balasannya, kau harus tetap mengerjakan yang kuperintahkan!" tekan Varo.
Lagi, Andi menghela nafas, "Varo, jangan egois! aku juga punya kesibukan," Andi terdiam sejenak, mencoba mengatur nafasnya, tak ingin berujung debat dengan sahabatnya. "Baik, akan kufikirankan diwaktu luang. Untuk saat ini jangan menghubungiku terlebih dahulu."
Andi memutuskan sepihak sambungan teleponnya dengan Varo, takut berujung debat dan berakhir perkelahian antara mereka. bagaimanapun, keduanya sudah berhubungan baik sejak lama. Meski Andi setahun lebih muda dari Varo, tetap saja fikiran Andi lebih dewasa dari Varo.
"Wow! jika Laras mengetahui ini, apa hubungan kalian akan berakhir?"
Varo menoleh cepat, "Nayla!"
"Kau tidak lebih dari seorang iblis juga ternyata, yah?"
"Shit! kau ikut aku!"
Varo menarik kasar pergelangan tangan Nayla menjauh dari tempat itu menuju parkir. Pria itu sedang dilanda rasa panik.
-
Alexa terdiam melongo menatap sahabatnya yang tersenyum sedari tadi, aneh. Tidak biasanya, teruntuk pemilik wajah minim ekspresi seperti angel, tersenyum itu aneh menurutnya, terlebih jika terus menerus.
"Kau kenapa? jatuh cinta?" Angel menoleh sekilas mengidikkan bahunya, setelahnya ia kembali tersenyum.
"Beruntung kantin ini sepi jika tidak, kau akan dicap sebagai pasien rumah sakit jiwa." Sahut Alexa, ia kembali melanjutkan aktivitas makannya yang sempat tertunda.
"Friendzone, aku tidak percaya haha. Alexa, menurutmu jika aku masuk ke tengah-tengah mereka, apa itu masih bisa dikatakan friendzone?" tanya Angel.
Alexa mendongak menatap Angel, gadis itu sudah tidak tersenyum seperti tadi lagi, syukurlah. "Aku tidak tahu pasti siapa yang kau bicarakan, yang jelas aku tidak mau mempunyai teman seorang perusak hubungan seseorang. Kau mungkin bisa mengatakan mereka friendzone, tapi kau tidak tau isi hati keduanya, bukan?" jelas Alexa.
Angel berdecak pelan, Alexa memang selalu seperti ini jika dimintai pendapat. "Setiap memintai pendapatmu, tak ada satupun yang pernah kau setujui, kau ini jahat atau bagaimana?" Angel mencibir kesal.
"Tentu saja, itu karena setiap usulanmu terdengar jahat ditelinga ku. Kau tau? orang sepertimu harus memiliki seorang penjaga, takutnya sifat jahatmu kambuh dan bisa mencelakai orang lain, bersyukurlah mempunyai teman sepertiku, aku selalu melarangmu membuat dosa yang lebih lagi."
"Terserahmu saja." Angel kembali menyedot minumannya.
"Angel?"
"Hm?" sahut angel tanpa menoleh.
"Sebaiknya jangan."
Angel menatap Alexa yang raut wajahnya nampak serius, ia tahu betul maksud sahabatnya itu. "Tenang saja dan lanjutkan makananmu, diusia seperti sekarang harusnya kau sudah tinggi sepertiku."
"Angel jangan mengalihkan pembicaraan, aku sedang serius!" sarkas Alexa.
"Iya Alexa, tidak akan kulakukan. Kau cerewet sekali 'sih!"
"Kuharap ucapanmu sesuai dengan perlakuanmu." Gumam Alexa.
-
Varo sudah benar-benar kewalahan mengikuti kemauan Nayla, gadis itu sudah tidak punya rasa malu sedikitpun. Demi menutupi mulutnya, Varo rela menyumpalnya dengan berbagai barang yang Nayla inginkan. Beruntung uang Varo tidak akan ada habisnya, siapa yang tau jika ia mempunyai berbagai banyak usaha mulai dari kuliner restoran, salon, pakaian sampai alat komunikasi seperti ponsel. Ia menggunakan uangnya dengan sangat baik dengan membuat usaha yang berjalan lancar hingga sekarang. Impiannya hanya satu, bisa mengalahkan ayahnya.
"Jalan dengan benar! kau lambat sekali seperti siput!" kesal Nayla, pasalnya Varo memang tertinggal jauh dibelakangnya.
Bagaimana tidak lambat? barang yang ia bawa saja sudah menutupi sebagian tubuhnya, entah sudah berapa kali ia mengumpat kasar ketika tubuhnya hampir linglung karena beratnya barang yang ia bawah. Ia tau betul, Nayla sedang mengakalinya dengan mengandalkan rahasia yang baru beberapa menit ia ketahui.
"Cepat, sedikit lagi sampai mobil."
"Sialan! berhenti mengoceh! kenapa tidak kau bawa saja sendiri?!" Varo berteriak kesal.
Varo meletakkan barang milik Nayla dengan sedikit kasar, ia menutup bagasi mobil dengan bantingan yang cukup keras. Nayla tertawa renyah, itu hanya pakaian, mau dibanting pun Nayla tidak akan marah. "Oh yah, jangan lupa setelah ini kita ke toko ponsel, belikan aku merek yang terbaik." Nayla masuk lebih dulu kedalam mobil tanpa memperdulikan Varo yang wajahnya sudah memerah menahan emosi. Sungguh, ini yang pertama kalinya ada yang membuatnya menjadi babu seperti ini.
Kendati langkah Varo terhenti ketika mendengar suara notifikasi pesan dari ponselnya, ia merogoh saku celananya, dinyalakan nya benda pipih persegi panjang miliknya, bibirnya tiba-tiba membentuk sebuah lengkungan layaknya bulan sabit. Jujur, jika dia tidak sedang berada di tempat umum, dia pasti sudah melompat kegirangan.
"Okey, yang pertama aku harus membasmi hama yang duduk manis dimobilku saat ini." gumamnya dengan smirk.
Tidak ada yang membuat Varo sesenang ini jika bukan karena Laras. Benar, ia baru saja mendapat pesan dari kekasihnya, meminta agar Varo menjemputnya, Laras sepertinya membutuhkan Varo saat ini.
Tanpa sepatah kata, Varo menarik paksa Nayla keluar dari mobilnya, mengeluarkan semua barangnya yang sudah ia tempatkan secara asal di bagasi mobil.
"Sialan, apa maksudmu?!" teriak Nayla.
"Kau sebaiknya cari taksi saja, aku ada urusan yang sangat penting sekali saat ini. Teruntuk ponsel," Varo merogoh saku celananya, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang tunai kemudian ia berikan kepada Nayla. "Belilah sesukamu, kau akan mendapatkan ponsel termahal sekalipun, sisakan sedikit untuk ongkos taksimu atau kau akan pulang dengan kaki yang patah."
"Seberapa penting urusanmu?!"
"Kau tidak ada hak untuk menanyaiku, kau bukan siapa-siapa ku, selamat tinggal." Varo menyentil sedikit keras kening milik Nayla. Setelahnya, ia menghidupkan mesin mobilnya meninggalkan Nayla yang terpelongo menatap kepergiannya, masih belum percaya bahwa ia ditinggalkan sendirian.