Manusia selalu meragukan takdir yang sudah tuhan tetapkan untuknya, tak sedikit dari mereka mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya demi menghindari takdirnya. Laras sempat berpikir bodoh waktu itu, bayangan Varo selalu menghantuinya terlebih di waktu yang masih terbilang baru mereka mengakhiri hubungannya. Laras terkekeh sendiri membayangkan hal itu, sekarang Varo sudah kembali kepadanya, dia sangat bersyukur. Namun, ia seolah sudah berpasrah diri kepada Tuhan kedepannya, tidak peduli apa yang akan terjadi, badai apa yang akan melintasnya, tetap ia akan menjalani hidupnya dengan sebaik mungkin. Terimakasih tuhan.
Sepatu putih itu sudah melekat disepasang kakinya, hanya perlu sedikit diikat dan setelahnya siap untuk dipakai melangkah dengan nyaman. Laras menghampiri kaca berukuran besar dilemarinya, menyisir sedikit rambutnya yang tergerai indah kebawah, menatap pantulan dirinya dicermin. Setelahnya, ia tersenyum membentuk kurva pada bibirnya.
"Mari kita buka lembaran baru hari ini, buat yang lalu menjadi lebih baik. Hilangkan pikiran overthinkingmu, semangat!" Laras mengangkat tangannya yang terkepal keudara, memberikan support pada diri sendiri itu memang lebih baik ketimbang mendapatkannya dari orang lain.
Laras berjalan di koridor kampus, senyumnya tidak luntur sama sekali dari bibirnya, menghiraukan semua tatapan pria yang menatapnya tanpa henti. Pada akhirnya sesosok jakun tampan merengkuh pundaknya dari belakang, itu Varo.
"Kau mengejutkanku, beruntung tidak kulempari dengan tas."
"Salah sendiri, aku datang kerumahmu untuk menjemputmu, kau sudah menghilang dengan mobil tuamu. Ponselmu juga tidak aktif." Jawabnya.
"Tua seperti itu masih bisa mengantarku kekampus dengan selamat." Balas Laras.
"Lupakan itu, keadaanmu sudah membaik, 'kan?" Laras mengangguk mantap.
"Temani aku sarapan dikantin yah? Aku belum sarapan." Varo menampilkan cengirannya, Laras ikut terkekeh.
"Aku tidak pernah menolak, ayo."
-
"Bagaimana rapatmu semalam?"
Varo berhenti mengunyah, ia menghela nafas kemudian menatap Laras yang sedang menyeruput jus jeruk ditangannya.
"Sangat membosankan, kau tau? Aku hanya mendengarkan, memberi hormat, menjabat tangan dan sesekali ikut menepuk tangan juga. Ayahku berbohong, katanya itu rapat penting, aku bahkan tidak tau letak pentingnya dimana." Gerutu Varo.
"Kau masih ingat apa yang rekan ayahmu bahas?" Varo menggeleng, satu pukulan pelan mendarat di lengannya. "Mereka pasti membahas sesuatu yang penting, kau saja yang tidak mendengarnya, seharusnya kau fokus!"
"Hanya membahas kerja sama, menurutku tidak penting." Ucap Varo acuh, ia kembali melanjutkan acara makannya yang tertunda. Laras hanya menggeleng samar menanggapi, atmosfer hening seketika menerpa keduanya.
"Oh yah, gadis itu juga hadir dalam acara rapat semalam." Varo menggerakkan sedikit dagunya memberi isyarat Laras untuk menatap seorang perempuan dan pria yang tengah duduk berhadapan disudut kantin.
"Gadis yang mana? Gadis disana tidak hanya satu, Varo." Celetuk Laras.
"Yang duduk bersama pria yang biasa menempelimu itu."
Laras membeku, itu Verga. Tapi, kenapa dia bisa bersama wanita yang pernah menolongnya ketika dibar? Laras memusatkan atensinya penuh pada Verga. Memang 'sih, terlihat jelas jika hanya wanita itu yang terus terusan berbicara, Verga terlihat tidak menanggapinya, entah kenapa itu membuat Laras merasa lega.
"Memangnya ada hubungan apa dia dengan perusahaan ayahmu? Dia anak rekan bisnis ayahmu?"
"Jika tidak salah, dia anak dari orang yang bekerja sama dengan perusahaan ayahku," Jelas Varo, Laras hanya terdiam memandangi kedua manusia yang duduk sedikit jauh dari tempatnya dan Varo. "Hmm, kurasa mereka memiliki hubungan yang spesial."
Beruntung Laras tidak sedang menyeruput jusnya. Jika saja sedang menyeruput, mungkin dia sudah menyemburkan keluar dan bisa tepat mengenai wajah kekasihnya. Meski begitu, Varo tau betul bahwa Laras terkejut terlihat dari pergerakannya yang tiba-tiba terdiam, matanya membulat sempurna.
"Kenapa? Bukankah mereka memang cocok?"
Laras menoleh dengan cepat, ia tersenyum kikuk menatap Varo. Ia mengidikkan bahunya seolah-olah tidak peduli.
"Kurasa Verga mengabaikanmu hari ini, tadi saja dia melihatmu tapi tidak menyapamu."
Laras menyentil sedikit keras kening Varo, membuat sang empu meringis mengadu kesakitan. "Salah sendiri, kau terlalu cerewet hari ini, tidak biasanya." Laras menatap intens dengan wajah garangnya.
"Hehe tidak, hanya saja. Ya....memang kenapa jika aku banyak bicara, mulut memang fungsinya untuk berbicara dan mengu-"
Laras menyumpal mulut Varo dengan sepotong burger, membuat pria itu menghentikan pembicaraannya dan terpaksa mengunyah dengan cepat pasalnya Laras semakin mendorongnya masuk kedalam mulutnya.
"Makan yang banyak, makan terus ya bagus, kau harus banyak nutrisi sebelum memulai ujian akhir semester, jika tidak kau akan gagal dan menjadi mahasiswa abadi dikampus ini." Berhasil, burger itu habis. Laras tersenyum senang.
Varo meneguk minumannya dengan tergesa, merasakan sesuatu tersangkut dilehernya, Laras sudah tidak waras.
"Astagahh, sayanghh....kau berniat melenyapkankuh?" Nafasnya bahkan tidak teratur, laras berusaha menutupi tawanya agar Varo tak mengira dirinya sedang diejek. Ayolah, ini sudah termasuk pembullyan pada pasangan, haha.
"Maaf, aku tak bermaksud. Habiskan makananmu, aku akan ketoilet dulu sebentar."
Tawa Laras seketika meledak, beruntung kakinya sudah menapak dia area toilet, belum masuk masih diluar, masih berusaha meredam tawanya. Wajah Varo yang mengembang terbayang dikepalanya, sesaat kemudian ia terdiam ketika melihat pintu toilet yang perlahan terbuka.
Ah, kenapa dia harus dipertemukan dengan wanita jahannam itu. Lihat, baru nampak saja ia sudah menunjukkan senyum remehnya kepada Laras. Wajahnya menyebalkan, ingin sekali Laras mendesain ulang bentuk wajahnya, tapi itu tidak mungkin. Wajah manusia adalah karya alami yang diturunkan dari ayah dan ibunya masing-masing termasuk Nayla, oke lupakan itu.
"Sudah, 'kan? Menyingkirlah, aku ingin masuk." Nayla menyingkir membiarkan Laras masuk, tapi tidak semudah itu dia meloloskan mangsanya. Ia menarik Laras agar sedikit keluar padahal pintu toilet sudah hampir ia tutup sempurna. Laras mengernyit heran.
Nayla menyandarkan tubuh Laras didekat pintu, mengungkung gadis itu dengan satu tangannya. Lagi, senyum remehnya ia terbitkan membuat Laras membuang muka kesal, mungkin itu adalah senyum termenyebalkan sepanjang masa yang pernah ia lihat.
"Why?" Tanya Laras ketus sembari melipat tangannya didada, menatap acuh sorot mata Nayla.
"Hanya ingin bermain sebentar dengan wanita tidak tau malu sepertimu."
"Apa kau menceritakan dirimu sendiri kepadaku? Maaf, tapi aku tidak tertarik. Permisi," Laras mendorong bahu Nayla, namun gadis itu malah menahannya dengan kuat.
"Kupikir ini sudah sampai ketelingamu, ayah Varo tidak menyukaimu, kenapa kau masih mendekatinya, berani menjalin hubungan pula dengannya, cih!"
"Kutanya hubungannya denganmu, apa? Kau diberi sebongkah berlian oleh ayahnya Varo? Pekerjaanmu rendahan sekali, nona." Laras terkekeh pelan.
Baru saja Nayla mengangkat tangannya keudara, berniat melayangkan satu tamparan pada pipi mulus Laras. Tubuhnya seketika linglung kesamping, seakan sesuatu telah mendorongnya kuat. Benar saja, seorang pria yang entah sengaja atau tidak menyenggol bahu Nayla dengan keras.
"Vee." Gumam Laras pelan, nyaris tidak terdengar.