"Aku menabrakmu, yah? Maaf aku tidak sengaja. Kau menghalangi jalan." Verga berniat melangkahkan kakinya, tetapi teriakan Nayla sudah lebih dulu mendominasi ruangan itu.
"Sialan! Jalanan disana masih luas, kenapa malah menyenggolku?! Kau sengaja, bukan?!" Nayla bangkit dan menatap nyalang pria yang berdiri tidak jauh dihadapannya.
"Maaf, untuk apa aku melakukannya dengan sengaja? Itu tidak menguntungkan bagiku, permisi."
Laras tersenyum kecut, Verga memang benar-benar mengabaikannya, bahkan menatap untuk sekilaspun dia tidak mau. Menganggap seolah Laras tidak berada disana.
Lagi, Nayla menghentikan langkah Verga yang hendak menjauh, "lagipula, kenapa kau ada disini, bukankah ini toilet khusus wanita. Kau mau berbuat yang tidak senonoh, yah?!" Verga berbalik lagi, berjalan mendekati Nayla.
"Kau ikuti kemana arah jariku menunjuk ini," Nayla mengarahkan pandangannya sesuai instruksi dari Verga. "Lihat kan, yang diujung sana itu toilet pria. So, jika aku ingin kesana, otomatis aku melewati jalan ini. Tidak mungkin 'kan aku terbang melalui atap atau menghilang dengan berpindah-pindah tempat seperti hantu? Oh astaga, aku lupa! Patut kau tidak tau, dirimu anak baru 'toh? Seharusnya kau mengetahui terlebih dahulu tempat yang berada dikampus ini, sekarang siapa yang akan malu?" Verga tersenyum sinis, matanya menelisik tubuh Nayla dari atas sampai bawah, satu yang ia tangkap dikepalanya, 'sampah'.
"Kutau kau sengaja, bukan? Kau menolong gadis ini. Astaga, tuan ini yang kedua kalinya kau menghentikan ku. Apa hubunganmu dengan Laras sebenarnya?!"
"Permisi."
Verga tak mau ambil pusing lagi, tidak mungkin ia berdebat dengan seorang perempuan, terlebih dia sekarang berada di toilet, orang-orang akan berpikir yang tidak-tidak nantinya. Ia sebenarnya tidak berniat ketoilet, hanya saja ia terlalu merindukan Laras hingga menjadikan toilet sebagai tempat pelariannya, tentu karena mengikuti gadis itu. Ia merasa lega mengetahui sahabat kecilnya baik-baik saja, meski tanpa dirinya. Tapi tetap saja, sesuatu yang menyesakkan didalam sana belum menghilang sepenuhnya.
-
Tidak teras sudah hari ketiga Verga mengabaikan Laras, bertemu dijalanpun ia tak menyapa Laras meski hanya sebuah senyuman tipis, ia menganggap Laras seperti orang asing. Selama itu juga Laras banyak menghabiskan waktunya dengan sang kekasih, tak jarang mereka pergi berkencan sehabis kuliah dan pulang dimalam hari, setidaknya Laras tidak kesepian.
"Besok hari Minggu, kau akan kembali ke tokoh bungamu?" Laras mengangguk mantap, itu memang sudah kewajibannya.
"Kutemani saja, yah? Sekalian kubantu menyalin datanya."
Laras menoleh kesamping, tepat dimana pria itu sedang fokus mengemudi. "Tidak usah, tidak enak dengan karyawan. Dan, oh yah, bukankah besok ayahmu menyuruhmu untuk menghadiri pertemuan cliennya?"
"Bukan, itu hanya pertemuan keluarga saja, tidak lebih. Kau tidak ingat yah? Besok itu hari Minggu orang mana yang masih mau bekerja di hari santai seperti itu." Varo.
"Menurutku itu pertemuan penting karena diadakan secara tertutup. Kenapa tidak coba hadir saja, siapa tau memang ada sesuatu yang penting menyangkut dirimu." Jelas Laras, Varo menghela nafas. Ia kemudian tersenyum sembari mengusap pelan rambut kekasihnya.
"Baiklah, ini karena permintaanmu, yah. Aku sudah muak terus terusan di perbudak oleh ayahku sendiri." Laras menatap wajah Varo, lelaki itu menekuk wajahnya. Diraihnya tangan kekar Varo yang menganggur, ia mengelusnya pelan guna membuat sang empu merasa baik lagi.
"Jangan kecewakan ayahmu untuk kali ini, aku mohon dengan sangat. Dia hanya ingin kau hidup dengan baik dimasa depan, sayang." Lembut sekali suara itu menyapa runggu telinga Varo. Laras seperti membawanya terbang dilangit tujuh tanpa memperdulikan sayapnya yang mungkin lemah.
Bersamaan dengan itu, mobil Varo berhenti tepat didepan rumah Laras. Varo melepaskan sabuk pengaman milik Laras, menatap lamat wajah kekasihnya yang sangat dekat dengan wajahnya, keduanya saling terdiam membiarkan atmosfer keheningan menerpa mobil itu.
"Sepertinya besok kita tidak akan bertemu seharian penuh, rasanya berat sekali bagiku, sayang." Suara berat itu menyapa telinga Laras, merasakan hangatnya nafas Varo yang menyentuh kulit wajahnya. Varo meraih tengkuk leher Laras, mengusap pipi mulus gadisnya dengan ibu jarinya, menatap mata indah itu dengan penuh afeksi.
"Hanya sehari, dikampus kita akan bertemu." Laras tersenyum meyakinkan.
Tak ada balasan dari Varo, matanya menjadi sendu. Ditatapnya bibir ranum milik Laras seakan membuatnya terhipnotis ingin mencicipinya walau hanya sebentar. Varo mendekatkan wajahnya perlahan, membuat Laras mulai memejamkan matanya mengetahui apa yang akan sang kekasih lakukan selanjutnya, biarkan pemuda itu melahap bibirnya dengan semaunya, toh juga mereka tidak bisa bertemu besok.
Bibir itu menempel sempurna, keduanya memejamkan mata sembari menikmati lumatan-lumatan lembut yang saling mereka salurkan, suara decapan indah menghiasi mobil itu, Varo menekan tengkuk Laras guna memperdalam ciuman mereka. Tak sadar, Laras sudah melingkarkan kedua tangannya pada leher sang kekasih.
Sudah lebih dari tiga menit, keduanya masih belum melepaskan ciuman itu, bibir itu masih menempel dengan lumatan yang masih Varo salurkan dengan lembut, Laras sudah lelah mengimbanginya biarkanlah Varo yang memimpin. Merasa pasokan udara semakin menipis, Laras memukul pelan dada Varo, memberikan instruksi kepada pria itu bahwa dirinya sulit menghirup oksigen.
Varo melepaskannya, tidak ingin bertingkah egois demi memenuhi nafsu kecilnya. Ia terkekeh menatap Laras yang dengan rakusnya menghirup oksigen, tangannya merapikan rambut belakang Laras yang sempat ia acak saat menikmati ciuman tadi.
"Kau selalu saja, ingin membunuhku yah?" Lagi, Varo tertawa pelan. Ia mengecup kening Laras singkat.
"Sudah, cepat masuk ini sudah malam. Tidur cepat, jangan begadang, energimu harus full untuk mengelola toko besok." Laras mengangguk, ia turun dari mobil pria itu tak lupa memberikan ucapan terimakasih dan sapaan penutup.
-
Matahari sudah mulai naik menggantikan sang rembulan yang sudah bekerja semalaman, cuaca hari ini terlampau bagus membuat Laras bersemangat menuju toko bunga seorang diri. Biasanya dipagi hari seperti ini akan gerimis atau bahkan terjadi badai hujan besar, sepertinya hari ini Dewi Fortuna berada dipihaknya, memberikan kesan terbaik pada gadis cantik itu.
Kakinya melangkah masuk, membuka pintu bersamaan dengan lonceng yang berbunyi diatas sana. Para karyawan menyambutnya dengan sapaan manis, Laras bersyukur semua pekerjanya sangat aktif setiap hari. Jadi, ia tak perlu khawatir meninggalkan toko itu selama enam hari dan hanya kembali dihari Minggu.
Tungkai Laras melangkah ke arah mejanya, membersihkan sedikit debu yang menempel dikursi maupun diatas meja. Wajar saja, tidak ada yang berani duduk disana untuk menggantikan Laras, jarang ada yang berjalan diarea itu Laras juga sudah memperingatkan agar tempat itu tak perlu dibersihkan, melihat karyawannya yang sudah lelah seharian ia merasa tidak enak jika semuanya harus bergantung kepada mereka.
Suara lonceng kembali berbunyi, menandakan seorang pembeli baru saja melangkahkan kakinya masuk, semua karyawan ikut memberi sapaan hangat kepada pria yang sudah sangat mereka kenal sedari dulu. Pria itu melangkah mendekat kearah meja Laras, sang empu tidak sadar karena terlalu fokus menyusun beberapa berkas yang bertengger manis diatas mejanya.
Si pria berdehem pelan, "permisi, saya membutuhkan bunga untuk diberikan kepada seseorang yang berulang tahun."
Laras mengangkat kepalanya, biasanya setiap orang yang ingin membeli atau memesan bunga ia bisa bertanya pada para karyawan, tugas Laras memang bukan untuk melayani pembeli, ia hanya mengelola saja.
Mata Laras membulat sempurna, seorang pria yang begitu dirindukannya tengah berdiri dihadapannya dengan senyum tipisnya.
"Vee." Gumam Laras pelan