Langit yang semula cerah kini mulai menampakkan awan hitamnya yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Menghela nafas beberapa kali sembari menunggu sang kekasih yang mungkin sebentar lagi akan tiba, dirapatkannya jaket kuning yang membantu mengangkatkan tubuhnya dari serangan angin yang sedikit kencang.
Sebenarnya, ia sudah kembali kerumahnya semenjak satu jam yang lalu, hanya saja perasaannya semakin tidak karuan setelah perdebatannya dengan Verga, ia memutuskan menghubungi Varo agar menjemputnya di halte bus saja, terlalu merepotkan jika harus kerumahnya. Laras lebih memilih berjalan hingga tempat penunggguan halte bis, padahal bagi Varo mau kemanapun ia pergi asal bersama Laras, tetap ia tak akan menolak.
Mobil hitam bernuansa mewah berhenti dihadapannya, Varo membunyikan suara klakson mobilnya, berharap sang gadis mendengarnya. Tapi tetap, Laras masih menundukkan kepalanya sembari melamun yang entah itu apa, Laras sampai tidak menyadari kendati Varo yang sudah berdiri dihadapannya.
Ditepuknya pelan bahu Laras, membuat sang empu mendongak dengan mata menyipit menatap Varo, Laras tersenyum tipis. Ia berdiri, tapi siapa sangka ia malah terjatuh seakan tidak bisa lagi untuk bertumpu diatas kakinya. Beruntung Varo dengan sigap menangkap kekasihnya, disentuhnya pelan wajah Laras, Varo meringis pelan, "Kenapa panas sekali?" Mendadak wajahnya menjadi khawatir, ia menunduk sedikit menatap wajah Laras yang pucat pasih, dengan cekatan ia menggendong Laras dan menempatkannya pada mobil. Varo melajukan mobilnya dengan cepat, benar-benar tidak sabaran, saking takutnya terjadi sesuatu dengan sang gadis.
"Sial!!" umpat Varo kesal, pasalnya macet mendominasi jalanan itu.
"Varo..." Lirih Laras, ia berusaha menggapai lengan Varo yang berada disampingnya.
Varo menerima tangan Laras yang ikut menghangat, digenggamannya kemudian mendaratkan kecupan singkat pada punggung tangan Laras. "Sebentar lagi, yah? Aku akan membawamu kerumah sakit." Ucap Varo khawatir, ia mengeratkan genggamannya pada tangan Laras.
"Varo, aku hanya tidak enak badan, tidak usah kerumah sakit. Aku akan baik-baik saja."
"Tidak, apanya yang baik-baik saja? Lihat dirimu kau bahkan tidak bertenaga, sayang." Varo menekan klaksonnya berulang kali, ia dilanda ketakutan saat ini. Padahal, memang betul gadis itu hanya masuk angin dan demam, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Varo benar-benar tipe lelaki yang protektif terhadap pasangannya.
"Varo...dengarkan aku. Aku baik-baik saja, sebaiknya bawa saja aku kerumah. Aku ingin dirawat olehmu saja." Lirihnya.
"Tapi ras-"
"Aku memohon, sayang."
Varo menghembuskan nafasnya pasrah, jika Laras sudah seperti ini ia tidak mampu untuk menolak lagi. Satu kelemahan Varo, ia bisa luluh dengan hal-hal kecil yang dilakukan oleh Laras, meskipun ia sedang marah besar.
-
Pantulan demi pantulan bola basket tercipta diruangan itu, entah sudah berapa kali ia mencoba memasukkan bola basket ditangannya kedalam ring. Hanya berkisar beberapa menit saja, ia kembali menghela nafas lagi, tak sesekali juga ia berteriak dan berdecak kesal. Keringatnya sudah memenuhi wajahnya, sesekali ia menggabungkan rambutnya menjadi satu yang kemudian disisir dengan jari kebelakang, benar-benar tampan.
TAK!
Ia membanting kasar bola basket yang lanjut menggelinding sampai ujung ruangan, ia meraih sebotol minuman kemudian diteguknya hingga tandas tidak tersisa. Dirogohnya ponsel cerdas miliknya, ia menekan tombol galeri, membuka album dengan nama 'laras' yang khusus ia buat untuknya tanpa pengetahuan sang gadis.
"Kau membuat orang keren sepertiku menjadi bodoh karenamu, tidak seharusnya seperti ini sejak awal, 'kan? Baik sekarang siapa yang harus disalahkan disini, ras?" Verga bergumam sendiri menatap foto Laras yang tersenyum bersamaan dengan matahari yang mulai terbenam dibelakangnya.
Verga membentuk garis lurus dibibirnya, "kau membuat sesuatu diluar dugaanku, kau itu hanya gadis kecil! tapi kenapa mampu membuatku menjadi seperti ini?!" Verga membentak layar ponselnya.
"Setiap manusia yang jatuh cinta, kenapa selalu menyalahkan takdir?"
Suara itu menggelegar, Verga mendongak menatap kearah pintu. Disana, berdiri seorang gadis putih pucat dengan rambut panjang berwarna cokelat. Verga memutar bola matanya jengah, tidak menghiraukan ucapan perempuan yang mulai berjalan kearahnya, menganggap suara itu hanya angin lalu.
Verga bangun dari duduknya, ia berjalan melewati Angel, berniat berlalu dari sana. Pasalnya, ia terlampau kesal dengan gadis blasteran itu.
"Kau menghindariku? Wow! aku merasa seperti kau sudah menganggapku orang terdekatmu." Verga menghentikan langkahnya, Angel membentuk smirk dibibirnya.
"Sejak keluar dari rahim ibumu, kau ternyata sudah mempunyai sifat percaya diri seperti itu, yah? Ibumu sampai lupa mengajarimu untuk memiliki rasa malu." Sindir Verga.
"Aku kagum dengan prinsipmu, bisa dengan cepat menilai seseorang dan tidak peduli tebakannya salah atau tidak." Angel berjalan mendekat kearah Verga, ia berhenti setelah berdiri tepat dua langkah dihadapan Verga. Bisa Angel lihat sorotan mata tajam bak elang itu menatapnya, sedangkan dirinya hanya tersenyum smirk menanggapinya.
"Aku tidak pernah memintamu untuk hadir di hadapanku lagi, apa kau tau apa yang terjadi setelah Laras mengetahuinya?" Ucap Verga tenang, tapi seakan menusuk.
"Kupikir dia tidak perlu marah untuk urusan dirimu yang mabuk, bukankah itu adalah hal yang wajar, seharus-"
"Tapi mengetahui fakta bahwa aku bersama denganmu disana, membuatnya menganggapku yang tidak-tidak. Kau tidak tau mengenai apapun skenario yang seseorang rancang dikepalanya. Seharusnya kau biarkan saja aku waktu itu, kenapa harus bersusah payah membawaku kekamar seorang diri?!" Verga tersulut emosi, ia mengepalkan kuat tangannya dibawah sana, beruntung angel itu seorang perempuan. Jika bukan, mungkin dia sudah memberi beberapa tanda memar diwajahnya.
Angel terdiam, berusaha mencari sesuatu kalimat yang bisa ia gunakan untuk melawan, meskipun hanya beberapa kata.
"Kuminta setelah ini, jangan muncul dihadapanku lagi. Seharusnya kau sadar dirimu adalah beban bagi orang lain." Verga berlalu dari sana meninggalkan Angel dengan dadanya yang terasa sakit. Entah kenapa kalimat itu membuat sesuatu yang sesak didalam sana. Meski ia gadis yang kuat, tetap saja bisa menjadi lemah hanya dengan mendengar rentenan kalimat yang menyakitinya, kalimat Verga seakan sebuah panah yang baru saja menembus hatinya.
-
Varo menatap cemas alat pengukur suhu tubuh Laras, angkanya mencapai 38° Celcius. Ia segera mengambil sebuah kompres yang sudah ia siapkan ketika didapur membuatkan Laras bubur. Dinaikkannya selimut Laras hingga sebatas dada, pasalnya gadis itu mengeluh kedinginan padahal suhu tubuhnya sangat tinggi.
Pria itu mengelus pucuk kepala Laras dengan lembut, sang empu perlahan memejamkan matanya, raut wajah Varo masih cemas seperti diawal. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena menyetujui ucapan Laras untuk memintanya dijemput disebuah halte, harusnya Varo tetap kekeh pada keputusannya untuk menjemput Laras dirumah saja, pasalnya ia tau suasana diluar sedang dingin, mengingat bulan ini sudah memasuki Oktober, hujan selalu datang tanpa permisi.
"Pagi tadi kau masih baik-baik saja, ras. Kenapa sekarang kau menjadi seperti ini, sayang?" Gumam Varo, yang ia tau jika Laras terlalu banyak pikiran dirinya bisa jatuh sakit, imun tubuh gadis itu memang terbilang lemah. Varo meraih tangan lemah itu, dikecupnya singkat kemudian diletakkan pada pipinya.
"Aku melihatmu dengan Verga siang tadi, apa karena dia kau jadi seperti ini?"