Didunia ini, tidak ada seorangpun yang mengalami rasa ketidakpekaan, kecuali jika mereka sendirilah yang memilih untuk menutupinya. Mungkin seperti itu Kendari yang Laras alami saat ini, berusaha membuat jarak diantara keduanya bukan semata-mata karena egois, hanya saja ia memerlukan waktu untuk memikirkan semuanya.
Laras terbangun beberapa menit yang lalu, ia menatap Varo yang tertidur diatas sofa. Ia memegangi keningnya yang masih dikompres sebentar, tidak terlalu panas lagi seperti diawal, ia bersyukur mempunyai seorang kekasih yang sangat peduli kepada dirinya.
Pikirannya kembali berpusat pada Verga, ini bukan masalah dia yang mabuk dan kemudian ada seorang wanita yang menguncinya dikamar. Ia hanya memikirkan perkataan Verga ketika dikantin. Perlahan ia mulai menyadari semuanya, ia bahkan merasa mempermainkan perasaan pria itu, Verga menaruh rasa terhadapnya dan ia baru menyadarinya.
'Ras, jika aku menyatakan cinta kepadamu, apa kau akan menganggap itu sebagai hambatanmu dipertengahan jalan?'
Perkataan itu terus berputar diotanya, merasa bodoh dan jahat secara bersamaan, Laras berpikir jika ia pantas sakit karena terus menerus memikirkan hal itu. Ingin sekali rasanya mengulang semua momentnya bersama Verga, jika bisa, ia ingin sekali membuat pria itu tidak menaruh harap yang lebih terhadap dirinya.
"Eh? Sudah bangun?" Suara serak Varo membuyarkan lamunan Laras. Terlihat pria itu menguap seperkian detik. Setelahnya, ia melangkah mendekat ke arah Laras.
"Kenapa tidak pulang saja, hmm? Kau kelihatan lelah sekali." Laras tersenyum tipis menatap Varo yang sudah duduk dihadapannya dengan kursi kayu bermotif polos.
Varo tidak menjawab, ia hanya mengecup punggung tangan Laras yang sudah ia sandarkan nyaman pada pipinya. Pandangannya tidak lepas dari wajah pucat Laras, bibir pucat Laras membuatnya gemas sendiri, ia beralih mengecup ranum tipis itu, setidaknya terlihat sedikit basah tidak seperti tadi.
"Varo!" kesa Laras. Varo hanya terkekeh.
"Tidak mungkin aku meninggalkanmu dikeadaan seperti ini. Kau tau? Aku kelewat cemas hingga pikiranku menjelajar kemana-mana, aku menyumpahi serapah beberapa pengendara yang menghalangi jalanku menuju rumah sakit."
Sekarang keadaan berbanding terbalik, Laras yang terkekeh dan Varo yang mendadak mengoceh layaknya seorang ibu yang tengah menjelaskan sesuatu dengan cepat.
"Kenapa kau tertawa? Ini sama sekali tidak lucu Laras! kau tidak makan dengan benar yah sehingga bisa sakit seperti ini. Dan oh yah, astaga buburmu!" Varo mendadak heboh, ia meraih dengan cepat mangkuk bubur itu, didekatkan pada hidungnya, bau bumbunya sudah hilang dan sudah mengering serta dingin juga.
"Kubuatkan yang baru saja, yah? Setelah ini minum obatmu." Tanpa mendengarkan perkataan Laras, Varo segera meleset kearah dapur dan berperang dengan beberapa bahan masakan. Skill memasaknya memang tidak seperti Verga, ia tidak ahli dalam memasak. Tapi, demi tekadnya yang ingin membuatkan bubur untuk Laras, ia tetap melakukannya.
Laras meraih ponsel yang sempat bertengger manis diatas nakasnya. Ditekannya beberapa detik tombol daya guna mengaktifkan layarnya kembali, ia sengaja mematikan ponselnya setelah menghubungi Varo, takutnya Verga menghubunginya terus menerus hingga mirip seorang peneror. Dan, benar saja dugaannya sejak awal, pesan dari Verga menumpuk bersamaan dengan beberapa panggilan yang tidak terjawab.
Verga|
Ras, kumohon jangan seperti ini/14.32
Setidaknya beri aku kabar/14.32
Jangan berusaha menjauhiku/14.32
Aku akan melakukan apa saja, kumohon/14.32
Aku tidak akan ketempat itu lagi/14.33
Ras?/14.33
Jawab ras...14.33
Setidaknya angkat teleponku jika malas mengetik./14.33
3 Panggilan tidak terjawab ketuk untuk--
Ras..../14.35
Besok jangan menghindariku, yah?/14.35
Teleponmu tidak aktif, kau mematikannya pasti, yah?/14.35
Sengaja menghindariku./14.36
2 Panggilan tidak terjawab ketuk untuk--
Aku benar, lagi kau tidak aktif./14.37
Baiklah, aku akan menghindarimu./14.38
Laras tertegun diakhir pesan yang Verga kirim. Ada yang salah dengan dirinya, bukankah ia sendiri yang menyuruh pria itu untuk menjaga jarak darinya? Tapi, kenapa rasanya ada sesuatu yang menohok bak belati tajam yang menembusnya dalam waktu singkat. Tidak, bukan seperti ini yang Laras inginkan, kendatinya berharap penuh bahwa Verga menahannya terus menerus, terlalu random pemikirannya, membuat siapa saja menjadi bingung.
Laras masih menggenggam ponselnya, wajahnya menekuk seiring berjalannya waktu Verga masih belum menghubunginya. Hei bodoh! Itu tidak mungkin lagi, bukankah ia sudah melihat sendiri isi terakhir dari pesan Verga? Jika seperti ini, itu sama saja dengan dirinya yang menunggu Nayla tobat mendadak, dari sesosok ular menjadi wanita yang lemah lembut.
Oke, sekarang berhenti memikirkan itu terlebih dahulu. Ada baiknya jika ia menjadi overprotektif kepada dirinya dulu saat ini, melihat kondisinya yang terkulai lemah, tidak mungkin ia bisa melakukan sesuatu yg diinginkannya. Ia harus sembuh total terlebih dahulu, tidak lucu jika sedang berjalan ia kembali sempoyongan dan menubruk seseorang. Sebagian orang akan berfikir yang tidak-tidak tentangnya, terlebih jika itu seorang pria. Oke, hentikan fikiran bodohmu Laras, saatnya mengisi perutmu yang kosong, pacar overprotektif mu sudah datang dengan senyum hangat serta bubur yang hangat juga.
Varo menyuapinya dengan tetalen, Laras tidak menghabiskan makanannya tapi bagi Varo tidak masalah, yang terpenting sudah ada sesuatu yang menemani cacingnya didalam sana. Dengan segera Varo memberikan 2 butir pil kecil pada Laras, yang satu obat penurun panas dan yang satunya lagi adalah sebuah vitamin panambah imun tubuh. Beruntung sekali dirimu Laras.
"Sayang..."
"Hm?"
"Tidak mengapa kutinggal sendiri? Ayahku menerorku dengan beberapa misscallnya, ia menyuruhku datang diacara rapat menyebalkan itu." Varo mengelus surai hitam Laras, menyalurkan kenyamanan tersendiri bagi gadis itu.
Laras menurunkan tangan Verga dari kepalanya, mengelusnya lembut dengan senyuman sabit dibibirnya. "Pergilah, kau ini masa depan keluargamu. Lakukan yang terbaik dan jangan mengecewakan ayahmu." Laras tersenyum tulus, menatap mata teduh Varo yang tengah memandanginya.
"Bagaimana denganmu? Aku takut meninggalkanmu sendirian disini." Wajahnya menjadi sendu.
"Varo, aku hidup dirumah ini sudah hampir 21 tahun. Ditinggal sendiri juga bukan hal yang baru bagiku, itu bahkan terjadi sekitar beberapa tahun. Tenanglah, jangan berasumsi negatif."
Varo mendengus sejenak, setelahnya ia mengadah keatas sembari mengatur nafas. "Baiklah, tapi cepat kabari aku jika terjadi sesuatu. Jika perlu, selama meeting kita Videocall saja, bagaimana?"
Laras terkekeh, "itu hanya akan menghambat fokusmu, lagipula itu terlalu berlebihan, cepatlah berangkat sudah pukul 6 sore." Laras mendorong lengan kekar itu, tidak ingin menjadikan dirinya sebagai alasan Varo untuk tidak mengikuti rapat sang ayah.
Varo benar-benar pergi, tak lupa dengan sebuah lumatan singkat dibibir ranum milik Laras, katanya itu sebuah vitamin penyemangatnya. Laras kembali memandangi ponselnya, masih berharap penuh bahwa sahabat kecilnya akan menghubunginya, setidaknya untuk menanyakan kabarnya saja. Sudah menyuruh Verga untuk menjaga jarak dan tidak menghubunginya lagi, kenapa sekarang masih berharap? Gadis bodoh.
Selimut tebal yang sempat memeluknya dengan nyaman ia tendang begitu saja, merasakan peluh yang sedikit membanjiri pelipisnya, mungkin obat itu sedang bekerja. Sesekali ia menatap lukisan dari Verga dan langit-langit kamarnya secara bergantian, sudah tidak mau ambil pusing lagi dengan semua hal yang semakin berkembang pesat didalam fikirannya, ia berjalan pelan menuju lemari berniat mengganti pakaiannya lalu segera menuju kealam bawah sadar, berharap hari esok jauh lebih baik dari sebelumnya.