Varo POV
Aku melangkah masuk ke toko bunga yang selalu kekasihku kunjungi setiap hari Minggu, tentu untuk ikut mengelola butik pemberian ibunya. Kulihat sesosok pria tinggi sedang memegangi bahu wanitaku, mengguncangnya pelan. Aku hanya terdiam sebentar menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aku serius, Vee. Semalam dia datang, kulihat dia sangat rapuh, hatiku ikut sesak melihatnya. Aku tidak bisa berbohong ketika dia menanyai perasaanku yang sebenarnya, aku masih sangat mencintainya, kami saling mencintai hanya saja ada tembok besar yang pernah menghalangi kita, kami akan berusaha membuat tembok itu runtuh."
Kudengar suara Laras yang tampak memelas meski sedikit samar, aku masih menahan diriku disini, masih penasaran apa yang akan terjadi pada keduanya.
"Vee, aku harap kau mengerti. Dia tidak sejahat yang kau fikirkan, sudah kukatakan hanya ada tembok yang berusaha memisahkan kita."
Suara itu semakin terdengar memohon, aku secara tidak sabaran dengan cepat melangkah menghampiri keduanya yang mungkin tidak sadar jika aku sudah berada dibelakangnya.
"Sayang, aku datang." Tanpa mau berlama-lama lagi, aku dengan cepat mengeluarkan kalimat itu, berharap sosok pria yang kuyakini Verga melepas tangannya dari bahu gadisku. Sepertinya berhasil, ia melepas pelan tangannya dari bahu Laras.
Kulihat Laras yang menatapku dengan senyuman indahnya yang selalu membuat euforiaku bergemuruh tidak normal didalam sana. Tapi, matanya terlihat sendu, aku semakin penasaran dengan apa yang baru saja terjadi dengan keduanya.
"Laras, aku permisi. Ada yang harus kuselesaikan terlebih dahulu." Verga mengecup singkat kening Laras, ia berbalik kemudian melempar tatapan tajam ke arahku, wajahnya sangat datar.
Ia mulai melangkah menjauhi Laras, tapi tidak denganku. Ia justru menghentikan langkahnya ketika tiba di sampingku.
"Aku masih memantau sikapmu kepadanya, jangan harap kau bisa bebas membuat hatinya terluka lagi, siap-siaplah berhadapan denganku jika sampai hal itu terjadi." Bisiknya tajam, aku hanya diam tidak menjawab sampai akhirnya ia benar-benar pergi dari tempat ini.
"Varo, katanya hari ini ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiran, kenapa malah keluar, hmm?" Laras menghampiriku kemudian merapikan sedikit rambutku yang berantakan. Aku memeluknya dengan sedikit erat hingga membuat sang empu memberontak kecil dibawah sana.
"Disini banyak orang, aku malu. Lepaskanlah kumohon." Ia berucap pelan, aku terkekeh kemudian melepaskan rengkuhanku padanya.
"Aku merindukanmu, entah kenapa rasanya mau mati tidak bertemu denganmu sehari saja, benar-benar rasanya hambar." Aku berucap jujur, memang benar, jangan mengatakan jika aku hanya membual, aku serius.
"Yasudah, tunggu aku sebentar lagi. Masih ada yang perlu kuselesaikan, setelah ini kita keluar."
"Apa yang kau kerjakan, siapa tau aku bisa bantu." Aku berusaha menawarkan diri agar kekasihku tidak terlalu lelah. Jangan salah, aku ini sudah sering membantu ayahku untuk menghandle perusahaannya.
"Hanya menyalin data Minggu ini, aku perlu mengirimnya pada ibuku."
"Yasudah," Aku menarik tangannya kesalah satu kursi yang digunakan pembeli untuk menunggu. "Duduk disini saja, aku akan menyelesaikan semuanya." Ku usapnya pelan surai hitamnya yang panjang. Ia hanya menatapku dengan tatapan polosnya, aku mulai mengerjakan salinan datanya yang lumayan banyak, sesekali kulemparkan senyuman singkat ketika tidak sengaja menatap matanya.
Varo POV end
-
"Jadi dia anak dari sahabat mendiang ibumu, yah?"
Varo mengunyah dengan sedikit cepat agar tidak membuat gadisnya menunggu terlalu lama atas jawabannya.
"Iya, tapi dia tidak sopan. Aku membencinya, dan aku berniat mengusirnya dari rumahku."
Laras terkekeh pelan mendengar ocehan singkat dari Varo, terdengar seperti seorang bocah kecil yang mengadu pada ibunya. Jemari lentik itu menyentuh perlahan punggung tangan Varo, dielusnya lembut yang membuat sang empu membentuk bulan sabit dikedua sudut bibirnya.
"Kenapa kau jadi jahat seperti itu, eoh? mungkin sifatnya seperti itu karena kau terlalu keras kepadanya. Varo, tuntun dia menjadi wanita yang lebih baik lagi kedepannya, jika perlu jadikan dia seperti adikmu yang sedang kau ajari berbicara agar tidak keliru."
"Andai hati seseorang bisa dibagi dua, aku akan meminta hatimu yang setengahnya agar aku bisa selembut dirimu. Tapi tidak, kendati alam memang sudah menakdirkanku menjadi pribadi yang seperti ini sejak lahir. Beruntung tuhan mengirimkan seorang malaikatnya kepadaku, jika tidak, mungkin aku sudah menjadi monster berkeliaran diluar sana, terima kasih ras."
Lagi, Laras mengusap punggung tangan kekar milik Varo, "Kau berubah karena dirimu sendiri, bukan karena ku. Kau itu pria yang baik, hanya saja sedikit keras kepala. Tapi tenang, aku bisa melayangkan satu pukulan dikepalamu jika penyakit keras kepalamu kambuh lagi."
Kedua pasangan itu tertawa, mengundang beberapa pasang mata mengarah kepadanya beberapa detik. Tapi, peduli apa mereka? dunia juga sudah terasa milik berdua, menganggap manusia yang ada disekitar mereka hanyalah figuran.
-
Suara pecahan beling kaca menggelegar diseluruh tempat itu, lebih tepatnya di sebuah bar. Pecahan demi pecahan terus tercipta akibat lemparan dari seorang pria yang kesadarannya sudah diambil alih penuh oleh alkohol.
Seorang wanita menerobos masuk ketempat yang sudah dikerumuni oleh banyak orang sembari menyaksikan pria yang sudah tidak sadarkan diri tergeletak dibawah sana. Ia menghampiri lelaki itu, dirangkulnya pelan sembari melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit guna menjauhi kerumunan itu.
Dibaringkannya pria itu pada salah satu kamar yang gadis itu sengaja sewa, ia dengan tetalen melepas sepatu yang bertengger pada kaki sang pria, melepas dua kancing baju agar lelaki itu tidak terlalu kepanasan.
Pergerakannya terhenti ketika pria itu menahan tangannya dengan mata yang masih terpejam. "Jangan menyentuhku jalang sialan, dimana larasku, hah?!" Nadanya membentak, namun gadis itu tak mengindahkan ucapannya.
"Sudah kubilang jangan menyentuhku sialan!! hey, don't touch me haha don't touch me." Setelahnya, ia tertawa sendiri sembari menunjuk asal langit-langit kamar.
"Diam! jika tidak bisa meminum alkohol, kenapa berani menyentuhnya bodoh?! kau mengacaukan suasana." Ia melangkah menjauh dari kamar, bersiap meninggalkan ruangan itu.
"Hei tunggu dulu! dimana larasku?! aku mau mati rasanya sialan!"
"Aku tidak tau yang mana larasmu! sekarang diamlah disini jangan berani keluar, kau akan kembali mengacaukan lagi jika sampai melewati batas pintu ini!" ia menutup sedikit keras pintu itu hingga menimbulkan suara yang membuat siapa saja mendengarnya akan terpelonjak. Emosinya naik turun menghadapi pria yang tak sadarkan diri itu.
"Angel! aku mencarimu kesana kemari, kau ini darimana saja, sih!!" suara teriakan itu menambah emosi pada gadis yang berdiri di dekat pintu dengan tangan terkepal.
"Tidak usah teriak! aku masih bisa mendengarnya, pria itu membuat emosiku melunjak, sekarang kau ikutan juga?! aku ingin pulang saja, dikatai sebagai jalang itu menyebalkan, moodku seketika memburuk!" dengan gerakan cepat ia meraih tasnya dan meninggalkan tempat itu dengan emosi yang masih sulit terkontrol, ia tak berhenti mengucapkan sumpah serapah pada pria yang baru ia tolong beberapa detik lalu.