"Laras, jangan diaduk terus makanannya, habiskan."
Laras menatap sekilas ke arah pria yang ada dihadapannya, pria yang menyeretnya ke kantin setelah berdebat kecil dengan Nayla.
Laras menghela nafas kemudian meletakkan kembali sendok yang sempat bertengger di tangannya. "Aku tidak selera makan jika sedang kesal, Vee." Ucap Laras kemudian menjatuhkan kepalanya pada meja kantin.
"Tidak usah difikirkan perkataannya, anggap saja angin lalu. Mungkin, orang tuanya salah mendidik dia sejak kecil." Sahut Verga.
"Ibunya sudah meninggal sejak dia bayi katanya." Cicit Laras pelan.
"Lalu ayahnya?"
"Ayahnya tidak pernah peduli kepadanya."
"Tunggu, darimana kau tahu?" tanya Verga kebingungan.
"Dia gadis yang diselamatkan oleh Varo diacara pelelangan," Laras.
Verga hampir saja menyemburkan seluruh isi makanan yang ia kunyah dalam mulutnya, sumpah demi apapun dia benar-benar terkejut. Gadis itu bahkan dikuliahkan oleh Varo? Verga rasanya tidak habis fikir pada kekasih dari sahabatnya.
"Astaga, kau serius?! untung aku tidak jadi menyelamatkannya waktu itu, aku benar-benar berterima kasih pada Tuhan." Verga menyatukan kedua tangannya sembari mengucap syukur pada Tuhan.
Laras mengangkat kepalanya menatap Verga, kenapa pria ini mendadak dramatis? Laras sedikit heran.
"Sebegitu bersyukurnya yah?" Verga hanya mengangguk.
"Lalu, dia tinggal seatap dengan Varo?" Laras mengangguk pelan. "Wah luar biasa!! Ras, apa kau tidak merasa kesal eoh? bagaimana jika ia merebut Varo darimu?" pancing Verga.
"Aku rasa tidak mungkin, meski sering kali kubaca diberbagai novel bahwa pria akan mudah jatuh cinta dengan gadis yang seperti Nayla. Tapi, aku tetap percaya kepadanya, jikapun memang dia menghianatiku, aku akan berusaha menerimanya, karena itu berarti Varo bukan takdirku." Jawab Laras tersenyum kecut.
"Kau percaya pada takdir?" Verga memusatkan seluruh pandangannya pada Laras, bersiap mendengar jawaban dari gadis itu.
"Sedari awal aku sudah percaya, meski sering kali dikecewakan. Tapi aku tahu, takdir akan membuat kejutan yang indah di garis akhir nanti, kita ini sedang berada dalam perjalan menuju garis akhir yang sesungguhnya. Tentu dijalan banyak hambatan kerikil atau bahkan jalan yang menunjang, tapi tetap kita harus lalui demi mencapai garis akhir. Setelahnya, kau bisa lihat hasil yang kau kelola selama perjalanan."
Verga mengangkat kedua sudut bibirnya, bangga dengan jawaban Laras yang terdengar sudah dewasa. Andai gadis itu bisa menjadi seseorang yang lebih dari sahabat baginya, tentu ia tidak akan berhenti bersyukur.
Verga meraih jemari lentik milik Laras, dikaitkannya pada jemarinya sendiri agar keduanya bisa menyatu, meski kenyatannya Laras milik orang lain.
"Ras, jika aku menyatakan cinta kepadamu, apa kau akan menganggap itu sebagai hambatanmu dipertengahan jalan?"
Jantung Laras berdetak sangat kencang didalam sana, tatapan pria itu seakan membiusnya. Ia berfikir sejenak, berusaha mencari jawaban yang tepat agar tak menyakiti perasaan pria itu.
"Kurasa tidak. Aku akan menganggap itu sebagai sebuah bunga gugur yang kutemukan ditengah jalan, bunga gugur yang harus kulindungi dengan baik. Lagipula, mana mungkin kau mengeluarkan perkataan seperti itu, it's not your style." Laras tertawa canggung diakhir kalimat, berusaha untuk mencairkan suasana.
Laras melepaskan pelan jemarinya yang bertautan dengan milik Verga, pria itu masih setia menatapnya dengan tatapan lekat yang membuat Laras jadi salah tingkah, kedua runggu pipinya bahkan sudah memerah.
Dengan cekatan Laras bangun dari duduknya, ia mengipasi dirinya dengan satu tangannya, bertingkah layaknya ia sedang kepanasan. Meski kenyatannya kantin itu memiliki AC.
"Astaga panas sekali, e-ehm Verga ayo keluar, kelas pagi akan dimulai." Laras meraih tasnya kemudian dikalungkan pada kedua bahunya.
"Kelas memang sudah dimulai sejak tadi, kita telat 15 menit."
DAMN!
Laras mendadak benar-benar kepanasan saat ini, ia bingung harus beralasan apa lagi agar bisa menghindari pria yang membuatnya tremor sejak tadi.
"Yasudah, a-aku ingin itu, ehm itu... toilet iya toilet, perutku sakit, kau bisa pergi duluan jika mau, aku...akan ke kelas dulu. Eh, maksudku ketoilet, bye!"
Laras berlari dengan cepat dari sana, entah ingin menuju kemana yang terpenting ia harus menghindari pria itu sebentar saja. Verga terkekeh gemas disana, ia tahu jika gadis itu sedang salah tingkah saat ini.
"Wow, apa ini yang dikatakan friendzone?" gumam seorang gadis berambut cokelat yang sedari tadi menguping pembicaraan Laras dan Verga.
-
"Berhenti mengikuti ku atau kupermalukan ditempat ini dengan mengataimu sebagai gadis penguntit!"
"Salahmu sendiri! aku hanya ingin mengetahui jadwalku siang nanti, dan dimana letak kelas yang akan kumasuki nanti, sesulit itukah memberitahuku?!"
"Nayla! kau bisa cari sendiri dipapan informasi! cari melalui jurusanmu, kau akan menemukannya setelah itu! kenapa masih menanyaiku?! dasar merepotkan!" tekan Varo kesal. Pasalnya, gadis itu sedari tadi membuntutinya terus menerus.
"Varo! beritahu saja ce-"
"Alexa! kesini sebentar!" teriak Varo menghentikan langkah gadis tinggi berambut pendek itu sekaligus memotong pembicaraan Nayla.
"Ada apa, kak?" sahut Alexa menghampiri kedua manusia itu. Ya, Varo memang setahun lebih dulu memasuki kampus ini daripada yang lainnya termasuk Laras dan Verga.
"Bisa tolong beritahukan mahasiswa baru ini mengenai kampus kita? dan jadwal mata kuliahnya, kebetulan dia satu jurusan denganmu. Oh yah, dan tolong ajari dia tata tertib berpakaian sopan dikampus ini." Sinis Varo pasalnya Nayla memang mengenakan pakaian yang minim akhlak.
"Bisa kak." Balas Alexa dengan senyumnya, gadis itu memang murah senyum.
"Nah, sekarang ikutilah dia. Jangan menempeli ku lagi, jujur aku jijik berada didekatmu!" tanpa berlama-lama lagi Varo segera berlalu dari sana mengabaikan segala umpatan kesal dari Nayla kepadanya.
"Dasar! aku berharap hubungannya segera berakhir dengan gadis sialan itu!" umpatnya yang didengar jelas oleh Alexa.
"Jahat sekali dia," batin Alexa. "Ayo saya antar." Alexa berjalan mendahului Nayla yang mulai mengekori dibelakangnya.
-
Verga hampir tersedak oleh minumannya ketika seorang wanita berambut cokelat tiba tiba duduk didepannya. Ia dengan cepat menepuk nepuk dadanya yang terasa sesak.
"Apa aku mengejutkanmu?"
Verga terbatuk sebentar, "tentu saja! kau siapa 'sih?! tiba tiba datang tidak sopan sekali!" bentak Verga pada gadis itu.
"Heol? tidak bercermin, yah?"
"Apa maksudmu?!" nada bicara Verga masih meninggi.
"Yang tidak sopan siapa? semalam beraninya mengatai seseorang yang tidak dikenalnya sebagai jalang. Lalu, membuat keributan yang membuat semua pengunjung BAR terganggu." Angel sengaja menekankan kata itu berharap pria dihadapannya ini mengingatnya.
Verga terdiam, ia mencoba mencerna perkataan gadis yang tidak dikenalnya. Selanjutnya, ia menelan kuat salivanya, meski pandangannya waktu itu samar, tapi tetap ia tau betul maksud gadis itu.
Verga membenarkan posisi duduknya, ia berdehem kecil. "Jadi, gadis itu kau?" tanya Verga pelan.
"Wow! kau mengingatnya? apa kau juga tau, seberapa kesalnya aku ketika kau mengataiku yang tidak tidak?" Verga hanya mengusap pelan tengkuk lehernya, jika ditanya punya rasa bersalah, yah tentu pria itu akan mengiyakan.
"Maaf, lagipula waktu itu aku sedang mabuk, kesadaran ku menghilang sepenuhnya, jadi itu bukan total kesalahanku." Jelas Verga.
"Verga, kau mabuk?!"