Pintu yang ditendang dengan keras oleh seorang pria membuat gadis yang berdiri tepat disampingnya mendadak ketakutan. Pria itu melemparkan tatapan tajam kepadanya yang membuat ia menunduk menatap kakinya yang telanjang tanpa alas.
"Kenapa diam? ingin kuseret masuk?" nada bicaranya terdengar begitu dingin. Tanpa aba-aba, gadis itu dengan secepat kilat meleset masuk sesuai perintah yang ditujukan untuknya.
Perempuan dengan gaun selutut berwarna ungu memandangi dengan takjub bangunan mewah yang baru kakinya tapaki. Sebenarnya ini memang yang pertama kali baginya melihat rumah semewah ini, tempat tinggalnya saja yang sebelumnya tidak seperti ini.
Belum puas ia menatap takjub seluruh bangunan mewah itu, suara teriakan seseorang sudah lebih dulu membuat tatapannya beralih pada sosok pria yang baru saja ia temui beberapa jam yang lalu. Ya, dia Varo, pria yang menyelamatkannya.
"Ayah!!"
Suara itu seakan menggelegar diseluruh ruangan. Gadis putih pucat itu benar-benar dilanda ketakutan, ia seperti ditempatkan di ruangan yang sama dengan seekor harimau buas yang siap menerkamnya kapan saja ia mau. Tidak berlangsung lama hingga sosok pria tua baya menghampiri keduanya, mata gadis itu tiba-tiba berbinar dengan senyum yang melengkung jelas dikedua sudut bibirnya.
"Paman!" serunya, gadis itu berlari kecil kearah pria yang ia sebut 'paman'.
"Urus wanita itu, sudah cukup dengan aku menyelamatkannya karena perintah konyol mu. Ini yang pertama dan terakhir kalinya aku direpotkan olehnya, sekarang urus dia sendiri." Varo melangkahkan kakinya hendak menaiki tangga, tapi suara ayahnya lebih dulu menyapa telinganya.
"Tidak bisa. Lusa dia akan masuk dikampus yang sama denganmu, tidak ada penolakan!" tekan Tn. Syam.
Varo memutar tubuhnya mengarah pada dua manusia yang sedang menatapnya, ia menghela nafas lalu melepas dasinya dengan asal.
"Kenapa setiap permintaanmu tidak ada satupun yang membuatku menyukainya? kenapa setiap permintaanmu harus mutlak terjadi? dan kenapa selalu memintaku?!" suara Varo meninggi diakhir kalimat.
"Dia anak sahabat ibumu, var! itulah mengapa ayah memintamu menyelamatkan dia!" bentak Tn. Syam.
"Ibuku tidak pernah memintaku mematuhi perintahnya yang membuatku tidak nyaman! dia tidak egois sepertimu! that's why i hate you, dad!!" Varo melangkah dengan cepat menaiki tangga, bersamaan dengan satu tetes air mata yang jatuh dari pelupuknya. Sedikit rasa sesak setelah melontarkan perkataan itu pada ayahnya.
-
Laras POV
Aku tak berhentinya memandangi lukisan indah yang sedari tadi menarik perhatianku, aku memajangnya pada dinding yang berhadapan langsung dengan kasurku agar aku bisa terus memandanginya.
Belum puas kupandangi lukisan itu, tiba-tiba kudengar ponselku berdering menandakan panggilan masuk. Segera kuraih benda persegi panjang itu, disana tertera nama Varo. Jantungku berdetak kencang, pasalnya ini pertama kalinya ia menelpon ku setelah kita berakhir setahun yang lalu, biasanya ia hanya mengirimiku pesan saja, tidak lebih. Tapi kali ini, ada apa pria itu tiba-tiba menghubungiku.
Berusaha kukendalikan dadaku yang bergemuruh didalam sana sebelum mengangkat panggilannya.
"Halo, ras?" suara lembut tapi sedikit serak itu menyapaku, membuat perasaanku semakin tertahan didalam sana.
"I-iya, var?"
"Kau belum tidur juga, yah?" pertanyaan itu membuatku sedikit terkekeh, sepertinya ia sedang basa basi.
"Tentu belum, lagi pula aku baru saja sampai, Varo." Kudengar ia ikut terkekeh dibalik sana.
"Ras, aku merindukanmu, sangat," Suaranya terdengar begitu serius, nafasku seakan tercekat mendengar penuturannya. "Aku ingin mendekapmu saat ini, aku merasa sedang berada dititik terendah ku. Laras aku membutuhkanmu."
Suara itu berubah menjadi sendu, aku tau betul ia punya masalah berat saat ini, biasanya dia akan mengajakku bertemu dan menangis dipelukanku.
"E-hm, ada apa var? kau bisa ceritakan kepadaku jika kau ada masalah, aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik."
"Aku membutuhkanmu saat ini, bisa tidak aku datang menemuimu? kau selalu bisa membuatku kembali tenang." Lagi-lagi nafasku seakan tercekat, entah ingin memberikan jawaban apa, ingin mengiyakan tapi aku sadar, kita sudah tidak memiliki hubungan spesial lagi. Ingin menolak juga rasanya tidak mungkin, aku tidak setega itu.
"Var, tapi ini sudah terlalu larut untuk menerima seorang tamu, terlebih kau seorang pria."
"Kau kenal aku dengan baik, ras. Aku tidak mungkin bertindak diluar batas, saat ini aku hanya merindukanmu. Aku butuh kau untuk menenangkanku seperti biasa, kau obat terampuhku, ras." Varo memelas.
Tak ada pilihan lain, aku terpaksa mengiyakan permintaannya. Dengan antusias ia mengatakan akan sampai 20 menit lagi.
Laras POV end
-
Laras berjalan cepat kearah pintu yang diketuk dengan cepat sedari tadi, agaknya pria itu sudah sampai. Dibukanya pintu itu dengan perlahan, bisa Laras lihat wajah tampan yang selama ini ia selalu rindukan tersenyum kepadanya.
Hampir saja Laras tumbang jika Varo tak menahan tubuhnya, pasalnya pria itu dengan cepat memeluk Laras dengan seluruh tenaganya hingga membuat keduanya harus terpentok Kedinding.
Perlahan tapi pasti, Laras ikut melingkarkan tangannya pada leher pria yang tengah memeluknya penuh afeksi. Tangan Varo melingkar sempurna pada pinggang ramping milik Laras, ia menyembunyikan wajahnya pada cengkuk leher Laras. Dihirupnya dengan sedikit agresif wangi tubuh gadis yang selalu menjadi candu baginya.
Varo mengecup singkat leher gadis itu sebelum menjauhkan wajahnya dari sana guna melihat wajah gadis yang selalu ia rindukan. Ditangkupnya wajah itu dengan kedua tangannya, dibarengi dengan kecupan penuh makna pada kening Laras.
"Apa masalahmu kali ini jauh lebih berat?" tanya Laras mengusap buliran bening yang baru saja menetes dipipi Varo.
Bukannya menjawab, Varo malah menggenggam kemudian mengecup tangan Laras yang berada dipipinya. Ia menatap dalam mata gadis itu dengan sayu.
"Apa aku salah jika mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan pada ayahku?"
Laras tersenyum sekilas, ia mengusap pelan rambut Varo. "Tentu, seorang anak tidak sepatutnya mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan pada orang tuanya, apapun alasannya."
"Dia egois, ras. Aku tersiksa jika seperti itu terus, salah tidak jika aku melawan?"
Lagi, Laras tersenyum menanggapi. "Jika menurutmu yang ayahmu lakukan padamu berdampak negatif, jangan diteruskan. Kau bisa menolaknya tapi tidak dengan kata-kata kasar. bagaimanapun, api bisa padam dengan air, kau berusahalah menjadi air itu, bisa?" Varo tampak berfikir keras, Laras terkekeh melihatnya.
"Jika hanya terus berfikir tanpa bertindak, kau tidak akan menemukan jalan keluarnya. Lakukanlah hal yang menurutmu positif untuk menolak permintaannya, jika kau melakukan sesuatu yang berdampak baik pada dirimu sendiri, itu tidak akan membuat ayahmu khawatir lagi. Mungkin yang ia lakukan saat ini hanya untuk membuatmu tetap aman atau yang terbaik selalu menghampirimu." Varo sudah seperti seorang murid polos yang mendengar penjelasan dari gurunya. Bedanya, ia merengkuh mesra gurunya itu.
"Bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan emosiku?"
"Emosi memang sifat umum manusia, kau hanya perlu meredakannya. Kau bisa mencoret-coret sebuah kertas lalu merobeknya, atau meniup balon sebanyak mungkin. Aku selalu melakukan itu jika berada di puncak tertinggi emosiku, aku mengetahuinya dari laman psikologi yang sering kubaca. Yang terpenting jangan pernah keluarkan kata-kata kasar lagi, mengerti?"
Varo tersenyum senang kemudian mengangguk. Matanya menatap bibir ranum Laras yang sedikit basah, jujur ia merindukan rasanya bibir itu. Bibir yang selalu membuatnya candu setiap saat.
"Ras, boleh tidak?" Varo meminta izin pada Laras yang tampaknya mengerti keinginan Varo. Gadis itu berfikir sejenak sebelum mengangguk mengiyakan.
Varo perlahan mendekatkan wajahnya pada Laras yang sudah menutup matanya, disapanya bibir itu dengan isapan yang lembut secara perlahan. Decapan demi decapan tercipta dengan jelas diruangan itu, Varo menakan pelan kepala sang gadis agar membuat ciuman itu lebih dalam lagi. Benar-benar kebahagiaan yang sangat keduanya dambakan, tak ada nafsu sama sekali, hanya sebuah rindu yang ingin ia tuntaskan.