Laras masih setia memasang wajah sendunya, Verga tidak tahu harus berbuat apa selain menurutinya. Sedari awal Verga menolak bukan karena tidak mampu, ia bahkan bisa meskipun dengan harga triliunan, ia menolak hanya karena tidak ingin mengurus wanita itu, seperti itu katanya.
"Memangnya setelah kita mendapatkan wanita itu, kau ingin apakan dia?" Verga bertanya dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Hanya ingin menyelamatkannya saja, mungkin saja ia ingin pulang kepada keluarganya, maka kita akan mengantarnya." Jelas Laras.
"Lalu bagaimana, jika ternyata keluarganya sendirilah yang menjualnya? itu sama saja dengan 'lepas dari mulut buaya, masuk kedalam mulut harimau' bisa jadi keluarganya lebih menyeramkan daripada pria hidung belang yang ada disini." Verga berusaha meyakinkan Laras dengan ucapannya. Hitung-hitung jika ia berhasil, dirinya tidak akan bersusah payah untuk berdebat harga dengan rekan lainnya.
"Aku mohon, Vee. Nanti akan kuganti uangmu, tapi kucicil, terpenting selamatkan dia lebih dulu." Wajah Laras sudah memelas membuat Verga menghela nafas. Pria itu memencet pelan pangkal hidungnya.
"Baiklah, tapi jangan pernah menyuruhku mengurus gadis itu."
Senyum Laras merekah, ia mengangguk antusias. "Aku janji, terima kasih Vee." Verga mengangguk kemudian mengelus pelan surai hitam milik Laras.
"50 miliyar"
Nafas Laras tercekat, baru penawaran pertama saja sudah sebanyak ini. Ia terus memanjatkan do'a pada Tuhan, semoga Verga berhasil memenangkan penawaran kali ini.
"70 miliyar"
Lagi, nafas Laras seakan tercekat. Tapi bukan karena harga yang ditujukan, tapi karena suara pria yang ada dihadapannya saat ini. Pria yang diyakininya sebagai Varo, tapi untuk apa? mau Varo apakan gadis itu? fikiran Laras benar-benar dipenuhi oleh pertanyaan itu.
"Sepertinya mantan kekasihmu itu penggila wanita juga." Bisik Verga diakhiri kekehan kecil darinya.
"Jangan sembarangan! Varo tidak seperti itu!" Jawab Laras kesal. bagaimanapun, ia lebih dulu mengenal Varo sejak lama, tentu ia tahu Varo itu orang yang seperti apa.
"Sudah ditinggalkan masih saja membela, dasar wanita." Umpat Verga pelan, beruntung gadis itu tidak mendengarnya.
"Vee," panggil Laras pelan, Verga berdehem. "Biarkan ia mendapatkannya, kau tidak usah ikut serta dalam penawaran gadis itu." Verga menolehkan kepalanya kearah Laras yang tertunduk memainkan jari-jarinya.
"Why? you thought me to give up?" Laras menggelengkan kepalanya. "Mungkin dia membutuhkan gadis itu, aku yakin dia bisa menjaganya." Laras mendadak tersenyum sendu.
"Kau tidak mengira jika aku miskin 'kan?" Verga bertanya dengan nada mengintrogasi.
"Verga, aku serius! biarkan Varo menyelamatkan gadis itu." Laras berusaha meyakini Verga.
"Bagaimana bisa kau tahu jika si bajingan itu akan menyelamatkannya? bisa jadi dia hanya ingin menjadikan gadis itu pemuas hawa nafsunya." Verga lagi-lagi memancing Laras untuk berfikiran negatif.
"Verga! dia punya nama, lagipula sudah kukatakan Varo bukan orang yang seperti itu!" Laras berusaha keras menahan emosinya dengan mengeluarkan suara kecil yang hanya bisa didengar oleh Verga dan dirinya.
Kedua manusia berbeda gender itu masih sibuk berdebat mengabaikan Varo dan pebisnis lainnya yang masih berdebat harga. "Kau ini astaga, aku tau berfikiran positif itu baik. Tapi tidak selamanya yang kau kira positif itu akan selalu positif. Laras, kuharap kau bisa membuka matamu, berfikiran negatif sekali tidak masalah disituasi yang mendukung." Verga menjelaskan sebisa mungkin.
"Vee, aku tahu apa yang terbaik untukku. Tidak perlu khawatir, jikapun kau benar, aku tetap tidak akan menyesali keputusan pertamaku. Karena bagaimanapun, aku mengenalnya sebagai orang baik sejak awal." Balas Laras setegar mungkin.
"Aku hanya lelah melihatmu yang terus menerus menganggap dia pria baik, dia tidak sebaik itu, Ras."
"Ini sebenarnya acara pelelangan atau acara adu nasib?sedari tadi kau memancingku untuk mengeluarkan seluruh perasaanku. Fokus saja pada acaranya mulai sekarang." Verga hanya tertawa hambar sembari menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"200 miliyar." Sahut pria tua baya didepan sana. Ternyata sudah sejauh ini, fikir Laras.
"220." Sahut pria yang duduk bersebelahan dengan Verga.
"250 miliyar"
Semuanya terdiam sejenak sampai akhirnya, "500 miliyar." Sahut lelaki dihadapan Laras. Semua tamu yang hadir tampak melorotkan matanya, berbeda dengan Verga yang hanya menunjukkan senyum smirknya sedangkan Laras terdiam dengan senyum sendunya.
"Sebegitu besarnya keinginan dia untuk mendapatkan gadis itu, benar-benar pria bejat." Batin Verga.
"Kau sepertinya tidak main-main Varo, ada apa sebenarnya dengan gadis itu yang membuatmu seantusias ini?" Batin Laras tersenyum miris. Keduanya sibuk dengan fikiran masing-masing.
-
Acara pelelangan itu berjalan lancar, Laras mendapatkan barang yang ia inginkan begitupun dengan Varo. Verga? tidak usah ditanya dia mendapatkannya atau tidak, melihat Laras bahagia dengan lukisan yang ia menangkan itu sudah menjadi hal yang ia idamkan.
Meski terlihat bahagia dengan lukisan yang dipeluknya, tak dapat dipungkiri bahwa isi fikiran gadis itu masih tertuju sepenuhnya pada Varo. Mengingat pria itu mendapatkan apa yang ia mau, membuat rasa sesak tersendiri bagi Laras.
Langkah kaki Laras dan Verga harus terhenti ketika mendengar suara seseorang yang memanggilnya ketika hendak menuju mobil, keduanya berbalik dan menemukan atensi Varo yang berjalan menuju kearah mereka dengan topeng yang sudah terlepas dari wajahnya. Benar-benar tampan pria itu dengan setelan jas hitamnya.
"Hai, Ras! aku tidak menyangka kau hadir disini juga." Sapa Varo.
"Itu, Verga yang mengajakku, hehe." Jawab Laras tersenyum kikuk.
Varo mengarahkan sepenuh atensinya pada pria yang berdiri tepat disamping Laras. "Verga, kebetulan kau hadir disini, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Ucap Varo tersenyum yang dibalas oleh decihan kecil dari Verga.
"Laras, masuklah kemobil lebih dulu, aku akan menyusul setelah ini." Laras hanya mengangguk patuh, ia menyerahkan lukisan itu pada Verga, meminta agar pria itu meletakkannya pada bagasi mobil.
Verga melepas topeng yang melekat pada wajahnya, ia melempar asal topeng tersebut, kemudian melonggarkan sedikit dasi yang bertengger dilehernya. Dua manusia tampan dengan tinggi yang hampir sama itu saling memandangi dengan tatapan tajam masing-masing.
"Kenapa kau membawa Laras dalam acara ini?"
Verga tersenyum miring menanggapi pertanyaan Varo. "Kenapa? memang apa hubungannya denganmu?" Verga berusaha memancing emosi Varo.
"Cih! pertanyaanmu menunjukkan seolah-olah kau takut jika aku dan Laras kembali bersama."
"Kedengarannya kau menceritakan dirimu sendiri, tuan Varo." Lagi, Verga menunjukkan smirknya.
"Terserah katamu, yang kutahu selama ini Laras hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak lebih," Varo menghela nafas sejenak. "Sekarang jawab pertanyaanku, kenapa Laras bisa sampai pada tempat ini? dia itu gadis polos, tidak sepatutnya hadir dalam acara ini!" Varo melemparkan tatapan tajam dengan tangan yang terkepal kuat dibawah sana.
"Apa pedulimu sebenarnya? kenapa tidak urus saja gadis yang baru kau beli?"
Pertanyaan Verga sukses membuat Varo tidak dapat mengendalikan emosinya lagi, ia mencengkram kuat kerah Verga. "Sialan! pertanyaanku tidak mengarah ke arah sana, kenapa kau malah membahasnya, sialan!"
BUGH
Varo mendaratkan satu pukulan pada ujung bibir Verga, wajah pria itu tertoreh kesamping, beruntung tidak mengeluarkan darah. Jadi, Verga tak perlu takut mendengar ocehan dari Laras.
"Lihat, kau bahkan tidak bisa melawan! lalu, bagaimana caranya kau bisa menjaga Laras dari laki-laki hidung belang yang ada disini!" murka Varo. Tak ingin berdiri disana terlalu lama, ia memutuskan untuk pergi lebih dulu meninggalkan Verga yang masih memegangi sudut bibirnya yang terasa berdenyut.