Kedatangan setiap tamu disambut dengan sopan oleh para penjaga, Laras ternyata berfikiran salah selama ini. Ia fikir, mafia itu menyeramkan seperti di setiap novel yang ia baca, ternyata salah. Buktinya para penjaga yang baru saja menyambutnya adalah seorang mafia yang sangat sopan.
Laras mengalungkan tangannya pada lengan Verga, tentu saja lelaki itu yang meminta. Bagaimanapun, Laras disini hanya orang asing yang tiba-tiba dimintai hadir dengan sahabatnya, meski kebingungan menerpanya, tapi tetap ia harus berusaha sebisa mungkin agar bisa terlihat seperti orang yang sudah terbiasa hadir diacara seperti itu.
Keduanya duduk berdampingan di sofa yang telah disediakan, design ruangan itu nampak mewah tapi gelap. Aturan sofanya saja berjejer seperti sebuah meeting dikantoran dengan meja besar ditengahnya. Oh astaga, apa tempat ini akan mengadakan rapat besar besaran?, pikir Laras.
"Tetap tenang dengan posisimu, jangan menoleh pada orang yang ada didepan atau disampingmu selain aku, orang-orang yang hadir disini biasanya mudah berfikiran negatif." Bisik Verga pelan, Laras hanya mengangguk tanda mengerti. Benar-benar situasi yang canggung.
Laras sedikit mengedarkan pandangannya pada seisi ruangan itu, pandangannya tak sengaja tertuju pada pria tinggi dengan setelan jas hitam, tentu dengan topeng yang menutupi wajahnya. Pria itu berhenti tepat dihadapan Laras yang terhalangi oleh meja besar diantara keduanya, perlahan pria itu mendaratkan bokongnya pada sofa yang sama seperti Laras dan Verga. Lelaki itu sama sekali tak menatap atau bahkan melirik kearah Laras maupun Verga.
Laras menyenggol pelan bahu Verga, "Bukankah dia Varo? dari fisiknya mirip dia." Ucap Laras pelan.
Verga melirik sekilas pada pria itu, "Sudah kukatakan jangan melirik sembarangan, bagaimana jika dia tidak sengaja melirikmu juga dan setelahnya terjadi adu pandang diantara kalian? dia akan mengira bahwa kau menggodanya, dan kau tidak akan bisa lepas darinya." Jelas Verga berbisik.
"Tapi aku benar 'kan? coba kau lihat lagi, itu benar-benar Varo." Tukas Laras. Ia yakin dengan sepenuhnya, lelaki itu memang Varo.
"Kalaupun iya, memangnya kenapa? sudah diam saja, acaranya akan dimulai." Final Verga. Laras hanya menghela nafas mengikuti perkataan pria yang duduk disampingnya itu. Sesekali ia melirik pada lelaki yang ada dihadapannya.
"Selamat malam untuk seluruh tamu undangan yang sudah hadir diacara pelelangan kali ini. Sebelumnya terima kasih untuk yang sudah menyempatkan diri untuk hadir malam ini. Teruntuk barang yang akan dilelang, saya jamin tidak akan mengecewakan seperti biasa, dan tentunya selalu bisa memuaskan mata anda dan lebih bagus dari yang sebelumnya."
Semua tamu undangan memberikan tepuk tangan singkat setelah mendengar sambutan baik dari sipemilik acara. Begitupun dengan Laras dan Verga, serta si pria misterius yang selalu menjadi sasaran lirikan Laras.
Beberapa barang sudah menjadi hak milik dari beberapa pengusaha, tentu dengan mengajukan harga tertinggi sehingga yang lain menyerah dengan harga itu. Verga hanya diam belum menawarkan barang sejak tadi, katanya sih, masih belum tertarik, Laras hanya mengidikkan bahunya acuh.
"Barang berikutnya, lukisan yang dibuat dengan beberapa emas dan berlian didalamnya, lukisan ini satu satunya berada didunia yang ditemukan di negara Afrika bagian selatan. Silahkan ditawari, seperti biasa hak pemilik jatuh kepada tawaran harga tertinggi."
"Wah, luar biasa. Indah sekali, aku baru melihat lukisan seperti itu seumur hidupku." Gumam Laras dengan mata berbinar melihat lukisan yang dipajangkan didepan sana.
"Kau mau?" tanya Verga, Laras menoleh kemudian mengangguk. "Tapi pasti mahal, aku tidak ingin menghamburkan uang demi sebuah lukisan." Sahut Laras.
Verga menunjukkan smirk andalannya. "Akan kudapatkan untukmu." Batinnya.
"500juta" sahut si penawar pertama.
"1 miliyar"
"2 miliyar." sahut Verga. Laras menoleh dengan wajah sedikit terkejut, kenapa pria ini tiba-tiba ikut dalam penawaran.
"3,5 miliyar"
"5 miliyar"
Verga hanya terdiam melihat dua pria yang tengah beradu harga. Laras fikir, lelaki itu mungkin sudah menyerah. Jelas wanita itu salah, Verga tidak handal dalam hal menyerah, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali bersuara.
Penawaran masih berlanjut dengan harga yang makin menambah, sejauh ini sudah empat orang yang ikut beradu demi mendapatkan lukisan itu. Mungkin Verga adalah penantang ke lima.
"15 miliyar" semua orang terdiam sesaat begitupun dengan Verga.
"Apa sudah tidak ada lagi?"
"18 miliyar"
Verga memutar bola matanya malas. Ia berfikir, kenapa orang yang menawar harga bertele-tele sekali, tidak langsung pada harga tertinggi saja.
"Bagaimana, apa sudah tidak ada yang ingin menawar lagi? kalau tidak, maka barang ini akan jatuh ke tangan dia." Semuanya hanya terdiam, menunggu sang pembawa acara mengeluarkan suara lagi.
"Baiklah, barang ini akan ja-"
"30 miliyar" ucap Verga dengan yakin. Semua orang mengarahkan pandangannya pada pemuda itu, Laras sampai mencubit pelan perut milik Verga, sedangkan sang empu hanya memberikan kedipan mata pada Laras.
"Kau serius?" Tanya Laras setengah berbisik, pria yang ada dihadapannya mengarahkan seluruh pandangannya pada Laras. Sedikit rasa terkejut mendengar suara perempuan yang dikenalnya itu ternyata hadir ditempat ini.
"Apapun untukmu." Bisik Verga.
"Saya beri 10 detik bagi penantang yang ingin menambah harga lagi," Semuanya terdiam. "10,9,8,7,6,5,4....3.....2....1, oke! Lukisan ini menjadi milik anda." Sang pembawa acara memberi tanda pada lukisan itu yang artinya sudah dimiliki seseorang.
"Tidak ingin mengucapkan sesuatu kepadaku? sebuah ungkapan terima kasih mungkin?" tanya Verga dengan nada terdengar angkuh. Lagi-lagi Laras mendaratkan sebuah cubitan pada perut Verga yang membuat pria itu meringis pelan.
"Kenapa 'sih, perutku selalu menjadi sasaranmu." cibirnya kesal
"Hanya suka saja, terlebih ada kotaknya." Laras terkekeh pelan. Memang benar, pria itu punya kotak diperutnya yang ia bentuk dengan tidak pernah absen gym dan sebagainya, Verga berusaha keras untuk membentuknya.
Laras membenarkan sedikit posisi duduknya seperti sebelumnya. Ia menatap kearah depan tak sengaja pandangannya bertemu dengan lelaki yang ia kira Varo. Pria itu menatapnya lekat tanpa lepas, bahkan tatapannya seakan bertanya kenapa ia ada disini. Laras hanya mengalihkan pandangannya berusaha menghindari tatapan lelaki itu.
"Sepertinya ini barang terakhir yang akan saya tawarkan. seperti biasa, barang ini adalah yang ditunggu-tunggu. Silahkan buat penawaran setinggi-tingginya." Dibukanya tirai itu hingga menampilkan seorang wanita dengan gaun berwarna ungu dan kedua tangan yang diikat serta kepala yang ditutupi dengan tudung berwarna hitam.
Laras terkejut setengah mati, ia tak habis fikir dengan orang yang tega menjadikan gadis itu sebagai barang pelelangan. Bagaimanapun, dia juga adalah seorang wanita, tentu ia tau betul bagaimana perasaan perempuan yang sedang diikat itu.
Ingin sekali gadis itu berdiri dan menghampiri pembawa acara tersebut lalu menghajarnya habis-habisan. Tapi Verga sudah lebih dulu menahannya.
"Lepaskan aku, biarkan aku menghajarnya! apa dia tidak punya hati, memperjualbelikan seorang gadis seperti itu?!" Laras melempar tatapan tajam pada Verga.
"Tenanglah, itu sudah biasa terjadi. Kau tak perlu khawatir." Verga berusaha keras menenangkan gadis yang tengah dilanda emosi itu.
"Selamatkan dia Vee, aku mohon." Wajah Laras seketika menjadi cemas dan sendu, ia menyatukan kedua tangannya pada Verga berharap lelaki itu mau mengabulkannya.