Hari itu pengumuman penerimaan masuk ke SMA. Yuana, Bobby, dan Mafred seperti yang mereka perkirakan, diterima di SMA yang sama. Ketiganya begitu girang karena bisa bersama lagi di sekolah lanjutan tingkat atas itu.
"Kita bertiga diterima. Great!! Kita tetap bersama. Yuk, kita jalan-jalan? Merayakan hari ini," ajak Bobby.
"Kamu traktir?" Manfred melihat Bobby.
"Beres. Mau, kan, Yu?" Bobby menoleh pada Yuana.
Yuana tidak segera menjawab tampak berpikir.
"Yu! Kenapa? Sudah ada acara?" tanya Bobby.
"Nggak. Oke, deh ..." sahut Yuana. Sebenarnya dia takut kalau Yoel tahu dia pergi dengan teman cowok. Bisa-bisa dia ditampar lagi. Ah, sudahlah, jangan sampai Yoel tahu saja.
Dengan riang ketiganya menuju ke pusat kota. Mereka menjelajahi mall yang berjajar, mencari barang-barang baru persiapan sekolah. Sepanjang jalan mereka bersenda gurau. Tawa mereka lepas penuh kegembiraan. Inilah bahagia Yuana. Bersama dua temannya yang sangat baik ini. Apalagi bersama Bobby yang punya ruang spesial di hatinya.
"Ntar ambil IPA atau IPS?" tanya Manfred. Mereka duduk di alun-alun kota sambil memperhatikan air mancur di tengah kolam. Sementara mereka menikmati es krim.
"Aku masuk IPA. Suka Fisika dan Biologi," jawab Bobby.
"Pingin jadi dokter kayak papamu?" tanya Yuana.
"Ya, maunya sih, gitu. Kamu, Yu?" Bobby balik tanya.
"Aku belum tahu. Mungkin aku mau jadi guru." Yuana menjawab asal.
"Guru?" Bobby dan Manfred memandang Yuana.
"Guru TK." Yuana tertawa. Jelas dia bercanda.
Bobby dan Manfred serentak ikut tertawa mendengar itu. Manfred menunjuk ke arah yang agak jauh di depan mereka.
"Apa?" sahut Bobby. Dia mengikuti arah mata Manfred.
"Tuh, ada teman cakep." Manfred menunjuk tiga cewek bule yang berjalan menuju salah satu mall. "Samperin yuk, sambil practise English."
"Oke, sapa takut." Bobby berdiri. Lalu berjalan ke arah ketiga turis itu. Manfred dan Yuana mengikutinya.
"Hello, good afternoon!" sapa Bobby.
"Oh, hello!" sahut yang berambut pirang sambil tersenyum.
"I am Bobby. This is Manfred. And this is Yuana, my bestfriends." Bobby memperkenalkan diri mereka.
"Nice to see you ..." ujar Yuana. Mereka saling salaman.
Perkenalan berlanjut. Ketiga bule itu memperhatikan Manfred. Wajah dan posturnya memang terlihat bule seperti mereka, tetapi saat bicara terasa logatnya bukan orang yang biasa berbicara Bahasa Inggris. Kulit Manfred putih, matanya biru, rambutnya berombak coklat kemerahan.
"Yeahh ... I am an Australian, but I have lived here since I was very young," jawab Manfred, menjelaskan siapa dirinya.
"I see ..." ketiganya menyahut bersama sambil tersenyum.
Perbincangan berlanjut sementara mereka berjalan menuju mall yang sudah ada di depan mereka. Lalu bersama mereka masuk ke mall. Bobby menunjukkan toko yang lengkap untuk cari souvenir.
Sampai jam tiga lewat baru mereka pulang. Sekitar lima belas menit perjalanan, Yuana sampai rumah. Yuana langsung menuju ke kamarnya. Baru naik tangga kelima
*****
"Yuan!" panggil Yoel. Dari nada suaranya terdengar dia marah.
Yuana balik badan memandang Yoel.
"Dari mana kamu?" Yoel melangkah mendekati Yuana.
"Dari sekolah," jawab Yuana pelan.
"Jam berapa harusnya kamu pulang?" Yoel tampak geram.
"Jam sepuluh." Yuana merasa debaran jantung mulai cepat.
"Tapi jam segini baru sampai rumah. Ke mana saja kamu!?" sentak Yoel
"Pergi dengan sahabatku." Yuana menguatkan hati yang sedikit takut.
"Sahabat kamu bilang?!" Yoel melotot. "Cowok-cowok itu ga akan perduli jika sesuatu terjadi dengan kamu. Dengar, kau boleh berteman, di sekolah. Tapi kalau keluyuran dengan mereka, jangan harap itu terjadi lagi."
Lagi, Yuana ketahuan pergi dan membuat Yoel marah. Tapi kali ini Yuana harus berani membela dirinya.
"Bukan urusanmu. Aku akan pergi ke mana aku mau, dengan siapa aku suka. Sama seperti kamu. Dari mana kamu tahu aku pergi dengan mereka?" Yuana memberanikan diri memandang Yoel.
"Aku lewat di sekitar mall dan melihatmu tertawa tidak jelas dengan anak-anak itu. Urakan. Aku sangat tidak suka!" sentak Yoel.
"Urakan? Kamu pikir dirimu pemuda sopan yang bisa bertingkah menyenangkan begitu?" Yuana bicara lebih tegas meski nada suaranya masih sama. Dia tetap berdiri di tempatnya.
"Kamu sekarang berani menantang aku? Hah??" Yoel makin marah.
"Aku takut padamu. Tapi aku tidak mau kau bertindak semaumu. Aku tau apa yang kuinginkan, apa yang aku mau. Kau tahu, teman-temanku mereka lebih peduli aku ketimbang kamu. Mereka lebih tahu apa yang kurasakan dari kamu, orang yang tinggal serumah dengan aku." Yuana masih tetap di tempat dia berdiri.
Yoel naik dua tangga lagi. Kakinya sejajar dengan Yuana. Tapi kali ini Yuana harus mengangkat kepala memandang kakaknya.
"Aku kakakmu! Kamu harus dengar kata-kataku!!" bentak Yoel.
"Kakak! Kamu bilang apa? Aku tidak pernah merasa punya seorang kakak." Yuana tersenyum sinis. Takutya perlahan hilang, berganti rasa benci yang menyusup.
"Anak keparat!" Tangan Yoel melayang ke muka Yuana. Yuana langsung oleng. Dia berpegangan dinding agar tidak jatuh. Pipinya terasa sangat panas.
"Tampar lagi! Kamu kira dengan tamparanmu aku mau ikut kata-katamu? Demi Tuhan, aku tak mau dengar orang kasar macam kamu." Yuana lari ke kamarnya. Masuk dan mengunci pintu sebelum Yoel sempat menangkapnya.
Dengan marah Yoel menggedor pintu.
"Yuan!! Buka!! Aku hanya ga mau kamu celaka! Yuan!!!" Yoel terus saja berteriak.
Yuana tak menghiraukan teriakan Yoel. Dia berdiri menatap dirinya di cermin besar di kamarnya.
Wajahnya kelihatan kacau. Rambutnya terurai hingga di punggungnya. Matanya menunjukkan kesedihan yang dalam. Pipinya basah dengan air mata yang mengalir tanpa bisa dia tahan. Dan ada merah bekas gambar tangan Yoel di sana.
Terdengar suara langkah kaki menjauh. Yoel akhirnya pergi. Dan kemudian terdengar suara motornya. Ya, Yoel meninggalkan rumah.
Yuana masih berdiri di depan cermin, dia mengambil gunting di meja. Entah karena marah, entah karena sedih, dia menangkup rambutnya lalu dia potong tepat di belakang lehernya. Potongan rambutnya yang panjang dan halus itu digenggam di tangannya.
"Aku tidak mau siapapun mengatur aku. Aku harus lakukan apa yang aku mau. Aku lelah ... sangat lelah ..." Yuana berkata lirih sambil memandang wajahnya di cermin. Wajah yang biasanya lembut itu terlihat garang dan menyedihkan.
*****
Jam tujuh pagi, murid baru kelas 10 berkumpul di lapangan. Masa orientasi sekolah dimulai. Yuana belum bertemu Manfred dan Bobby pagi ini. Dia berharap tidak akan bertemu dengan mereka. Untung mereka tidak sekelas. Tapi, waktu jam istirahat, Yuana bertemu dengan Manfred. Secara kebetulan ketika Yuana akan balik ke kelasnya.
"Yuan?" Manfred kaget melihat keadaan Yuana.
"Hai ..." Yuana melirik Manfred lalu menunduk lagi. Dia mencoba tersenyum tapi jadi canggung.
"Kamu kenapa?" Manfred merasa aneh dengan wajah Yuana. "Lihat aku, Yu."
Pelan Yuana mengangkat wajahnya. Ada memar di pipi kirinya. Rambutnya? Pendek sekali, dan acak-acakan.
"Kita harus bicara, Yu." Manfred menarik Yuana ke tempat yang sepi, di belakang aula.
"Ada apa? Yoel lagi?" tanya Manfred. Yuana memandang Manfred. Dia makin gagah dengan seragam SMA.