Chereads / My Internal Mistakes / Chapter 13 - Harga Diri

Chapter 13 - Harga Diri

"H-hah?!" Asya mendadak gugup, sekaligus kaku. "Mencintaiku? Kamu mencintaiku?" tanya gadis itu memastikan. Ya, walaupun ia gugup sekali.

Sean mengerling ke sembarang arah sembari menghela nafas berat. "Kertas yang kemarin itu, yang kau inginkan. Hanya berisi tulisan berjudul 'Aku mencintaimu'. Itu saja," jelas Sean.

Asya masih tampak kebingungan. Tidak, gadis itu hanya masih gugup dengan ucapan Sean. Beberapa detik setelah penjelasan Sean, Asya langsung berdesis.

"Ya ampun, ambigu sekali. Bilang dong, dari tadi!" pekik Asya memukul pelan lengan Sean.

Sean tak menggubris. "Kenapa kamu berlarian barusan? Seperti dikejar anjing saja," tanya lelaki itu mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh, itu ...," Asya menahan ucapannya sembari melirik ke belakang, siapa tau sosok Crish masih ada di belakangnya. Namun, syukurlah lelaki itu sudah tak ada. "Tadi ada kakakmu sedang lari-lari. Ya, aku hanya terkejut. Bagaimana kalau dia tahu bahwa aku ini anak pelayan di rumahmu?" ungkap Asya.

"Jangan khawatirkan itu. Mau anak pelayan atau anak siapapun dirimu, Crish tak akan peduli," balas Sean yang membuat Asya langsung bungkam.

KYURUUUUUUUUK! GRRRNGGG!

Asya dan Sean langsung membatu saat mendengar suara barusan. Suara gemuruh perut dan cacing-cacing yang menginginkan jatah sarapan. Hal itu membuat Asya melirik ke arah Sean.

"Kau lapar?" tanya Asya.

Sean berdecak. "Ck, lapar apanya? Sudah jelas itu suara perutmu," ujarnya.

Asya hanya memutar bola mata. "Ya, aku memang lapar. Jadi aku akan ke cafe sekarang, mencari makanan," ungkapnya sembari berlalu meninggalkan Sean di tempat. Beberapa langkah, hanya suara langkah sepatu Asya yang terdengar. Namun, Asya tak bodoh, gadis itu juga mendengar derap langkah orang lain yang mengekor di belakangnya. Ia tahu, seseorang yang ada di belakangnya itu adalah Sean. Siapa lagi?

"Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Asya tanpa berbalik ke belakang.

"Aku ingin ke cafe juga," ungkapnya. "Ah, tidak. Cafe sekarang belum buka." Sean menyahut.

Asya melirik sebentar. Benar juga, di jam seperti ini cafe pasti belum buka. Kenapa Asya bisa lupa akan hal itu? Namun, pandangannya beralih pada sebuah kedai bubur ayam yang ada di pinggir jalan. Gadis itu langsung tersenyum, tanpa basa basi Asya berlari ke sana, meninggalkan Sean tanpa sepatah kata.

"Mang, pesan buburnya satu mangkuk. Ayam dan kerupuknya yang banyak, ya!" seru Asya sembari mengambil tempat duduk yang sudah tersedia di sana. Pedangan bubur tersebut menyetujuinya dengan senyuman.

"Dua, buburnya jadi dua mangkuk," ujar Sean tiba-tiba saat langkah kaki lelaki itu sampai di sana, ia langsung duduk di samping Asya sembari melihat tangan.

"Baik, Nak," sanggup si bapak penjual bubur.

Asya sedikit terbelalak saat Sean duduk di sampingnya, lelaki itu terlihat santai. Seolah merasa tak berdosa.

"Kamu ini kenapa mengikutiku, sih?" tanya Asya risih.

"Ada yang ingin aku katakan padamu," jawab Sean to the point.

Hal itu membuat Asya mengerutkan keningnya. "Apa?" Asya penasaran.

Sean tak langsung menjawab. Lelaki itu melirik ke arah Asya, ia menatap manik Asya lekat, untuk waktu yang lama, persis tatapan tadi saat Asya tak sengaja menabrak Sean. Dan hal itu membuat Asya risih.

"Matamu agak bengkak. Apa kamu menangis kemarin malam?" tanya Sean.

Asya mengangkat kedua alisnya. Bagaimana Sean bisa tau?

"Benarkah? Ah, mungkin karena aku begadang semalaman untuk mengerjakan tugas," jawab Asya asal.

"Aku kemarin sempat mendengar pertengkaranmu dengan ibumu. Mungkin aku menjadi salah satu penyebabnya. Tapi, aku hanya ingin memberitahu padamu, ini adalah resiko yang harus kamu tanggung jika berurusan denganku. Banyak orang menjauhiku karena alasan yang sama, aku adalah anak orang kaya yang levelnya jauh di atas kalian," ungkap Sean mulai bercerita. Sementara itu, Asya mulai diam untuk menyimak.

"Tapi jujur saja, aku tak menyukai hal itu. Aku ingin berteman dengan banyak orang, dan tak ingin disegani karena lahir di keluarga kaya raya. Aku tak menginginkan itu. Aku hanya ingin mencari orang yang bisa aku jadikan teman yang benar-benar tulus. Itu saja," lanjutnya. "Jadi, itu terserah padamu. Jika kamu ingin menjauhiku, tak jadi masalah. Aku hanya ingin berterima kasih atas malam tadi, Lathia sepertinya lumayan cemburu dengan kita." Sean melirik ke arah Asya sembari tersenyum.

Asya mematung, memandang Sean dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah mengapa, perkataan lelaki itu mengisyaratkan padanya bahwa Sean amatlah kesepian. Sean barusan terbuka padanya, apa yang harus Asya katakan? Bahkan melihat senyuman Sean saja, sukses membuat Asya semakin bungkam.

"Hey, kau dengar tidak?" Sean memecahkan kebungkaman Asya.

"A-ah, iya! Aku tau." Hanya itu yang bisa Asya katakan. Canggung sekali. "Sebagai anak ibuku, aku juga paham bagaimana rasanya kesepian." Asya juga mulai bercerita. "Tapi dengan itu, aku bisa menghabiskan waktu kesendirianku sembari memahami diriku sendiri, melakukan hal yang aku sukai tanpa ada yang mencegahnya. Jika kamu butuh bantuanku lagi, datang saja. Aku tak keberatan," balas Asya tersenyum kaku.

Sean terdiam, mencerna perkataan Asya. Gadis itu terlihat santai sekali, dan reaksinya sangat alami. Berbeda dengan gadis lain ketika ada di dekatnya, pasti reaksinya sangat heboh bahkan terkesan cari perhatian dengannya. Namun Asya, terlihat biasa saja seolah Sean ini bukanlah anak dari orang terpandang.

"Kemarin kamu menyebutku pencuri, bagaimana reaksimu saat tahu aku anak majikanmu?" tanya Sean mengalihkan pembicaraan.

Sebelum Asya menjawab, gadis itu terlebih dahulu menyambut semangkuk bubur ayam yang sudah siap, kemudian meletakkannya di meja, mengambil beberapa kerupuk dan sendok. "Tentu saja aku cukup terkejut," ungkap gadis itu sembari menyiapkan sesendok bubur ke dalam mulu. "Tapi itu tak terlalu membuatku shock. Lagi pula kau berkeluyuran di atap rumahmu, tak mengherankan jika kamu anak dari Pak Arman," jelasnya jujur.

Sean hanya menatap Asya yang sedang asyik dengan buburnya. Ternyata benar, reaksi gadis itu terlihat biasa saja, berbeda dengan gadis lainnya. Hal itu membuat Sean sedikit lega.

Setelah selesai sarapan bubur dan jam pun sudah menunjukkan pukul enam lebih, Asya memutuskan untuk segera berangkat sekolah. Piket hari ini cukup berat baginya, jadi Asya harus datang pagi agar sempat membereskan kelasnya.

Gadis itu melangkah melewati trotoar bahkan tanpa mengatakan apapun pada Sean, hal itu membuat Sean cukup merasa sebal.

"Hey, Lia!" panggil Sean, Asya langsung menghentikan langkahnya.

"Apa?" tanyanya.

Sean tak langsung menjawab. Ia menunjuk beberapa buku di atas meja pelanggan. "Kamu mau meninggalkan buku-buku ini? Ini buku penting, 'kan?" Sean lalu mengambil buku itu, dan menyodorkannya pada Asya.

"Oh, iya! Aku lupa! Terima—"

"Hey, lihat! Bukannya itu Kak Sean?"

Ucapan Asya terpotong saat ada beberapa orang gadis berseragam SMA datang dari trotoar depan. Para gadis itu lalu saling histeris saat menyadari keberadaan Sean.

"Eh, bener Kak Sean, dong!" seru salah satu gadis itu. Mereka lalu berlari menuju Sean, dan tanpa disadari mereka memotong jarak antara Sean dan Asya, hingga buku yang diterima Asya dari Sean langsung terjatuh ke atas trotoar.

BRUK!

Buku-buku itu jatuh. Namun para siswi itu nampak tak peduli, ada beberapa buku yang terinjak dan mereka tak menghiraukan Asya, seolah Asya itu adalah makhluk tak kasat mata.

Asya hendak membungkuk untuk mengambil bukunya, namun salah satu gadis berhasil menyenggolnya hingga gadis itu terduduk di tanah dengan keras. Gadis itu terkejut. Ia terdiam cukup lama sembari memikirkan sesuatu. Sembari terus menatap Sean yang kini tengah dikerubuni para gadis SMA, Asya diam-diam mengepalkan tangannya. Perkataan Alma tiba-tiba terngiang di telinganya.

'Apa yang kau lakukan dengan Sean?! Dia anak majikan Mama! Mama tak mau harga diri kita diinjak-injak karena sudah berani dekat dengan keluarga majikan kita!'

***

~Bersambung~