"Aku lebih nyaman dengan hidup yang sekarang, Ki. Entah menikah atau tidak, itu terserah kehendak Tuhan. Aku cukup trauma dengan yang namanya pernikahan," ungkap Rintik.
Luka di masa kecilnya masih terbawa hingga sekarang. Korban perceraian orang tua, sampai akhirnya membuat Rintik merasa tak lagi memedulikan kehidupan berumah tangga. Ia telah pasrah sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa. Tidak ingin pusing memikirkan jodoh karena rasa takutnya pada masa kelam masih sulit untuk diobati.
"Aku tahu itu, Ri." Bahkan Kirana tak tahu lagi bagaimana cara untuk mengapresiasi dirinya sendiri. Ia bisa sembuh dalam waktu yang cukup singkat.
"Ah, sudahlah. Kita nikmati dulu masa muda ini, Ki. Nanti ada saatnya kita membahas perihal jodoh," tandasnya.
"Nanti kita bisa jalan-jalan, tidak?" tanya Kirana.
"Kamu bisa keluar dan bertemu banyak orang?" tanya Rintik terheran-heran.
Justru Kirana dibuat bingung dengan pertanyaan Rintik. Namun, tak aneh juga sebenarnya, karena Kirana baru mengalami kejadian tidak menyenangkan dan bisa saja itu membuat ia ketakutan untuk keluar dan bertemu banyak orang.
"Bisa, kok, Ri."
"Tapi aku yang ragu."
"Jangan khawatir!"
"Gila."
***
Keesokan harinya, Kirana sudah bersiap di meja makan untuk sarapan. Orang tuanya kembali mengulur waktu untuk pulang, sehingga Kirana memasak di pagi buta.
Sendiri tanpa membangunkan Rintik terlebih dahulu. Kasihan jika tidur nyenyak Rintik harus diganggu, sedangkan raut wajahnya memperlihatkan betapa lelahnya gadis itu. Kirana paham dan Kirana mencoba untuk terus mengevaluasi diri, sehingga paham secara mendalam persoalan hidup Rintik.
"Kamu masak dari pagi tadi?" Rintik berjalan menghampiri Kirana yang tengah duduk seraya melamun.
"Ha?" Kirana terlonjak kaget dengan pertanyaan yang Rintik lontarkan.
"Kamu masak?" tanyanya mengulang.
"Iya," jawab Kirana setelah mendengar jelas pertanyaan Rintik barusan.
"Permisi, selamat pagi!" Suara itu terdengar nyaring dari luar sana. Sehingga Kirana dan Rintik menata ke arah sumber suara, yaitu pintu utama.
"Aku bukakan sebentar," ucap Kirana seraya berlalu.
"Iya, sebentar!" seru Kirana.
Kedua tangannya menarik gagang pintu dan membukanya lebar-lebar. Di mana ada dua manusia yang berdiri dan menatap Kirana dengan sangat lekat. Salah satunya tersenyum sembari melambaikan tangan.
"Selamat pagi, Sayang."
Anindya. Iya, sepagi itu dia datang memboyong Kakrataka.
"Selamat pagi, Ma," balas Kirana seraya memaksa senyumnya.
"Lihat, Mama bawa sarapan buat kamu." Anindya mengangkat sebuah kresek berukuran sedang. Kirana menebak jika itu adalah nasi goreng kesukaannya. Karena selama hidupnya, meski sekarang Kirana telah mapan, ia tak pernah memaksakan kemewahan dalam hidup. Sarapan pun ia selalu makan nasi atau nasi goreng dan jarang sekali dengan sepotong roti bertoping selai.
"Terima kasih, Ma. Ayo, kita masuk dulu," ajak Kirana.
Ia menggenggam jemari Anindya tanpa memedulikan Kakrataka. Ia masih cukup kecewa dengan kalimat yang terucap malam itu, saat di mana Kirana menginap di rumah Kakrataka. Hatinya sakit, tetapi tak cukup untuk berargumen.
"Aku mau mengenalkan seorang temanku pada Mama." Kirana tak lupa dengan Rintik yang terduduk seraya menantinya.
"Siapa?"
Tanpa keduanya sadari, Kakrataka berjalan mengekor. Padahal tidak diajak masuk oleh Kirana dan diacuhkan juga oleh Anindya.
"Ini, Ma. Namanya Rintik," ucap Kirana setelah sampai di meja makan.
"Selamat pagi, Tante." Rintik terlalu peka, sehingga ia lebih dahulu menghampiri dan menjabat tangan Anindya.
"Cantik sekali. Namanya Rintik, ya?" tanya Anindya memastikan.
"Iya, Tante. Kalau Tante namanya siapa?" Ia berbalik tanya untuk sekadar basa-basi dan supaya lebih akrab lagi.
"Nama saya Anindya. Kamu bisa panggil saya Tante atau Mama, sesuka kamu saja."
"Baik ... Tante."
Rintik tercuri perhatiannya untuk menatap lelaki yang berdiri di belakang Kirana dan Anindya. Berbadan tinggi dan kekar, serta rahangnya yang tegas, membuat ia menahan napas. Kegugupan secara tiba-tiba menyerang Rintik yang berdiri di seberang Kirana juga Anindya. Ia telah kembali pada posisi awal setelah menjabat tangan Anindya sebagai tanda penghormatan pertemuan awal.
Mengerti akan arah pandang Rintik, Anindya menatap Kakrataka yang hanya diam seraya menampilkan wajah datar.
"Rintik, perkenalkan ini anak saya. Namanya Kakrataka. Raka, jabat tangannya dan saling berkenalan!" titah Anindya.
Kakrataka mendekat dan mengulurkan tangan kanannya. Namun, Rintik tak segera membalas. Ia masih terdiam menatap Kakrataka.
"Kakrataka!" tegasnya.
"Ah, Rintik." Baru setelah mendapat teguran Kakrataka, Rintik bisa menghentikan lamunannya. Membalas jabatan tangan Kakrataka, tetapi tak segera melepaskan.
"Ayo, kita semua sarapan bersama!" Kirana mengeraskan suaranya. Membuat Rintik dan Kakrataka tersadar, sehingga keduanya melepaskan jabatan tangan tersebut.
"Kebetulan, nasi gorengnya tadi Mama bawa lima porsi. Jadi, semua kebagian rata," ucap Anindya.
"Terima kasih banyak, ya, Ma," balas Kirana.
"Sama-sama, Sayang."
Pada akhirnya, pagi ini mereka berempat sarapan bersama. Dengan Kirana yang sesekali menangkap bahwa Rintik tengah mencuri pandang pada Kakrataka.
Ada tatapan aneh yang Kirana ketahui setelah mengamati perubahan raut Rintik. Semenjak kedatangan Kakrataka, ia mengerti dalam diri Rintik ada sesuatu yang berubah. Namun, ia tak berani menanyakan perihal itu.
***
"Kapan kamu bisa masuk kantor lagi?"
Saat ini, Kirana tengah duduk berjarak dari Kakrataka di ruang tamu.
"Jika mental saya sudah siap," jawabnya berusaha sebiasa mungkin.
"Baiklah, saya tidak akan memaksakan kehendak. Namun, saya hanya berharap serta berdoa supaya kamu bisa segera pulih. Meratapi semua ini tidak ada gunanya sama sekali. Kamu harus pulih dan membuktikan pada dunia bahwa kamu orang sukses." Wejangan Kakrataka membuat Kirana mulai terbuka pola pikirnya. Namun, belum juga mampu mengikis rasa sakit dalam dada serta ketakutan yang masih cukup mendominasi.
"Terima kasih sudah mau mengerti."
"Berarti Anda atasan dari Kirana, ya?" Secara tiba-tiba, Rintik datang membawa potongan buas segar yang ditaruh di atas piring. Menyela obrolan keduanya yang tengah membahas perihal kerja.
"Iya, ada apa?" tanya Kakrataka dengan ketus.
"Tidak. Saya hanya bertanya dan apakah saya salah?"
"Tidak juga."
"Kirana, Sayang. Kamu kalau merasa kesepian, bisa mengajak Rintik untuk menginap di rumah, kok," ucap Anindya yang berjalan dari dapur.
"Tidak, Ma. Nanti merepotkan Mama," balas Kirana.
"Maksud Mama, dua hari lagi Mama, Papa, dan Raka akan pulang ke Jawa Timur. Apa kamu mau ikut?"
"Boleh, Tante!" sahut Rintik yang lebih semangat, ketimbang Kirana yang kesulitan untuk berpikir.
"Ri, kan aku belum memutuskan," protesnya.
"Tidak apa. Tenang saja. Kita bisa bersenang-senang di Jawa Timur," jawab Rintik dengan mudah.
"Ya sudah." Pada akhirnya Kirana pasrah. Ia memilih mengikuti jalan Rintik yang sedikit sesat untuknya.
"Bagaimana?" tanya Anindya memastikan.
"Iya, kita akan ikut, Ma." Kirana sudah mengambil keputusan dan mulai siang nanti, ia akan packing berbagai macam perlengkapan yang akan dibawa. Kebetulan siang nanti baju Rintik dan Kirana akan datang, sehingga keduanya bisa memakai pakaian yang sama nantinya.
"Raka, nanti Delina jadi ikut, tidak?"