Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 24 - Dingin

Chapter 24 - Dingin

Rencana kepergian menuju Jawa Timur, akhirnya gagal. Dengan adanya kejadian tak terduga tersebut, akhirnya Anindya harus dirawat jalan. Atas permintaan perempuan tersebut, Kakrataka juga mengalah.

Tidak ada cidera yang serius, tetapi Anindya diharuskan bedrest sampai tujuh hari ke depan. Mengingat usianya yang tak lagi muda, jadi karena kejadian tersebut, Anindya harus benar-benar mengistirahatkan dirinya. Dilarang bepergian jauh, bahkan untuk turun dari tempat tidur dan ingin keluar pun masih harus dibantu kursi roda.

Sampai pukul dua dini hari, Kirana juga belum pulang. Bersama Rintik yang diminta Anindya untuk stay menemani. Keduanya duduk di tepi ranjang seraya menatap Anindya yang pulas tertidur.

Samar hanya ada suara dua manusia yang berusaha melirihkan suara di luar sana.

"Ri, aku keluar sebentar, ya. Kamu jaga Mama!" titah Kirana.

"Iya, Ki. Tenang saja."

Kirana melangkah keluar dari kamar. Ia bukan bermaksud lancang ingin mendengar sesuatu yang Kakrataka perbincangkan dengan Delina di luar sana.

"Aku mencoba sabar, Del. Hanya saja kamu yang keterlaluan, kamu bermain ponsel seraya berjalan dan tidak memerhatikan bahwa Mama tengah berjalan di sampingmu! Bagaimana kamu bisa menjadi istriku jika menjaga Mama saja tidak becus!" Kakrataka menekankan kata paling akhirnya.

Kirana mengintip melalui jendela yang gordennya belum ditutup sempurna. Suara keduanya terdengar jelas di telinga, karena pertikaiannya terjadi di teras rumah Kakrataka.

"Aku minta maaf, Mas. Kamu kira aku juga tidak terluka saat melihat Mama dalam keadaan menderita!" Delina juga tak mau kalah dengan mengedepankan argumennya sebagai penguat atas pembelaan diri.

"Dengan caramu ini, satu langkah membuatku sedikit mundur," ujar Kakrataka dengan sangat dalam.

Seorang Kirana terkejut saat mendengar apa yang Kakrataka ucapkan barusan. Kirana dapat menangkap bahwa Kakrataka menatap Delina dengan tatapan nanar. Benar-benar mengerikan, tetapi ia mencoba untuk mengontrol diri supaya tetap diam di tempat dan tak membuat kekacauan. Sehingga tak membuat keduanya mengetahui di mana keberadaan Kirana yang sebenarnya.

"Mundur?! Mundur?! Mas, ingat apa yang menjadi perjanjian kita!"

"Perjanjian?" gumam Kirana.

Namun, sayangnya jendela dengan bagian yang bolong-bolong tersebut mampu mengeluarkan suara dengan jelas. Kirana menutup mulutnya rapat-rapat. Mundur sesegera mungkin dan berbalik, segera kembali ke kamar Anindya.

"May!"

Mampus!

Kirana membeku di tempat. Kehilangan cara untuk membuat kaki melangkah secara panjang seperti yang biasa ia lakukan.

"Kamu mendengar apa yang saya dan Delina bicarakan?"

Dengan gerakan pelan, Kirana berbalik dan menatap Kakrataka dengan ragu-ragu. "Mendengar apa?" tanyanya dengan lugu.

"Semua yang saya dan Delina bicarakan."

"Tidak."

"Jangan berbohong, May!"

Meski begitu, Kakrataka benar-benar tak berani mendekati. Ia takut jika sampai membuat Kirana kembali mengingat rasa trauma dalam dirinya.

"Saya tidak berbohong!" Setelah mengucapkannya, Kirana berbalik dan segera berlari ke kamar Anindya.

"Sial!" umpat Kakrataka.

Di samping itu, Rintik terheran-heran saat melihat kedatangan Kirana yang ngos-ngosan. Seperti ketakutan dan baru saja berlari untuk menghindar dari sesuatu hal.

"Ada apa?" tanya Rintik, berbisik.

"Tidak ada apa-apa."

Kehadiran Delina masih terus ditahan oleh Kakrataka. Perempuan tersebut beralasan menggunakan banyak hal agar bisa pulang, tetapi sekuat tenaga Kakrataka tahan. Bahkan pada akhirnya Delina bertahan sampai pukul dua dini hari. Berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik-baik.

"Ya sudah, ayo tidur," ajak Rintik.

***

"Mega!"

Kirana terbangun dari mimpi pendeknya. Dengan sentakan kasar dari seseorang yang memanggil nama orang lain. Kirana mengerjap beberapa kali dan mengucek kedua matanya.

"Pak Bos kenapa berisik sekali ...." Kirana meraih ponselnya. Menghidupkan dan menatap waktu. "Padahal masih jam setengah lima pagi," lanjutnya masih merasa mengantuk sekali.

"Mega!"

Merasa jengah, Kirana keluar kamar dan menghampiri Kakrataka.

"Ada apa, Pak Bos? Ini masih pagi dan Pak Bos bisa membuat tidur Mama terganggu!" tegur Kirana dari kejauhan.

"Bukan urusanmu!" ketusnya.

Rasa kantuk Kirana menguap seketika. Menatap Kakrataka sekali lagi dan mendapati ada sesuatu yang janggal.

"Saya hanya menasihati karena Mama masih dalam masa penyembuhan. Jadi, Pak Bos harus lebih lembut."

"Saya bilang ini bukan urusanmu, orang lain!"

Orang lain? Baiklah, Kirana mengerti situasi sekarang ini.

"Baiklah, setelah ini saya akan pulang. Maaf, karena ada orang lain yang berani menginap di rumah Anda!"

Kirana berbalik dan segera membangunkan Rintik. Mengajak gadis itu beranjak dan pergi jauh dari rumah tersebut.

Masih dengan setengah nyawa, Rintik dipaksa untuk masuk ke dalam mobil. Hingga Kirana memutuskan untuk mengemudi mobil, meski isi kepalanya tak fokus pada satu hal yang harusnya dikerjakan.

"Kenapa kamu terburu-buru, Ki?" Rintik masih setengah memejam. Dengan tubuh bersandar di jok dan memakai seatbelt asal-asalan.

"Tidak apa," jawab Kirana seadanya.

Ia mulai fokus menyetir dengan mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Baru kali ini ia merasa tersakiti dengan ucapan bosnya sendiri.

***

"Ki, aku ingin bertanya sesuatu, apakah boleh?"

Sekarang ini Kirana dan Rintik sedang berada di teras rumah. Menanti kepulangan orang tua Kirana yang sejak kemarin mengukur waktu.

"Bertanya apa?"

"Kakrataka itu tidak cocok dengan wanita yang kemarin."

Mendengarnya, membuat Kirana menoleh dengan tak santai.

"Maksudmu?"

"Ya tidak baik saja. Dia kurang bisa menghormati lelakinya sendiri dan kulihat, dia sengaja membuat Tante terjatuh."

"Hus! Jangan menuduh orang yang sembarangan, Ri. Orang tidak bisa menilai hanya melalui lu--"

"Luarnya saja? Tidak! Aku tidak menilai dari luarnya saja, tetapi aku tahu hanya dengan melihat gerak-gerik dan juga perilakunya."

"Sudahlah, jangan membahas ini, Ri. Ada hal lain yang bisa diobrolkan."

"Apa?"

"Tentangmu." Kirana kembali menatap lurus ke depan.

Berbeda dengan Rintik yang mengerucutkan bibir secara spontan. "Ada apa dengan aku?" Rintik kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi. Ikut menatap lurus, terfokus pada dedaunan gugur di depan sana.

"Saat kemarin gagal menikah."

"HA?! Serius bertanya hal itu?!"

"Kenapa? Aku mengingatkanmu pada luk--"

"Tidak, hanya saja kenapa kamu tahu tentang hal itu?"

"Aku mendengarnya."

"Dari siapa?"

Kirana menoleh. "Aku bertanya pada burung merpati yang diperantarai oleh kabar angin," jelasnya.

"Ngaco!"

Kirana tertawa puas. Membalas kekesalannya dengan kebiasaan buruk Rintik. Gadis yang selalu saja datang tanpa permisi dan kemudian pergi meninggalkan sesuatu sehingga manusianya merasa kehilangan. Namun, kenangannya membekas kuat dalam ingat.

"Tidak, keluargamu masih menjadi perbincangan di kompleks ini. Meski kepergianmu telah lama berpindah ke tempat lain. " Sekarang fokus Kirana telah kembali pada angin yang begitu terasa kosong di hadapannya.

"Iya, keluargaku berpengaruh besar di kompleks sini. Kamu tahu itu, bukan?"

Kirana mengangguk.

"Karena selama kompleks ini terjadi pertengkaran dan banyak musibah, keluargamu yang selalu bisa diandalkan dan menjadi penyelamat," tutur Kirana masih mengingat jelas bagaimana peran keluarga Rintik.

"Namun, itu dulu, Ki. Sekarang sudah tidak berlaku lagi. Semua sudah berada pada jalannya masing-masing."