Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 23 - Masalah Baru

Chapter 23 - Masalah Baru

Sejak membahas Delina, seketika rona di wajah Kirana berubah. Memerah padam dengan kedua tangan yang tak bisa dikendalikan. Mengepal seraya bersembunyi di pangkuan.

"Jadi, Ma. Dia juga sudah packing. Sekalian prewedding di sana pasti bagus," ucap Kakrataka.

Kirana merasa tubuhnya memanas. Rembetan dari hati yang mulai tercabik mengenaskan. Ia tak sudi untuk satu detik saja menatap Kakrataka.

Cukup akan luka batin yang ia terima, jangan sampai hatinya ikut digerayangi luka yang menganga.

Kirana coba mengingat bahwa dirinya usai disakiti oleh lelaki brengsek. Hingga ia menahan rasa suka dalam hatinya yang telah bertahan cukup lama.

"Ki, kamu kenapa lagi?" bisik Rintik.

"Tidak apa," jawabnya singkat.

"Oh, ya, sudah. Bagus kalau begitu mau prewed di sana," jawab Anindya setelah Kakrataka menyelesaikan ucapannya.

"Kirana, Sayang. Jadi, kamu mau Mama bantu packing atau gimana?"

Kakrataka menoleh pada Kirana. Begitu santai sampai tak membuat Kirana terganggu sama sekali. Sedangkan Kirana hanya menatap pada Anindya. Enggan untuk menghadap Kakrataka. Hatinya belum sembuh dan masih dalam masa-masa pemulihan.

"Tidak perlu, Ma. Nanti Kirana packing bersama Rintik saja," ucapnya dengan sangat halus.

"Iya, Tante," sahut Rintik.

"Rintik, bantu Kirana, ya. Intinya kalian saling menjaga dan membantu satu sama lain, ya," pesan Anindya layaknya pada dua anaknya sendiri.

"Pasti, Tante," jawab Rintik dengan mantab.

"Nanti malam datang ke rumah, ya, Kirana. Rintik juga ikut. Kamu bisa bawa mobil, kan?"

"Bisa, Tante." Rintik secepat mungkin mengangguk.

"Ya sudah, kalian datang ke rumah. Kamu yang mengemudi mobilnya untuk sementara waktu, ya, Ri!" titah Anindya.

"Iya, Tante."

Sejak tadi yang banyak bicara hanyalah Rintik dan Anindya. Sedangkan dua manusia yang sama-sama melamun tersebut enggak untuk nimbrung jika memang tidak diajak berbincang.

Kirana malas dengan Kakrataka hanya karena masalah malam kemarin. Lelaki itu tak tahu menahu, tetapi Kirana dengar dan Kirana terlanjur memasukkannya dalam hati.

"Mama dan Raka pamit dulu, ya. Kalian hati-hati di rumah," ucap Anindya seraya beranjak dan menarik tangan Kakrataka untuk ia genggam.

"Permisi," tandas Kakrataka yang akhirnya mau bersuara.

"Hati-hati, Ma," ucap Kirana dengan lembut.

Setelah mobil Kakrataka meninggalkan halaman rumah Kirana, Rintik segera menarik Kirana. Menutup pintu rumah dan mendudukkan Kirana di sofa.

"Aku menebak sesuatu," ucap Rintik sok misterius.

"Apa?" Kirana heran dengan kelakuan Rintik.

Rintik mendekat dengan tatapan menajam. Mengarahkan telunjuknya pada Kirana yang semakin takut karena merasa terintimidasi.

"Kamu ada rasa sama Bos kamu sendiri, ya?" tanya Rintik.

Kirana melotot tak santai. Bagaimana bisa Rintik dengan mudah membaca, padahal Kirana sudah mencoba sebaik mungkin dalam menutupi raut wajah tak suka.

"Ngaco, Ri!" sanggahnya.

"Tidak. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat mereka mengatakan perihal prewedding."

"Ya mana ada aku--"

"Apa? Apa?" Rintik mencecar gadis tersebut.

Sepertinya sulit sekali bagi Kirana untuk mengakui. Rasa sukanya tak mungkin dijabarkan dengan mudah di depan Rintik.

"Memang susah, ya, untuk cerita kepada sahabat yang lama tidak bertemu," cibir Rintik telak!

Lagi-lagi Kirana dibuat melotot tak santai. Rintik benar-benar membuatnya kelimpungan, tak bisa mengontrol raut wajahnya yang amat tak santai.

"Ri, jangan aneh-aneh!"

***

Malam harinya, saat waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, Kirana dan Rintik sampai di rumah Kakrataka. Melihat sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah, membuat Kirana yakin bahwa di dalam sana ada seorang Delina. Entah sedang bermesraan atau mencari sensasi supaya mendapat perhatian lebih dari calon suami dan calon mertuanya.

"Kamu kenapa?" Langkah Kirana terhenti setelah turun dari mobil dan jarak beberapa langkah dari kursi taman.

"Tidak, aku hanya sedang merenungkan sebuah masalah."

"Masalah apa?"

"Sejak beberapa bulan terakhir, orang tuaku berusaha untuk mendidikku secara keras. Mereka tak pernah berpihak pada pilihanku dan mereka selalu memperlakukanku jauh dari yang sebelumnya. Entah mengapa, mereka lebih sayang pada bayi dalam kandungan Bunda."

Kirana tak sengaja mendengar obrolan Kakrataka dengan Delina di kursi panjang taman. Keduanya duduk berdekatan, dengan Delina yang kini menyandarkan kepalanya pada bahu Kakrataka.

Tatapannya hampa, seolah kehancuran tata hati dalam diri tengah berjalan rapi. Sontak, kejadian itu membuat Rintik ikut-ikutan berhenti dan mengikuti arah pandang Kirana.

"Cemburu?" tanya Rintik yang menyadarkan Kirana dari lamunannya.

"Hah?" tanya Kirana sembari tergagap.

"Cemburu?" tanyanya mengulang.

"Tidak, apa-apaan, sih, kamu!" ujar Kirana merasa tak suka dengan pertanyaan Rintik.

Akhirnya tanpa mau menatap kemesraan yang tengah terjalin, Kirana mengajak Rintik untuk segera beranjak. Masuk ke dalam rumah untuk memenuhi undangan Anindya hari ini.

"Selamat malam, Mama!" ucap Kirana sedikit keras karena tak mendapati Anindya ada di dalam.

Mega datang dengan tergesa. Menghampiri Kirana yang tengah berdiri di dekat pintu utama.

"Mbak, masuk saja. Ibu sedang di kamar bersiap-siap," ucap Mega, mempersilakan Kirana dan Rintik untuk duduk dan menanti.

"Baiklah, terima kasih, Mega," ujar Kirana sebelum akhirnya Mega pergi dan meninggalkan keduanya di ruang tamu.

"Memangnya ada acara apa, ya?" tanya Rintik berbisik.

Memang sampai detik ini, keduanya belum tahu dengan tujuan Anindya menyuruh datang. Bahkan di awal kedatangan, mereka disambut dengan kemesraan sepasang anak manusia. Hingga secara tiba-tiba membuat darah Kirana berdesir dan mendidih sampai ke ubun-ubun.

"Entah, Mama juga tidak bilang apa-apa," jawab Kirana dengan enteng.

Rintik dan Kirana memilih untuk diam. Menanti Anindya yang masih belum ada tanda-tanda keluar dari kamarnya. Sedangkan dari arah pintu utama, ada Kakrataka dan Delina yang bergandengan mesra. Tersenyum entah membicarakan apa, tetapi Kirana merasa sakit saat melihat pemandangan tersebut.

"Kapan kalian datang?" tanya Kakrataka.

Dalam hati, Kirana menyebut. Setidaknya suara mobilnya tak sehalus teriakan semut, sampai membuat Kakrataka tak sadar. Padahal jarak mereka tak sampai ratusan meter.

"Beberapa menit lalu," jawab Kirana.

"Oh, Mama belum keluar, May?" tanya Kakrataka lagi.

Lelaki itu mengajak Delina untuk duduk di sampingnya. Mepet sekali, sampai tak ada jarak sedikit pun.

"Belum."

"Dia siapa, Kirana?" Delina mengalihkan fokusnya kepada Rintik.

"Rintik."

"Hai, Rintik," ujar Delina dengan sok akrab.

"Iya, salam kenal." Rintik juga canggung untuk membalas sapaan dari seorang Delina.

"Saya Delina." Kini saatnya masuk ke sesi berjabat tangan. Saling berkenalan di awal pertemuan adalah hal lumrah.

Tanpa disadari oleh Rintik dan Delina, Kirana beberapa kali berkontak mata dengan Kakrataka. Keduanya sudah mulai terlihat berjarak, padahal sebelumnya begitu dekat layaknya memiliki hubungan spesial.

"Aku buatkan mereka minuman, ya," pamit Delina segera beranjak dan menuju dapur.

"Selamat malam, Sayang. Kalian berdua baru datang?"

Bruk!

Delina menabrak Anindya sampai wanita itu terjengkang dan menabrak tembok dengan keras pada bagian punggungnya.

"Mama!"