Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 21 - Cerita Lampau

Chapter 21 - Cerita Lampau

Kedatangan Rintik tak pernah disangka oleh Kirana. Belasan tahun berpisah, baginya sudah menjadi hal yang mustahil untuk kembali dipertemukan.

"Kerja di mana sekarang?" tanya Kirana pada Rintik yang mengutak-atik laptop Kirana. Mencari barang-barang mahal melalui sebuah aplikasi berbelanja.

"Entahlah. Mau kerja, tapi Ayah tidak mengizinkan. Katanya kelak disuruh meneruskan usaha kulinernya. Kalau kantor sudah diserahkan ke Abang A--"

"Kamu punya Abang?" tanya Kirana.

"Abang ipar maksudnya."

"Loh, Kak Cla udah menikah?"

"Udah."

"Kenapa tidak mengirim undangan kemari?"

"Waktu itu Kak Cla sempat mau mengirim, tapi tidak cukup waktunya."

"Oh, seperti itu."

"Ah, udahlah, Ki. Aku mau belanja baju, jangan mengganggu."

"Belanjakan aku juga. Masih ingat yang anak sultan itu siapa, kan?" Kirana tersenyum saat mengatakannya.

Sejak dulu keluarga Rintik terkenal dengan kekayaannya. Bahkan Kirana hampir tak sekali pun ketinggalan dengan uang jajan yang Ibu Rintik beri saat keduanya masih bermain di waktu kecil.

"Tenang saja. Aku meminjam laptopmu pasti kamu akan kubelikan juga," ujar Rintik.

"Thank you, Rintik," balas Kirana dengan girang.

Rintik memutar bola matanya malas. Ia kemudian fokus dengan laptop dan beberapa barang mahal yang terpampang di sana.

"Aku mau tanya sesuatu, Ri?"

"Apa lagi?" Rintik terlihat lelah meladeni Kirana yang mulai banyak tanya.

"Bagaimana Kak Cla bisa sembuh dari trauma di masa kecilnya dulu? Kak Cla punya trauma juga kan dengan lelaki? Karena di masa kecil, ia pernah mendapati pelecehan seksual?"

Sejenak Rintik berbalik dan menatap Kirana dalam-dalam. Memperlihatkan raut serius saat tengah berhadapan.

"Ya, setelah kita pindah, Kak Cla mulai membaik," jawab Rintik. Ia berbalik menghadap laptop kembali. "Karena yang melakukan itu seorang anak lelaki seusia dia dan sekarang ...." Rintik kembali berbalik dan menatap Kirana lagi. "Lelaki itu yang menikahi Kak Cla, karena itu sebuah tanggung jawab yang ia janjikan," lanjutnya.

Kirana tertegun saat mendengar kalimat Rintik. Apakah mungkin jodoh dari seorang Rintik memang ditakdirkan pertemuannya dengan cara tidak senonoh? Anehnya lagi, anak lelaki seusia sembilan tahun, sudah tahu tentang hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Perlahan Kirana mengibaskan kedua tangan di depan wajah. Hawa panas menyelimuti dan seketika cairan bening mulai melingkari bola matanya tipis.

"Ki, are you okay?" tanya Rintik seraya berdiri dan berjalan menghampiri Kirana. Mengurungkan niatnya untuk berbelanja baju sebagai stok selama tinggal di rumah Kirana.

"Iya, aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku." Kirana menghalau Rintik yang berusaha menyentuhnya untuk memberi ketenangan.

"Tapi ka--"

"Tidak apa, aku hanya merasa terharu saja dengan kisah Kak Cla yang dipertemukan dengan jodohnya saat masih kecil," elak Kirana.

Ia mengadu nasibnya dengan Clara. Seorang perempuan berusia matang yang kini dikabarkan telah menikah dengan lelaki yang dulu melecehkannya di saat masih kecil. Kirana membandingkan dirinya yang pasti akan diasingkan dan tak pernah dipilih oleh siapa pun karena telah menjadi bekas.

Kirana merasa dirinya adalah sampah yang tidak satu pun orang sudi untuk memungut.

"Wajah kamu pucat, loh, Ki," ujar Rintik saat terus mengamati Kirana yang diam tak berkutik.

"Stop mengkhawatirkanku, Ri. Sudah kubilang bahwa aku baik-baik saja," ucap Kirana masih tetap kokoh dengan pendiriannya.

"Oke. Aku akan kembali berbelanja dan membiarkanmu tenang dengan caramu sendiri." Dengan begitu, Rintik pasrah serta memilih untuk menjauh dan duduk kembali. Menghadap layar laptop, berbelanja sesukanya dengan meminjam uang Kirana terlebih dahulu.

Keduanya berdiam diri, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kendati demikian, Rintik tak jarang berbalik dan mencuri pandang pada Kirana. Di mana Kirana masih terus melamun dan acuh terhadap sekitar. Wajahnya pucat serta tubuhnya sedikit bergetar, tetapi tak parah hingga berujung tremor.

"Ki, kamu ingat tidak, kalau dulu kita pernah beli es krim, tapi di tengah jalan es krimnya terlempar dan mengenai wajah pak botak kompleks paling ujung?" Ketimbang membiarkan Kirana berada pada zona tak nyaman, Rintik lebih baik mencoba untuk menyadarkan Kirana. Memberi lelucon pada gadis itu, supaya perlahan rasa takutnya mengenai kejadian itu memudar sedikit demi sedikit.

"Ingat! Ingat!" jawab Kirana dengan semangat. Ia tersadar dari lamunannya dan segera mengingat setiap memori usang yang jelas tersimpan.

"Dan waktu itu ... Pak Botak melotot, matanya merah menyala, wajahnya hitam karena marah, dan kita dikejar, tapi kita menghindar. Akhirnya Pak Botak terjungkal dan dia mencium tai ayam," tutur Rintik seraya tertawa di kalimat paling akhir.

Begitu pula dengan Kirana yang ikut tertawa karena mengingat kejadian tersebut. Masih jelas dalam ingatannya, di mana mereka masih berusia lima atau enam tahunan. Masa tersebut keduanya masih sangat bandel dan susah untuk diberitahu. Membuat Pak Botak menderita adalah cita-cita keduanya.

"Pak Botak tuh orang yang paling kita benci di kompleks ini, ya? Tapi kalau pas lebaran, kita yang paling awal minta THR, 'kan?" ucap Kirana masih dengan menahan tawa.

"Benar sekali, Ki. Kita memang anak paling bandel di kompleks ini pada masanya," balas Rintik membenarkan.

Rintik dengan pandai mengulik masa lampau keduanya. Saling tertawa sebagai bocah kecil karena hal-hal sederhana. Sesekali terlibat pertengkaran karena sesuatu yang sepele dan bagi orang dewasa itu adalah hal lucu.

Sesekali Rintik juga bercerita perihal rusaknya hubungan keluarga. Dengan karakteristik sebagai anak kecil yang belum fasih mengucap huruf r. Menceritakannya dengan tawa karena dianggap lelucon, padahal itu adalah hal besar yang seharusnya ditangisi.

"Bersyukur sekali bisa bertemu dengan orang bandel ini," ucap Rintik seraya berdiri dan membawa laptop. Menghampiri Kirana yang duduk di tepi ranjang seraya menatapnya. "Kamu mau yang mana?" tanya Rintik seraya menunjukkan banyak pilihan baju.

"Terserah kamu saja lah, Ri," jawabnya merasa malas jika harus memilih sendiri.

"Kita beli baju couple, ya?" tawar Rintik.

"Boleh." Gadis itu menyetujui dengan mudah. Sesekali memiliki baju couple dengan Rintik. Di mana terakhir kali memiliki adalah saat keduanya masih sama-sama kecil.

"Oke. Lagian terakhir kali kita punya baju couple waktu masih jadi bocah." Rintik satu pemikiran dengan Kirana.

Memang keduanya sangat klop jika sudah bersama. Gila-gilaan sudah pernah dilakukan pada masanya, tetapi saat dewasa kembali dipertemukan, ada sedikit canggung yang membumbui.

"Benar sekali. Jadi, kita bisa gila-gilaan lagi," ujar Kirana.

"Aaa! Benar-benar rindu dengan gadis yang satu ini." Setelah menyelesaikan pembayaran, Rintik menutup laptopnya dan kemudian memeluk Kirana dengan sangat erat. Hingga gadis itu sesak dan kesulitan untuk menghirup oksigen sebebas-bebasnya.

"Astagfirullah, Ri. Aku kesulitan bernapas," adu Kirana dengan susah payah.

"Eh, maaf." Baru setelah mendapat teguran, Rintik melepaskan pelukannya. Membiarkan Kirana kembali menjadi manusia normal dengan bernapas lega.

Kirana masih kesal dengan perlakukan Rintik. Ia menatap Rintik dengan sinis dan sesekali mengembuskan napas kasar.

"Tidak ingin bercerita tentang Mas gebetanmu?"