Dua hari berlalu setelah Kirana menginap di rumah Kakrataka. Gadis itu tak lagi berhubungan dengan Kakrataka. Seperti hilang ditelan bumi, Kakrataka juga tak pernah datang lagi.
Saat ini, Kirana sedang berada di rumah sendirian. Orang tuanya sedang keluar dan akan pulang malam nanti. Kirana terbiasa hidup sendirian walau setelah mengalami kejadian itu. Orang tuanya tak banyak peduli terhadap hidupnya. Mereka hanya berlaku layaknya orang tua, tetapi tak sepenuhnya menjaga peran tersebut.
Berulang kali Kirana berjalan menuju dapur, kemudian kembali ke kamar. Ia tak punya hal menyenangkan yang bisa dilakukan. Di rumah juga tidak ada teman atau sekadar asisten rumah tangga yang bisa diajak berbincang.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi."
Langkah Kirana terhenti di depan pintu kamar. Mendengar suara yang nyaring dari luar. Sepertinya suara perempuan. Jadi, Kirana memberanikan diri untuk mengintip melalui jendela dekat pintu utama.
Setelah memastikan, Kirana membuka pintu. Melongok di sana dengan ekspresi datar.
"Hai, Ki."
"Kamu kenal saya?" tanya Kirana.
"Sama teman kecil udah lupa, ya? Mentang-mentang aku sekarang sudah tinggal jauh dari sini."
"Kamu ...." Beberapa detik terdiam. Kirana mengingat kembali dari segi rupa perempuan yang berdiri di hadapannya. "Rintik?" tanyanya berhati-hati.
"Betul!"
"Astaga. Ke mana saja, Ri?" Setelah tahu siapa yang datang, Kirana keluar dan memeluk Rintik yang juga menumpahkan rasa rindu padanya.
"Kita tidak pernah berkabar lagi, ya?"
"Iya, Ri. Aku seperti kehilangan sosok sahabat dan Kakak lebih tepatnya."
"Jangan melebih-lebihkan," celetuk Rintik.
Seperti namanya, sejak kedatangan gadis itu, rinai turun ke bumi. Hingga Kirana kemudian mengajak Rintik untuk masuk ke dalam rumah. Ketimbang di luar dan terciprat air hujan yang dingin di pagi hari.
Rintik Ayesha Mahardanu adalah teman kecil Kirana. Sekitar 15 tahun lalu, mereka hidup bertetangga, tetapi akhirnya Rintik harus ikut mamanya pindah. Dikarenakan tuntutan kerja dari mamanya yang menyandang status janda. Rintik juga mengalami masa terberat dalam hidupnya sejak usia empat tahun. Setiap hari mendengar pertengkaran orang tua dan terkadang menjadi bahan pelampiasan ayahnya yang pecandu berat minuman terlarang.
Kirana tak sanggup mengingat setiap cerita serta sesuatu yang begitu mengerikan dan pernah menjadi konsumsi bocah empat tahun.
"Ri, kamu mau makan atau minum apa?" tawar Kirana.
"Tidak perlu, Ki."
"Kenapa? Kamu lama tidak datang kemari dan sekarang hanya ingin dijamu, tetapi tidak mau."
"Tidak, bukan seperti itu. Kedatanganku kemari hanya ingin ...."
"Ingin apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Kirana terheran saat melihat Rintik yang menatapnya begitu dalam hingga tak segera beralih.
"Aku dengar kabar tidak menyenangkan tentangmu. Bagaimana keadaanmu sekarang?"
Bahkan berita itu sudah sampai di pendengaran Rintik. Padahal jarak mereka jauh dan Kirana pun tak pernah tahu bahwa Rintik bisa mengerti permasalahan yang dianggap aib tersebut.
Kirana tertunduk lesu saat ditanyai mengenai hal itu.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Kirana mengungkap rasa penasarannya.
"Bukan dari siapa-siapa, tetapi kemarin tidak sengaja aku mendengar berita itu dan lelakinya masih dibebaskan untuk berkeliaran tanpa dipidanakan."
"Sudah, Ri. Aku tak begitu mempermasalahkan. Yang Maha Kuasa akan memberikan balasan setimpal untuk seseorang yang telah merenggut kesucian wanita dengan paksa."
Dalam hati Kirana sudah mulai ikhlas. Sampai kapan pun jika terus berkubang dalam lubang itu, hatinya tak akan tenang. Kirana justru takut jika mentalnya terganggu dan jiwanya tak lagi sehat.
Sampai detik ini, Kirana merasa cukup berhasil dalam menenangkan diri, meski belum mampu menerima kondisi bahwa hidup selalu berdampingan dengan lawan jenis.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rintik.
Hujan di luar semakin deras. Bunyi gemericik air yang turun dari langit semakin keras. Kirana dan Rintik tak peduli dengan itu.
"Mengapa kedatanganmu selalu mengajak rintik, Ri?"
"Kamu kira namaku tidak memiliki filosofi? Dan hujan itu kan sudah ditentukan oleh Tuhan. Jadi, jika saat aku datang bersamaan dengan rintik alami semesta, jangan sangkut-pautkan aku dengan itu."
"Kita lama tidak bermain hujan bersama," celetuk Kirana. Ia tak benar-benar tulus dalam mengatakan hal itu. Hanya saja dalam hatinya ada sedikit rasa ingin untuk menikmati guyuran hujan di bawahnya secara langsung.
Rintik tersenyum. "Jawaban atas pertanyaanku tadi apa?"
"Iya, aku baik-baik saja. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Anggap saja aku telah pulih," jawab Kirana merasa malas untuk terus membahas sesuatu yang tak lagi ingin ia dengar.
"Baiklah. Ki, selama beberapa bulan ke depan, bolehkah aku tinggal di sini?"
"Tentu, dengan senang hati." Raut wajah Kirana benar-benar menggambarkan rasa gembira karena teman lamanya akan tinggal di rumahnya dalam waktu yang cukup lama.
"Apakah tidak merepotkanmu dan Ayah Ibu?"
"Tidak. Mereka pasti akan senang saat kamu juga tinggal di sini. Mereka sudah lama tak melihatmu atau berbincang denganmu."
Tiada angin tiada badai, Kirana merasa ada hal aneh yang Rintik sembunyikan. Sudah sejak lama gadis itu menghilang dan sekarang kembali lagi. Padahal dahulu Rintik sangat ingin pergi karena rumah yang dihuni adalah tanah milih papanya. Sehingga yang lebih berwenang adalah papanya, bukan Rintik dan ibunda tercinta.
"Kamu tidak bawa koper?" tanya Kirana melihat di sisi-sisi serta belakang Rintik.
Rintik menggeleng. "Aku tidak membawa apa-apa. Mungkin besok baru akan berbelanja banyak kebutuhan untuk aku tinggal di sini," tuturnya.
"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tanya Kirana bernada interogasi.
"Tidak ada!" tegas Rintik, kemudian menyandarkan tubuhnya di sofa empuk ruang tamu.
"Kamu tidak sedang mencari sesuatu untuk pelampiasan, kan?"
"Ki, kenapa kamu selalu suudzon? Memangnya aku salah ingin tinggal di rumahmu sebentar?"
Merasa bersalah dengan ucapannya, Kirana meminta maaf dan merapikan kamar sebelah yang kosong. Supaya selama beberapa bulan ke depan, Rintik dapat menempatinya dengan nyaman.
"Ayah dan Ibu ke mana, Ki?" Begitulah sebutan akrab Rintik saat memanggil kedua orang tua Kirana. Sejak dulu mereka memang sangat dekat, sehingga banyak yang mengatakan bahwa keduanya adalah saudara sekandung.
"Lagi di rumah Kakek Nenek. Pulangnya belum pasti," sahut Kirana dari dalam kamar.
Keduanya saling terdiam. Dengan Kirana yang sibuk membereskan kamar dan Rintik yang menatap setiap sudut rumah yang banyak berubah. Tata letak setiap ruangnya telah jauh berbeda dari sekitar 15an tahun lalu. Dulu lebih klasik, tetapi sekarang sudah modern.
"Ri, kutunjukkan kamarmu," ujar Kirana yang menyadarkan Rintik dari lamunannya.
"Heh! Sudah?"
"Sudah dari tadi. Kamu saja yang dipanggil tidak mendengarkan."
"Tidak dengar, Ki. Ayolah, mana kamarku?"
Daripada tuan rumahnya, Rintik berjalan mendahului dan tanpa sopan sudah telentang di atas kasur empuk yang lama sekali tak dihuni.
"Bagaimana?" tanya Kirana.
"Nyaman," balas Rintik.
"Syukurlah kalau nyaman. Aku harus ke luar sebentar untuk mengambil ponsel yang ada di teras."