Malam pun berlalu dan kini pagi telah bangun bersama cahaya arunika yang menggambar jingga di ufuk timur. Kirana terbangun dengan tak nyaman karena kelopak matanya seolah mengatup. Padahal ia berusaha untuk melotot, tetapi tidak bisa.
Mungkin efek dari larutnya kesedihan malam tadi. Ia menangis sepanjang malam dan baru tidur pukul tiga dini hari.
"May! Kamu sudah bangun?" Kirana bergegas menghampiri pintu yang masih ia kunci sejak malam tadi.
Pintu tersebut dibuka dan menampilkan seorang Anindya yang baru dandan, sepertinya. Di pagi hari seperti ini, wanita itu telah terlihat segar dan cantik. Berbeda jauh dengan Kirana yang masih muda, tetapi dandanannya tak rapi sama sekali.
"Sudah, Ma. Ada apa?" tanyanya berusaha menatap Anindya lebih jelas.
"Mata kamu kenapa? Sepertinya sembap."
"Tidak apa, Ma."
"Kamu habis nangis, ya?"
"Iya, semalaman tidak bisa tidur dan menonton drama Korea. Kebiasaan May akan memilih drama yang sedih-sedih. Jadi, terbawa perasaan," elaknya dengan pandai.
"Astaga, kamu jangan kayak gitu terus. Kalau malam tidak tidur, bisa bahaya buat kesehatan kamu sendiri."
"Iya, Ma."
"Ya sudah, kamu mau sarapan atau mandi dulu?"
"Mandi dulu, ya, Ma. Mama kalau mau sarapan, bisa sarapan dulu. May masih belum bisa sarapan." Bukan tidak bisa sarapan, tetapi Kirana tidak ingin satu meja bersama Kakrataka. Hatinya masih cukup sakit dengan fakta yang ia dengar malam tadi.
"Ya sudah, kalau begitu nanti Mama akan bawakan makan ke kamarmu saja."
"Tidak perlu, Ma. May bisa makan sendiri."
"Tidak apa. Ya sudah, kamu mandi sana!"
Kepergian Anindya menjadi antusiasme bagi Kirana. Gadis itu merasa sedikit lega karena Anindya tak menanyainya semakin jauh. Rasa khawatir dari dalam dirinya muncul, tatkala Kakrataka berjalan melewatinya. Kemudian berbalik dan menghampiri Kirana yang masih setiap berdiri di ambang pintu kamar.
"Kamu tidak sarapan?" tanya Kakrataka.
"Tidak."
"Mata kamu kenapa bisa sembap seperti itu?" Jemari Kakrataka berusaha meraih dan mengusap, tetapi Kirana lebih dulu menjauh.
"Tidak. Semalam tidak bisa tidur."
"May, jangan seperti itu terus. Tidak baik untuk kesehatanmu."
"Tidak apa."
"Ya sudah, kita sarapan bersama, ya," bujuk Kakrataka.
Kirana tetap menggeleng dan berjalan semakin mundur hingga tubuhnya hampir terjengkang. Kakrataka sigap berlari dan memeluk pinggang Kirana. Membiarkan gadis itu masuk ke dalam rengkuhannya.
"Lepas!" Kirana mendorong Kakrataka karena sekelebat bayangan mengerikan itu datang lagi.
Ia histeris saat mencium aroma parfume Kakrataka yang masuk ke dalam indra penciumannya.
"May, ini saya, Kakrataka. Sadarlah, May! Tenangkan dirimu dan jangan turuti pikiran macam-macam yang singgah dalam benakmu."
Perlahan Kirana menatap Kakrataka dan tangisnya mulai berhenti. Tatapan lelaki itu benar-benar membuatnya sedikit tenang. Seperti ampuh dan memang itu obat yang mujarab untuk menyembuhkannya.
"Pergi!" Kirana menunjuk pintu kamar dengan tangannya. Menyuruh Kakrataka untuk pergi dan meninggalkannya sendiri.
"Baik, tapi kamu janji harus tenang setelah ini."
"Pergi!"
Kakrataka melangkah keluar, meninggalkan Kirana sendiri dan menutup pintu rapat-rapat.
Sedangkan, di dalam kamar, Kirana hanya menangis dan mengunci pintu karena takut jika sewaktu-waktu Anindya masuk. Menanyainya dengan banyak hal dan membuatnya semakin tak nyaman.
Ia rindu dengan aroma parfume itu, tetapi ketakutan dalam dirinya muncul setiap kali berdekatan dan bersentuhan dengan lelaki. Bahkan Kakrataka sekali pun. Namun, Kirana tak tahu, setiap menatap mata Kakrataka, hatinya perlahan tenang. Walau tengah menjerit histeris karena sekelebat bayangan kelam itu datang lagi.
***
Setelah Kakrataka berangkat ke kantor, Kirana baru bisa keluar kamar. Menemui Anindya yang tengah berkebun.
"Mama, sayuran di sini ada apa saja?" tanya Kirana.
"Banyak, Sayang. Ada yang baru Mama tanam juga."
"Apa yang baru ditanam?"
"Karena Mama suka sayuran bayam, jadi Mama menanam bayam. Karena sayuran yang lain juga masih banyak."
"Mama suka bayam, ya?"
"Iya."
"Aku juga suka bayam," ucap Kirana.
"Wah, kita bisa samaan, ya." Anindya menaruh selangnya di tanah. Mematikan keran supaya berhemat air. "Sekarang ... kamu sarapan, ya."
Kirana menggeleng dengan cepat. "May tidak ingin sarapan, Ma. May tidak lapar," tolaknya untuk ke sekian kalinya.
"Ingat kesehatan kamu, Nak."
"May sehat, kok, Ma."
"Jangan menjawab saat dinasihati orang tua."
Dua hari satu malam berada di rumah Kakrataka, Kirana benar-benar merasa diistimewakan. Ia merasa menjadi ratu dalam rumah itu. Perlakuan Anindya bahkan hampir menyamai ibunya yang ada di rumah. Perhatiannya, kelembutannya, dan beberapa hal lain yang cukup membuat Kirana seperti merasa menjadi anak dari Anindya.
"Ma, kenapa Mama sangat sayang May?" tanya Kirana memberanikan diri.
Anindya tersenyum seraya berbalik dan menatap Kirana. "Mama sedari dulu menginginkan anak perempuan. Figur anak perempuan sebelumnya Mama dapatkan dari almarhumah istri Raka. Setelah dia meninggal, Mama kehilangan semuanya. Dan sekarang, Mama temukan kenyamanan anak perempuan itu dari kamu. Bahkan kamu juga punya banyak hal yang hampir mirip dengan kesukaan Mama," jelasnya.
"Tapi harusnya Mama lebih sayang pada Delina. Sebentar lagi dia akan menjadi anak menantu Mama, loh. Sedangkan Kirana hanya rekan kerja dari Pak Bos. Kirana tidak pantas untuk mendapat perhatian lebih dari Mama."
Kedua tangan Anindya diletakkan pada bahu Kirana. Wanita itu menatap Kirana cukup dalam dan sulit untuk diartikan.
"Mama juga sayang Delina, tapi Mama lebih saya kamu," ucapnya, kemudian berbalik dan kembali mengurusi tanaman sayurnya.
Kirana mematung saat Anindya mengucapkan hal tersebut. Bola matanya yang mampu bergerak dan mengikuti arah gerak Anindya ke mana pun. Ia merasa beruntung memiliki seseorang yang masih mau menerimanya, walau sudah dapat dipastikan tidak akan ada lelaki yang mau dengan wanita bekas sepertinya.
"Nanti malam menginap di sini lagi, ya?"
"Siang ini May akan pulang, Ma. Tidak mungkin May sering menginap di sini. Tidak enak dengan orang rumah dan orang sekitar." Kali ini Kirana yang tak bisa dibantah atas pilihannya.
Sehingga Anindya hanya bisa pasrah dengan ketentuan yang Kirana ucapkan. Namun, sebelum itu, Kirana diajak berkebun oleh Anindya sepuasnya. Karena keduanya sama-sama suka merawat sayuran. Jadilah berkebun menjadi hal menyenangkan saat dilakukan oleh keduanya.
"Ma, setelah ini May pamit, ya," ujar Kirana.
"Kamu mau pulang sama siapa?"
"Dijemput Ayah."
"Oh, ya sudah. Tapi maaf, ya. Mama tidak bisa mengantarmu pulang. Karena satu jam lagi Mama ada kerja dan harus keluar."
"It's okay, Ma. Kalau begitu May siap-siap dulu, ya."
"Iya, Sayang."
Kirana berjalan masuk ke dalam rumah. Ia sempat berpapasan dengan Mega yang tengah menyapu di ruang tengah.
"Mbak, mau ke mana?" tanya Mega.
"Saya mau siap-siap, karena sebentar lagi mau pulang," jawab Kirana seraya tersenyum.
"Tidak menginap satu malam lagi?"
"Tidak, Mega. Saya harus pulang. Saya punya rumah. Mana mungkin saya tinggal di sini selamanya," ucap Kirana.
"Bisa kok tinggal di sini selamanya."
Kirana mengernyit. "Maksudmu?"
"Menjadi istrinya Pak Raka," bisiknya.
Setelah itu, Kirana berlalu tak menggubris ucapan Mega yang dianggap ngawur. Maksudnya menjadi istri kedua? Memang sepertinya akan nyaman menjadi istri kedua karena akan dinomor satukan, tetapi Kirana tidak sepicik itu. Ia tahu bagaimana perasaan yang pertama, sehingga Kirana memilih untuk memendam sebuah rasa yang tak pernah diketahui oleh sesiapa.