Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 18 - Delina Berulah

Chapter 18 - Delina Berulah

Sampai larut, Delina dan Kirana masih berdiam di rumah Kakrataka. Mereka saling berebut satu sama lain, tetapi Kirana lebih banyak mengalah. Cara Delina terkesan licik untuk bisa memonopoli Anindya dan Kakrataka.

"Mas, Om, ke mana?" tanya Delina seraya bergelayut manja di lengan Kakrataka.

"Papa ada di luar kota, makanya Mama tinggal di sini," jawab Kakrataka.

Delina ber-oh ria. Sambil sesekali menengok Kirana yang duduk di sofa seberang seraya memainkan ponsel. Ia tersenyum puas karena melihat Kirana yang tak dianggap di antara mereka.

"May, Sayang. Kamu menginap di sini saja, ya." Dari arah dapur, Anindya berjalan ke ruang tamu menghampiri Kirana.

Kirana menoleh dan menatap Anindya dari kejauhan. "May tetap pulang, Ma. Nanti takutnya orang rumah khawatir," tolak Kirana secara halus.

"Tidak perlu memikirkan orang rumah. Ini, Mama sudah meminta izin kepada mereka." Anindya menunjukkan benda pipih yang layarnya dihidupkan. Wanita itu menunjukkan room chat-nya dengan Ibu dari Kirana.

"Tapi na--"

"Jangan tapi-tapi. Kamu tidur di kamar sebelah dekat kamarnya Mama, ya," ujar Anindya tak mau dibantah.

"Ya sudah, Ma." Kirana pasrah.

Saat Anindya hampir berbalik dan mengajak Kirana pergi ke kamarnya, Delina menyahut, "Tante, Delina boleh tidur di sini juga?"

"Delina, kamu lebih baik pulang saja, ya. Kamu belum bisa tidur di sini sembarangan," jawab Anindya berlaku seolah tak adil.

"Loh, Kirana kan juga bukan siapa-siapa, tapi dia diizinkan tidur di sini," balasnya tak terima.

"Kirana sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Dia tidak bisa pulang malam seperti ini, mengingat kondisi."

"Kok seperti pilih kasih, Tan?" Masih belum puas dengan itu, Delina kembali bersuara dengan amarah yang meletup-letup.

"Tidak, saya tidak pilih kasih."

Objek yang dijadikan bahan perdebatan hanya menunduk lesu. Ia merasa sedikit bersalah karena membuat pertikaian ini terjadi.

Kirana merasa bukan siapa-siapa dan seharusnya lebih berhak Delina yang ditawari untuk menginap. Mengingat Delina yang sebentar lagi akan menjadi istri dari seorang Kakrataka.

"Sudah, sudah. Kamu seharusnya bisa mengerti, Del." Kakrataka bersuara.

"Loh, kamu membela Kirana, ya?"

"Tidak. Aku hanya mengatakan apa yang ada dalam pikiranku."

"Tapi secara tidak langsung, kamu seperti membela Kirana, Mas. Kamu seharusnya ingat, siapa dia dan siapa aku!"

Keadaan semakin panas. Kirana merasa dirinya harus sadar posisi dan mengakhiri pertikaian yang terjadi.

"Ma, May pulang saja. May punya rumah sendiri, kok. Mama jangan khawatir, karena di rumah, May ada orang tua yang akan selalu menjaga," ucap Kirana dengan lirih. Ia tetap menunduk, tetapi jemarinya meraih tangan Anindya.

"Tidak, Mama mau kamu menginap di sini malam ini saja," pinta Anindya dengan sungguh.

"Ma." Kirana mendongak dan berkontak mata dengan Anindya.

"May." Jauh lebih dalam dari tatap sebelumnya, hingga akhirnya membuat Kirana luluh dengan pasrah.

"Baiklah."

Sebaliknya, Delina semakin dibuat kalang-kabut. Cara duduknya saja sudah tak tenang, ditambah melihat keakraban yang terjalin antara Kirana dan Anindya.

"Del, ini sudah larut. Saatnya kamu pulang," ujar Kakrataka seraya membelai puncak kepala Delina.

"Aku ingin tinggal di sini untuk satu malam saja."

"Kamu bawa mobil sendiri, kan? Kamu tahu pintu keluar dari rumah ini?"

"Kamu ngusir aku?"

"Tidak. Aku hanya tidak enak dengan tetangga, ada anak perempuan yang statusnya masih calon, tetapi sudah sampai larut, belum juga pulang. Pikirkan kebaikanmu dan kebaikan kita pula."

"Kebaikan Kirana, bukan?"

"Sudahlah, Del. Aku capek meladeni kamu yang semakin dewasa tidak bisa diatur."

Anindya yang melihat pertikaian antara Kakrataka dan Delina, segera mengajak Kirana masuk ke kamarnya. Kirana pun sudah malas dengan drama yang tersaji di depan mata. Dengan Delina yang melebih-lebihkan serta membumbui dengan racun yang mematikan.

"Ini kamar kamu," ucap Anindya.

Kirana melihat sekeliling dengan takjub. Kamar tersebut begitu luas dan bernuansa biru laut. Ia berdecak kagum karena melihat kerapian yang sangat jarang ia temui. Bahkan kamarnya sendiri tak serapi kamar yang sebentar lagi akan ia tempati.

"Biasanya dipakai tidur siapa, Ma?" tanya Kirana setelah terduduk di tepi ranjang.

"Raka."

"Loh, kamar dia bukannya di atas, ya, Ma?"

"Iya, tapi dia sering menempati kamar ini juga. Katanya ingin suasana baru, bosen dengan keadaan kamarnya yang itu-itu saja."

Kirana mengangguk beberapa kali setelah mendengar penjelasan Anindya barusan. Sepasang bola matanya masih terus menyapu seluruh ruangan. Menatap kesederhanaan kamar yang terlihat elegan dan sangat rapi.

"Kalau begitu, kamu istirahat dulu. Mama keluar, ya. Kalau butuh apa-apa, kamar Mama ada di sebelah. Selamat istirahat."

"Iya, Ma. Selamat istirahat juga untuk Mama."

Kirana merebah tatkala Anindya keluar dari kamarnya. Pintu tertutup rapat, tetapi tiba-tiba Kirana mendengar sesuatu di luar sana.

Ia mengunci pintu dan mendengar perbincangan itu di baliknya.

"Ma ... May kenapa disuruh menginap di sini?"

"Raka, Mama itu sayang dengan May. Dia sudah Mama anggap sebagai anak sendiri."

"Mama tidak memikirkan perasaan Delina. Setelah May mengalami kejadian itu, Mama selalu menyuruh aku untuk banyak meluangkan waktu bersama dia. Sampai aku harus melupakan Delina dan membatalkan semua janji kita untuk sekadar jalan atau makan. Apa Mama lupa, siapa Delina dan May? Mereka itu berbeda ... jauh. May hanya rekan kerja dan Delina adalah partner dalam hidup aku!"

"Terserah kamu mau membentak Mama hanya demi perempuan itu. Mama tidak suka, ya, jika dengan perempuan itu, sikap dan sifatmu berubah jauh!"

"Terserah Mama, tapi perlu Mama ketahui, aku capek untuk menuruti perintah Mama yang mengharuskanku untuk bersama May setiap harinya. Aku tidak membenci May sama sekali, hanya saja aku juga butuh waktu untuk Delina."

Kirana masih setia menempelkan daun telinganya di pintu. Ia mengusap dada seraya menahan air mata yang telah lolos dari pelupuk. Dadanya sesak saat mendengar alasan mengapa Kakrataka selalu datang dan mengajaknya ke mana pun.

Lelaki itu hanya kasihan dan mencoba menuruti setiap kalimat dan perintah dari Anindya. Kirana merasa hidupnya menyedihkan sekali. Karena Arlan ... kesuciannya hilang, ditambah lagi Kakrataka. Lelaki itu tak menepati janjinya.

"Mana lelaki yang dapat aku percaya?" gumam Kirana. Tubuhnya merosot dan terduduk lemah di lantai. Tangisnya semakin deras, tetapi pandangannya kosong menghadap pada sebuah foto yang terpajang di dinding.

"May, semoga kamu sudah tidur dan tidak mendengar kalimat sarkasme yang barusan saya ucapkan."

Kirana mendengar bisik di balik pintu tersebut. Namun, ia acuhkan saja. Karena menyesuaikan permintaan Kakrataka yang beranggapan bahwa dirinya tak pernah mendengar apa pun malam ini.

"Baiklah, aku akan diam dan acuh, Pak ...," lirihnya yang sudah pasti tak terdengar oleh Kakrataka.

Meski begitu, Kirana masih melanjutkan tangisnya. Ia terduduk di lantai yang begitu dingin dan AC menyala. Ketidakpeduliannya terhadap diri telah tumbuh semenjak beberapa minggu lalu. Selepas kejadian itu, Kirana hilang respect terhadap dirinya sendiri.

Makan tak teratur, jam tidur berantakan, dan tentunya penampilan juga tak begitu dipentingkan. Dalam benaknya, wanita bekas tak layak lagi untuk dipercantik. Karena yang telah direnggut, tak lagi mampu untuk dikembalikan.