Menjelang siang, rumah Kakrataka kedatangan seorang tamu perempuan. Siapa lagi jika bukan Delina. Penyandang status sebagai tunangan dari Kakrataka.
Kirana merasa tak nyaman karena Delina mencoba untuk terus memonopoli Kakrataka dan juga Anindya. Datangnya ke rumah Kakrataka bukan untuk mencari buruknya suasana hati, tetapi sebaliknya.
"Mas, mau aku masakin?" tanya Delina yang terang-terangan merangkul mesra Kakrataka di depan Kirana.
"Jangan, nanti merepotkan kamu," jawab Kakrataka seraya mengusap lembut puncak kepala Delina.
"Loh, kan aku mau masakin calon suami. Apa salahnya?"
"Tidak salah, hanya saja Mama dan May sudah masak tadi. Nanti takutnya kalau terlalu banyak masakan akan mubadzir."
"Oh, ya sudah."
"Kirana Sayang, ikut Mama keliling rumah, yuk." Tiba-tiba Anindya datang mengajak Kirana beranjak dari ruang tamu.
Kirana mendongak menatap wajah Anindya. Tersenyum meski raut wajahnya masam. "Boleh, Ma. Ayo," ucapnya seraya berdiri.
"Tante, Delina boleh ikut?" sahut Delina.
"Boleh." Senyum Anindya merekah saat menjawab pertanyaan dari Delina.
Kemudian tanpa aba-aba, Delina berlari dan melingkarkan tangannya pada lengan Anindya. Berjalan menyeret wanita itu tanpa memedulikan Kirana yang masih tertinggal di belakang.
"May, ayo." Anindya menoleh dan memberi isyarat pada Kirana untuk mengikutinya.
"Iya, Ma."
Definisi pendatang baru yang ingin menjadi penguasa adalah Delina. Namun, meski seperti itu Kirana harus sadar diri. Delina adalah calon menantu di rumah ini, sedangkan dirinya akan tetap menjadi tangan kanan Kakrataka selamanya. Atau sampai waktu di mana Kirana lelah menjalankan tugas yang Kakrataka beri. Terlebih jika Kakrataka telah menjadi suami orang lain, mungkin Kirana akan mundur dan memilih keluar dari perusahaan.
"Kita mau ke mana, Tante?" tanya Delina di depan sana. Jauh dari jarak antara Kirana yang berjalan pelan tanpa berniat mengejar.
"Tante mau menunjukkan banyak hal tentang rumah ini. Kepada kamu dan Kirana."
Walau jarak mereka terpaut jauh, tetapi Kirana mampu mendengar bisik keduanya yang berbincang akrab.
"May, sini!" titah Anindya untuk duduk di kursi sampingnya.
Namun, saat jarak Kirana semakin dekat dengan jarak duduk Anindya, Delina menyerobot begitu saja. Kemudian mengajak Anindya berbincang sehingga mengalihkan perhatian.
Kirana terdiam dan berhenti di tempat. Ia tak cukup kuat untuk merebut posisi Delina. Sekali lagi ... ia sadar posisi.
"May, ayo, kita jalan lagi." Tersadar dari lamunan hanya karena pernyataan Anindya. Kirana baru sadar jika Anindya telah berhenti membicarakan tentang tempat yang mereka diami sejenak.
"Iya, Ma."
Dari kejauhan, Kakrataka mengamati interaksi antara ketiga wanita yang berarti dalam hidupnya. Ia tersenyum kemudian berjalan kembali memasuki rumah. Membiarkan tiga wanita tersebut bercengkerama supaya hubungannya lebih dekat dan tak banyak canggung.
"Nah, May, kemarilah!"
Sekarang Kirana diberi ruang. Mendekat ke samping Anindya dan bersiap mendengar sesuatu yang ingin diutarakan.
"Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Dulu Kakrataka sering sekali bermain di sini. Markasnya, ya, di sini."
Sebuah rumah kecil yang persis seperti di film-film berdiri tegak di belakang Kirana. Gadis itu memperhatikannya tanpa bergeming.
"May boleh masuk?" tanya Kirana.
"Delina juga boleh?" Ikut campur adalah hal yang sudah menjadi hobi atau kebiasaan bagi Delina, mungkin.
Anindya tersenyum seraya menggeleng. Menatap Kirana lamat-lamat. "May, kamu kalau mau masuk, silakan." Kemudian beralih menatap Delina masih dengan mempertahankan senyum yang sebelumnya. "Delina, kamu dan saya tunggu di luar saja, ya," lanjutnya.
Raut wajah Delina seketika masam. Mungkin rasa tidak terima telah menusuk hatinya. Bagaimana bisa ia sebagai tunangan justru kalah dengan asisten?
"Terima kasih, Ma. Kalau begitu, May izin masuk dulu, ya," ujar Kirana meminta izin.
"Silakan, Sayang!"
Kirana benar-benar masuk ke sebuah rumah sempit yang hanya bisa diisi oleh kurang lebih tiga orang dewasa. Semenjak masuk ke dalam ruang tersebut, Kirana dibuat takjub. Meski telah puluhan tahun berdiri, tetapi semua masih tertata rapi. Tidak ada sedikit pun debu yang menempel di setiap sudut ruangan.
Selebihnya hanya ada buku serta tulisan yang menempel di dinding. Berisi kalimat penyemangat, juga motivasi diri untuk menggapai kesuksesan.
"Penasaran dengan isinya?"
"Astagfirullah!" teriak Kirana menyebut.
Tubuhnya tremor dalam sekejap dan air matanya keluar begitu saja. Kirana tak mampu mengendalikan diri dalam kondisi seperti sekarang ini. Rasa keterkejutannya telah mengambil alih separuh dari dunianya.
"May, maaf ...," lirihnya.
Ternyata setelah mengamati dari kejauhan, Kakrataka mampu membaca ke arah mana Anindya akan membawa Kirana dan Delina. Lelaki itu berniat memberi kejutan pada Delina, tetapi ternyata justru Kirana yang hanya diizinkan masuk oleh Anindya.
"Pak Bos lain kali hati-hati. Pak Bos tahu bagaimana kondisi saya sekarang, bukan?" Kirana terduduk lemas di lantai yang terbuat dari kayu tersebut. Menundukkan kepala begitu dalam tanpa berniat menyeka air mata. Tremornya tak kunjung hilang, ditambah sesak dalam dada yang merajalela.
"Maaf, May. Saya kira kamu tidak masuk sendiri. Niat saya tadi hanya akan membuat Delina terkejut. Namun, yang datang justru kamu," aku Kakrataka.
Kirana mendongak seraya menyeka air matanya dengan kasar. "Delina? MAKAN DELINAMU YANG ADA DI LUAR!" teriaknya karena terlanjur muak.
Ketimbang sakit hati karena terus berhadapan dengan lelaki yang tak mengharapkannya lagi, Kirana memilih untuk keluar. Mencari tempat yang bisa digunakan untuk menenangkan diri. Mencari pohon rindang yang di bawahnya terdapat bangku untuk singgah sebentar.
Kirana duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu. Didirikan tepat di bawah pohon rindang di belakang rumah Kakrataka, dekat kolam ikan.
Tatapan gadis itu kosong. Mengarah pada kerumunan ikan yang tengah berebut jatah makan.
"Delina, ya?" gumam Kirana seraya tersenyum kecut.
Sekali lagi ... ia sadar posisi! Rasa nyaman kepada tunangan dan asisten itu berbeda. Kenyamanan dalam profesional kerja tak seharusnya Kirana bawa pada kenyamanan selebihnya. Menilai bukan berarti harus menyamai.
Keadaan hatinya sendiri yang telah berharap lebih, padahal nol persen kemungkinan untuk terbalaskan.
"Aku mau pulang ...," lirihnya saat melihat Anindya tengah asyik bercengkerama dengan Delina di seberang sana. Kedua orang tersebut memang cocok jika menjadi Ibu dan anak menantu.
Delina juga lebih cantik dari Kirana ... anggapan Kirana yang kadang kala menjatuhkan diri sendiri tak tanggung-tanggung. Apalagi kondisinya yang telah kehilangan mahkota, tak mungkin seorang lelaki sudi menerimanya. Apalagi keluarga dari pihak lelaki yang tentunya akan mengecap perempuan tersebut sebagai pelacur atau perempuan terhina karena terkena noda yang bekasnya tak akan pernah hilang, meski ditebus menggunakan apa pun.
"Sejak awal ... aku memang harusnya membatasi semua yang sudah terlihat harus diberi sekat. Sekarang jika sudah seperti ini ... apakah aku harus menerima nasib sebagai gadis kotor sampai akhir hayat? Pria manakah yang sudi menemani gadis sepertiku sampai waktu yang telah Tuhan tentukan?"
"Ini semua karena lelaki brengsek itu!"