Tidak ada yang mudah dari sebuah luka untuk tahap pemulihan. Ditambah trauma yang sebenarnya mampu membuat korban benar-benar kesulitan untuk membuat dirinya kembali pulih.
Kejadian itu terus berulang dalam memori Kirana. Seolah pemutar video yang terus mengulang satu video yang sama karena telah disetel pada pengaturan.
Kedua orang tua Kakrataka juga datang pagi ini. Mereka iba melihat keadaan Kirana yang terlihat sangat hancur. Bahkan makanannya selama semalam dibiarkan basi tergeletak di atas meja kamar.
"Nak," tegur Anindya dengan lembut.
"Saya sudah tidak memiliki kehormatan, Ma. Jangan pernah temui saya lagi, karena saya bukan gadis yang punya sopan-santun. Saya bukan gadis yang baik." Kirana berwajah datar, pandangannya lurus ke depan tanpa memedulikan sekelilingnya ada atau tidak ada orang.
Ia hanya berucap sekenanya. Karena pada nyatanya, dalam setiap penggal kalimat yang terucap, tersirat nada gelisah serta badan tremor.
***
Selang beberapa hari setelahnya, Kirana mulai membaik. Tak melulu bungkam dan melamun tanpa peduli makan.
"Mau ke mana?" tanya Kirana saat Kakrataka dengan tiba-tiba mengajaknya pergi keluar.
"Jalan-jalan," jawab Kakrataka.
Selama masa-masa penyembuhan, Kirana dilarang untuk bekerja. Ia juga dianjurkan untuk banyak keluar untuk menghirup udara segar. Mencari hal-hal menyenangkan yang mampu membuka pikirannya lebih lebar. Karena selama beberapa hari tersebut, Kirana berusaha untuk menyakiti diri sendiri serta percobaan bunuh diri.
"Ke mana jalan-jalannya?" Pasalnya Kirana masih memakai piyama dan wajahnya kusut sekali tanpa terbasuh air bersih pagi setelah bangun tidur tadi. Hanya ada kaca mata yang bertengger di hidungnya.
"Ke tempat yang asyik," jawab Kakrataka.
Dalam keadaan sekarang, semua tak lagi sama. Kirana berani bersama dengan lelaki, jika itu Kakrataka. Namun, harus ada jarak di antara keduanya. Menjauh untuk membuat Kirana nyaman, mungkin itu sudah cukup salah satu cara Kakrataka untuk membuat Kirana nyaman.
"Jangan jauh-jauh."
"Tidak."
"Ada banyak pria di sana."
Tatapan Kakrataka melembut. Ia menatap Kirana lebih dalam, tetapi tak berani mendekat.
"Percaya dengan saya."
"Tidak. Saya tidak bisa mempercayai lelaki untuk kedua kali."
"May, kapan kamu akan berhenti ketakutan jika terus mengurung diri. Tanpa bersenang-senang, justru dalam kepalamu hanya terisi perihal kejadian kelam tersebut," tutur Kakrataka.
Benar adanya. Sesuatu yang pahit tentu akan berkelit dalam kepala. Sampai kapan saja, meski diri telah dinyatakan sembuh.
"Bukankah seharusnya Pak Bos mengurus persiapan pernikahan bersama Delina?" tanya Kirana.
Semenjak kejadian itu menimpanya, Kakrataka meluangkan banyak waktu untuk Kirana. Seolah dunianya hanyalah Kirana dan tak memedulikan seorang Delina yang sebentar lagi akan sah menjadi istri Kakrataka.
"Lupakan saja. Saya masih ingin membuatmu merasa nyaman."
"Nyaman dengan apa?"
"Nyaman dengan saya dan nyaman dengan lingkungan luar."
"Nyaman dengan Pak Bos?"
Kakrataka gugup seketika. "Saya takut jika kamu takut dengan bosmu sendiri."
"Hm? Pak Bos kan bisa mencari asisten lain."
"Tidak! Saya maunya kamu."
Semakin tumbuh rasa percaya diri dalam hati Kirana. Mengetahui setiap kalimat yang terucap dari bibir Kakrataka. Meski ia tahu semua sekadar gurau, tetapi Kirana tak mampu mengendalikan diri.
"Keluarnya lain kali saya, ya," ucap Kirana secara tiba-tiba.
Muncul kerutan-kerutan kecil di dahi Kakrataka. "Mengapa?"
"Suasana hati saya secara tiba-tiba memburuk," akunya.
"Atau kalau tidak ... kamu saja yang memilih akan pergi ke mana." Lelaki itu menawarkan demi Kirana mau keluar dan menghirup udara segar.
Terlihat berpikir, saat jari telunjuk Kirana bertengger di dagu.
"Boleh ke rumah Pak Bos saja? Saya ingin bertemu Mama Anindya."
"Tentu."
Akhirnya mereka berangkat bersama. Dalam satu mobil, tetapi tak sejajar. Kirana duduk di jok belakang, sedangkan Kakrataka fokus mengemudi. Sesekali memastikan keadaan Kirana melalui kaca spion.
Di sepanjang perjalanan hanya musik yang mengiringi. Keduanya memilih untuk membisu. Canggung itu perlahan menjalar di antara keduanya. Tak pernah terlihat hubungan mereka menjadi dingin.
Semenjak Kirana mengalami kejadian tak menyenangkan tersebut, banyak perubahan dalam hidup. Penampilannya tak pernah dipedulikan. Ditambah lagi berat badannya yang turun drastis karena kehilangan nafsu makan secara ekstrem.
***
"Hai, Sayang." Anindya antusias menyambut kedatangan Kirana. Ibarat menyambut seorang calon menantu yang datang ke rumah untuk berkunjung.
"Mama," balas Kirana, kemudian berhambur ke dalam pelukan Anindya. Melepas kerinduan yang terasa menggunung. Karena pertemuan terakhir keduanya adalah saat kondisi Kirana masih sangat buruk.
"Apa kabar? Kamu sudah membaik?"
"Alhamdulillah perlahan membaik, Ma."
"Kamu hebat! Kamu cepat sembuh karena mulai berani bercengkerama dengan lawan jenis."
"Tidak. May hanya berani bercengkerama dengan Pak Bos saja."
"Tapi itu sudah menjadi perkembangan baik untuk diri kamu, Nak."
Kirana melepaskan pelukan. Menatap Anindya yang dirasa semakin cantik dan wajahnya berseri.
"Mama cantik sekali," ucap Kirana kemudian.
"Terima kasih, Sayang. Kamu juga cantik."
"May tidak bisa merawat diri karena terlanjur rusak."
Wanita yang diajak berbincang oleh Kirana seketika terdiam. Meratapi ucapan yang tak dipikir matang saat ingin melontarkan.
Kalimat pujian sudah dianggap seperti caci oleh Kirana. Terlanjur sakit, tak mungkin bisa diperbaiki layaknya keadaan semula.
"Ah, May mau bantu Mama masak?"
Anggukan seketika diberi dengan antusias. Sudah lama tidak berjibaku di dalam dapur, membuat Kirana rindu akan setiap masakan yang ia buat sendiri.
"Ayo, Ma."
Anindya tersenyum bahagia tatkala melihat Kirana telah kembali. Memang belum sepenuhnya, tetapi cukup mengobati rasa rindu pada Kirana yang sebelumnya.
***
"Sial! Saya kira dengan memilih jalan ini ... semua akan baik. Ternyata dia datang dengan membawa sifat buruk sebagai pengecut."
Pohon besar yang tumbuh di dekat rumahnya begitu mudah dipukul. Tangan kekar bak besi tak mempan hanya sekadar tergores ringan bagian kulit pohon yang kasar.
Tatapan tajam mengarah ke segala arah. Mengatasnamakan benci dan mencari pelampiasan kobar dalam hati.
"Dia mengusik, maka saya akan lebih berani untuk mengacak!"
***
Kebahagiaan setiap orang berbeda cara untuk mendapatkannya. Ada yang berbelanja serta menghamburkan uang. Ada yang dengan sederhana menciumi bumbu dapur serta masakan yang dibuat atas campur tangan sendiri.
Gadis bernama Kirana yang telah menilai diri sebagai wanita tak bermartabat pun menjadi salah satu kategori mudah mencari bahagia. Meluapkan segala rasa takut dalam dada melalui masakannya.
Namun, tak sampai di situ. Bisik dari iblis mulai merasuk. Meronta meminta tangan kanan yang tengah memegang pisau untuk menyayat bagian tangan sebelahnya yang bebas.
"Mungkin menyenangkan, bukan?" tanya Kirana seraya mengangkat pisau dan bersiap menyayat tangan kirinya.
"May!" teriak Kakrataka seraya menepis tangan Kirana, sehingga pisau tersebut terlempar jauh dari dapur.
Anindya yang menyadari sebuah keributan tengah terjadi, datang berlari menghampiri. Niatnya ingin pergi ke kamar sebentar untuk mengambil ponsel, kemudian urung. Mendengar teriakan Kakrataka memanggil nama Kirana, membuatnya khawatir luar biasa.
"Ada apa?" tanya Anindya.
"Kirana mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri, Ma!"