"ARLAN!"
Satu malam yang kelam. Seorang manusia yang kiranya menyelamatkan, justru menjatuhkan ke jurang paling dalam.
Kirana merasakan kehancuran dalam hidupnya. Kala seorang dengan muka dua datang berusaha mendekat, tetapi nyatanya justru membawa kehancuran yang luar biasa.
"Hei, mendekatklah, Sayang," ucap Arlan dengan lembut. Langkahnya maju, semakin mendekati Kirana yang terengah-engah.
"Najis! Jangan mendekat!" sentak Kirana.
Kirana menutup bagian dadanya dengan selimut yang tadi ia ambil dari ranjang, saksi bisu antara dua manusia yang tengah berbuat keji.
"Arlan! Kamu gila! Kamu bukan Arlan yang dulu!"
Arlan mengernyit. "Apa? Bukan Arlan yang dulu? Memangnya Arlan yang dulu seperti apa?"
Tubuh Kirana terbentur pintu keluar. Semua sudah buntu dan Kirana tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Arlan yang dulu lembut dan baik hati. Bukan keji seperti sekarang ini!"
Tak satu pun air mata yang keluar. Kirana justru terlihat tegar saat berhadapan dengan Arlan.
"Keluarkan aku dari sini, Lan!" pinta Kirana dengan sungguh.
"Jangan coba-coba lari, Na. Atau ...." Arlan mengeluarkan benda pipih dari saku celananya. "Foto ini akan tersebar di grup kantormu!" ancamnya kemudian.
Kirana mendecih. "Lalu, apa yang bisa kulakukan?" Pertanyaannya seolah berulang. Untuk sekadar menetralkan rasa takut dalam hatinya, Kirana berusaha untuk terus bersikap tenang. Meski ingin lekas pergi dan tak lagi menatap wajah lelaki bernama Arlan tersebut.
"Mudah, Sayang. Kemarilah dan bermain bersamaku!"
"Cih! Tidak sudi! Sebenarnya apa yang membuatmu berubah seperti ini, Lan?"
"Kirana ... aku punya dendam tersendiri pada orang tuamu dan kini ... aku mampu melampiaskan pada anak gadis mereka satu-satunya!"
Secara keseluruhan, Kirana tak pernah mengerti apa yang telah orang tuanya perbuat, sampai-sampai membuat Arlan begitu dendam. Sampai merenggut kehormatan Kirana yang telah dijaga sampai detik di mana Arlan belum mengambilnya dengan keji.
Gerak tubuh Kirana mulai tak teratur. Dari ujung kepala sampai kaki, tremor semua. Bola matanya menyapu ke segala arah. Mencari cara supaya bisa menemukan kunci dari pintu tersebut.
"Apa yang orang tuaku lakukan?" tanya Kirana.
Senyum licik itu mengerikan bagi Kirana. Kemudian, Arlan berhenti di tempat dan berbalik arah membelakangi Kirana.
"Kamu tahu, orang tuamu menuntutku untuk menikahimu. Mereka hanya ingin anaknya segera menikah dan tanpa berpikir bahwa aku ... tertekan dengan tuntutan!"
Satu per satu laci yang ada di sampingnya, dibuka oleh Kirana. Perlahan tapi pasti. Ia takut jika sampai Arlan mengetahui aksinya untuk membebaskan diri.
"Ketemu," gumam Kirana saat matanya menangkap sebuah benda yang dicari-cari tengah tergeletak di samping kiri kakinya.
Mencari celah dengan mudah, saat Arlan tengah berbicara panjang lebar. Posisinya membelakangi Kirana yang tengah berusaha membebaskan diri.
"Semoga Tuhan mengampunimu, Lan!" seru Kirana sebelum akhirnya mengunci rapat pintu dari luar.
Ia kemudian berlari sekuat tenaga. Ternyata Kirana tengah berada di rumah Arlan yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah Kirana. Lelaki itu bodoh, tak memilih tempat yang cukup jauh untuk menghilangkan jejak.
Kirana juga baru tahu kalau Arlan telah berpindah rumah. Apakah mungkin lelaki itu memang merencanakan semuanya dari awal?
Tatkala kedua kaki telah menapak di jalanan, Kirana bersyukur. Setidaknya ia bebas dari incaran lelaki menjijikkan yang pernah ia temui. Hatinya lega tatkala berhasil lari sekencang mungkin.
Namun, satu hal yang terbersit dalam kepala Kirana. Ia tak lagi memiliki kehormatan, semua telah direnggut oleh Arlan.
Lelaki yang datang di labirin, dengan dugaan menyelamatkan, ternyata tidak. Lelaki itu justru datang dengan membawa kehancuran, sehingga Kirana tak lagi mengerti apa tujuan hidupnya saat ini.
Mungkinkah Kakrataka masih mau menerimanya ketika mengetahui fakta ini?
Sembari berlari, Kirana membatin, "Mungkinkah Kakrataka akan menggenggam janjinya untuk menjagaku sampai waktu yang tak pernah ia tentukan?"
***
Di lain tempat, seorang lelaki tengah bergandengan mesra bersama seorang wanita cantik nan anggun. Mereka berjalan beriringan memasuki sebuah toko ice cream.
Memilih tempat duduk paling favorit, yaitu dekat dengan tembok transparan dari jendela.
Drrrttt ... drrrttt
Sebuah pesan masuk dan menampilkan foto dengan dua manusia bertelanjang bulat. Seketika rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal tiba-tiba. Darahnya berdesir kuat sampai membuat amarah memuncak.
Kepalan tangannya bersiap memukul mangsa, tetapi belum ia temui seorang tersangka di lokasi kejadian.
"Ada apa?"
"Tidak," jawabnya.
"Lalu?"
Lelaki itu melepas tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu tetap di sini, aku akan kembali."
"Kamu mau ke mana?"
"Aku akan pergi sebentar saja."
***
Sesampainya di rumah, Kirana menceritakan semua kepada orang tuanya. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal, sehingga pada bagian pemaksaan pun ia tanya keseluruhan. Apa motif orang tuanya sehingga memaksa Arlan untuk segera menjadi pendamping dalam hidupnya.
"May!"
Kirana yang tak henti menangis, masih dengan pakaian sobek dan selimut yang sama, menatap kedatangan Kakrataka. Tatapan lelaki itu sama-sama hancurnya saat melihat kondisi dirinya yang sekarang.
"Pergi!" teriak Kirana.
"May! Ini saya, bukan lelaki itu." Kakrataka melakukan pendekatan dengan lembut.
Hingga menyadarkan Kirana yang tengah menangis dan kini meringkuk di lantai. Kedua orang tuanya pun tak tahu harus berbuat apa karena masih terlalu kaget dengan kejadian yang dialami anak gadis satu-satunya.
"Pak Bos ... mana janjimu untuk menjagaku?" Kirana menagih saat Kakrataka perlahan mendekat dan jongkok tepat di hadapannya.
"Maaf, saya telah gagal dalam menjagamu," ucap Kakrataka lirih.
"KAU TAK JAUH BERBEDA DARI ARLAN. MUDAH MEMBATALKAN RENCANA PERNIKAHAN DAN SEKARANG DATANG UNTUK MENGINGKARI JANJI!" Di sisa tenaganya, Kirana masih kuasa untuk sekadar berteriak dan membuat Kakrataka merasa amat bersalah.
"May, kemarilah. Jangan takut ...," lirihnya.
Kirana mendongakkan kepala dan menatap secara tulus pada sepasang bola mata Kakrataka yang amat menenangkan.
"Saya takut ...," lirihnya seraya berhambur ke dalam pelukan Kakrataka.
Entah, rasa traumanya seketika memudar tatkala mendapat peluk hangat dari seorang Kakrataka. Lelaki itu kedatangannya memang berpengaruh besar bagi Kirana. Walau ketakutan itu sebelumnya mendominasi hati, kini telah mengusap bersama hangat yang peluk itu salurkan.
"Jangan takut ... ada saya," bisik Kakrataka seraya membelai dengan lembut surai Kirana.
"Saya adalah gadis hina yang telah kehilangan kehormatan," ujarnya memprihatinkan.
Kakrataka menitikan air mata di saat mendengar apa yang Kirana ucapkan. Begitu pula kedua orang tua Kirana yang saling memeluk dan sesenggukan saat melihat nasib malang anak gadis mereka.
"Saya janji akan membuatnya menderita," ucap Kakrataka.
"Apakah ada lelaki yang mau menerima saya. Gadis hina, hilang mahkotanya. APAKAH ADA LELAKI YANG MENGINGINKAN SAYA?!" Bebasnya Kirana memukul punggung Kakrataka keras-keras. Lelaki itu membiarkannya saja, memberi ruang untuk Kirana terus meluapkan semua emosi serta ketakutannya. Rasa takut dan kecewa yang bercampur menjadi satu. Kakrataka takut jika ia tak memberi ruang pada Kirana, gadis itu justru akan beralih menyakiti diri sendiri.
Setelah puas menangis, Kirana mendorong Kakrataka untuk menjauh darinya. Aroma parfume lelaki itu membuatnya gila dan kembali mengingat kejadian yang baru menimpanya.
"Pergi!" teriaknya.
"May, tenang. Ini saya," ucap Kakrataka kembali mencoba Kirana supaya tersadar dan mengingat siapa dirinya.
"Pergi!"
"May," ucapnya dengan lembut.
Kakrataka turut menitikan air mata tatkala melihat Kirana begitu hancur. Keadaannya memprihatinkan, membuat dadanya tertusuk ribuan belati yang mengerikan. Tangisnya bukan sekadar tangis biasa, tetapi Kakrataka membiarkan isaknya keluar begitu saja.
"PERGI! TIDAK ADA LELAKI YANG BISA SAYA PERCAYA DI DUNIA INI! SIAPA PUN ITU, PERGI DARI HADAPAN SAYA!" Amarah Kirana meluap dengan hebat. Hingga napasnya terengah karena berteriak sampai membuat satu rumah berisik.
"Nak, tolong kamu pergi dulu, ya. Untuk sementara waktu, jangan dekati Kirana. Karena rasa traumanya pasti sangat besar," ucap Ayah dari Kirana. Ia takut jika kedatangan lelaki ke rumah, bisa membuat Kirana semakin tak nyaman dan masa penyembuhannya nanti semakin lama.
"Tapi, Pak--"
"Coba pahami keadaan ini, Nak."
"Baiklah, saya permisi. Tolong bawa Kirana ke tempat yang ahli, Pak," pesannya.
"Terima kasih atas usahanya, Nak."
Kakrataka merasa langkahnya semakin berat untuk pergi meninggalkan Kirana sendiri. Tatapannya masih mengarah pada gadis yang menangis dan terduduk di pojok ruangan. Menutup wajahnya dengan lipatan tangan dan keadaannya sangat mengerikan.
"Semoga ini tidak membuatmu hancur dan meratapi terlalu dalam, May," gumam Kakrataka, kemudian berlalu meninggalkan rumah yang seketika gempar tersebut.