Kirana tak pernah menduga sebelumnya, jika kisah hidup akan berakhir seperti ini. Kakrataka, lelaki yang ia harapkan mampu menjadi pendamping dalam hidup, kini justru melamar wanita lain. Padahal sebelumnya telah bersepakat antara dua keluarga untuk saling mengikat.
"May, are you okay?" Meski keputusan dua hari lalu telah disepakati, Kirana harus tetap menjadi tangan kanan Kakrataka. Mengikuti lelaki itu ke mana pun ia pergi.
"Iya," jawab Kirana setelah tersadar dari lamunannya.
"Jadi, kapan pertunanganmu akan terlaksana bersama Arlan?"
Ketika Kakrataka tahu bahwa Kirana akan bertunangan bersama Arlan, lelaki itu terlihat seperti sangat bahagia. Entah karena Kirana terlalu perasa atau patahnya hati yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini.
"Belum tahu." Belum ada keputusan apa pun yang Kirana berikan semenjak lamaran itu diucapkan oleh Arlan. Sedikit waktu yang ia minta, itu berarti satu abad dari sekarang yang kemungkinan besar dua manusia tersebut telah tua renta. Atau bahka sudah kehilangan nyawa.
"Mengapa seperti itu?" tanya Kakrataka lagi dan lagi.
"Pak, saya bukan wanita murah dan gampangan. Saya tidak mungkin menerima begitu saja seseorang yang telah lama pergi dari hidup saya," ungkapnya.
Kirana mulai merasa panas saat terus ditanya perihal Arlan. Berada di dalam mobil bersama Kakrataka sudah tak lagi aman bagi kesehatan hatinya.
"Oh, baiklah," jawab Kakrataka mengalah.
"Memangnya Pak Bos kemarin sudah sah melamar Delina?" Pertanyaan dibalik oleh Kirana yang tengah terbakar api cemburu dalam hatinya.
"Sudah." Sejak pertama obrolan dibuka, Kakrataka sama sekali tak menatap ke arah Kirana. Asyik mengemudi dan terus menanyai Kirana seolah tengah menginterogasi seorang tersangka.
"Lalu, rencana pertunangannya kapan?"
"Tahun depan akan melangsungkan pernikahan tanpa pertunangan."
Kirana tersedak salivanya sendiri. Terbatuk sampai kedua matanya mengeluarkan air. Begitu syok dengan kalimat yang Kakrataka katakan.
"Berarti sekitar dua sampai tiga bulan lagi, ya?" tanya Kirana memastikan.
"Benar. Jangan lupa jadi orang paling penting dalam mengurus pernikahan saya."
Batin Kirana mendecih saat mendengar permintaan Kakrataka. Bukan permintaan, sesungguhnya lelaki itu tengah memerintah tanpa mau dibantah.
"Memangnya Pak Bos sudah yakin dengan wanita itu?" Kirana terbelalak saat dengan spontan menanyakan hal tersebut.
Kakrataka memperlambat laju mobilnya. Perlahan menoleh dan menatap Kirana untuk pertama kalinya semenjak keduanya berada dalam satu mobil yang sama.
"Mengapa kamu tanyakan hal tersebut?" tanya Kakrataka bernada sedikit ketus.
Hal tersebut berhasil membuat Kirana ketakutan.
"Tidak mungkin saya ragu saat sudah berani mengambil keputusan untuk menikahi anak orang," pungkasnya.
"Ah, saya paham maksud Pak Bos."
***
Seperti membagi waktu untuk dua momongan sekaligus. Sore hari ini, usai pulang kerja, Kirana pergi bersama Arlan. Mungkin lelaki itu berusaha mendekatkan dirinya dengan Kirana supaya tak canggung secara berlebihan.
"Kamu mau makan di mana?" tanya Arlan.
Kirana diam.
"Na, mau makan di mana?"
Sontak Kirana terlonjak saat Arlan menanyainya tepat di samping telinga.
"Aku belum lapar, Lan," ucapnya.
"Ya sudah, kita jalan-jalan saja."
"Hm." Kali ini Kirana pasrah saja.
Hasratnya untuk bersemangat telah hilang setelah melihat Kakrataka begitu bahagia. Bahagianya bukan bersama Kirana, tetapi dengan wanita lain.
Arlan membawa Kirana ke sebuah tempat yang berada di tengah-tengah kota. Tempat wisata yang pada saat itu pernah membuat Kirana menangis di tengah kebingungan. Sehingga datanglah seorang pangeran yang dengan sigap menolongnya.
"Kita ngapain ke taman bermain?" tanya Kirana mulai sedikit jengkel.
"Memangnya ada yang salah?" Arlan mengernyit.
"Tidak, tapi apakah tidak ada tempat lain?"
"Kamu mau ke mana?"
"Argh! Tidak perlu ke mana-mana. Sudahlah, sudah terlanjur pergi ke sini. Tidak perlu ke mana-mana lagi." Kirana turun dari mobil tanpa menanti Arlan.
Rasa kesal dalam hatinya mulai meletup-letup. Kirana tak lagi mampu menyembunyikan rona wajahnya yang memerah. Bibir menggunung serta tatapan tak bersahabat dilayangkan ke mana-mana.
"Na, kalau mau ke mana, bilang aja. Nanti pasti aku ajak kamu ke manapun itu," ujar Arlan seraya mengejar Kirana yang berjalan begitu cepat.
Kirana baru berhenti saat kedua kakinya telah menapak di sekitaran labirin. Otaknya berpikir keras mengenai perjalanannya yang sama sekali tak ingin mengarah ke tempat tersebut. Namun, dengan tiba-tiba saat isi kepalanya berputar ke mana-mana, ia bisa sampai pada tempat yang pernah meninggalkan kenangan indah sekaligus buruk baginya.
"Kamu mau masuk labirin?" Arlan berdiri di samping Kirana seraya mengatur napasnya.
"Iya," jawabnya singkat.
Kemudian Kirana berlari tanpa menanti Arlan. Masuk ke dalam labirin dengan santai pada awalnya. Ia telah lupa jalan keluar, tetapi dengan berani mencoba untuk masuk kembali.
'Siapa tahu Pak Bos akan datang,' batinnya.
Harapan yang tinggi membuat Kirana merasa percaya diri saat masuk ke dalam labirin. Dalam kepalanya dipenuhi kalimat permintaan tolong kepada Kakrataka jika sampai tersesat untuk kedua kali.
Sepasang kakinya terus saja berjalan mengikuti bisikan hati.
"Na! Kirana!"
"Cih! Kenapa harus teriakan Arlan, sih!" gerutunya.
"Na! Jangan main-main. Kalau kamu tidak bisa keluar dan aku tidak bisa menemukan kamu, itu bahaya, loh!" Suaranya begitu keras meneriaki, tetapi Kirana tidak peduli.
"Aku bisa meminta tolong Kakrataka jika kamu tidak becus untuk mencariku," gumam Kirana sebagai balasan atas teriakan dari Arlan.
Di samping itu, Kirana berhenti seketika. Ada pikiran was-was saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sekitar 30 menit lagi, taman bermain ini akan ditutup. Jika ia tak berhasil keluar, maka ia akan menginap sampai esok pagi.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00, tetapi Kirana belum juga keluar. Ia terduduk lemas seraya memegangi kepalanya yang terasa pening.
Bahkan tak lagi terdengar teriakan Arlan. Taman bermain juga sudah tutup sejak 30 menit yang lalu.
"Aku ... hanya ingin kedatangan Pak Bos ...," lirihnya.
Ia sudah menyerah dan berhenti di jalan buntu yang entah harus mengarah ke mana supaya bisa keluar. Kirana mulai pasrah jika semalaman harus menginap di labirin, sendirian.
Setelah dipikir-pikir, tidak mungkin ia meminta tolong pada Kakrataka di jam sekarang. Sepertinya tidak tahu malu sekali. Selain itu, Kirana bisa saja mengganggu kebersamaan Kakrataka dengan Delina.
"Arlan!" teriaknya, baru mau menyebut nama tersebut.
"Na, kamu di sini?"
"Kamu datang? Maaf merepotkanmu, Lan," ucap Kirana seraya mencoba berdiri.
Sepertinya mereka hanya berdua saja. Kirana mengira bahwa Arlan telah pergi meninggalkannya, tetapi ternyata tidak. Lelaki itu setia menantinya sampai bertemu di persimpangan jalan buntu.
"Kita pulang sekarang, ya," ajak Arlan seraya memapah Kirana.
Kirana menatap seorang lelaki yang berdiri tegap di sampingnya. Ia tersenyum kemudian mengangguk.
"Aku capek, Lan," adunya.
Ingatan terakhirnya hanyalah gelap dan ia tidak tahu lagi mengenai dunia dan seisinya.
***
Di sebuah ruang yang gelap dan luas. Kirana terbangun dari mimpi panjangnya. Setelah berhasil diselamatkan oleh lelaki pengganti Kakrataka, Kirana tak tahu lagi di mana keberadaannya sekarang.
"Arlan!" serunya karena merasa takut pada kegelapan yang menyergap.
"Arlan!" Sekali lagi ia berteriak, tetapi lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya dengan sekadar menghidupkan lampu atau menjawab.
Tiba-tiba, dari belakang ada yang memeluk Kirana.
"Siapa kamu?!"
"Diam, Sayang ...," ucapnya dengan sangat lembut, embusan napas itu mengenai tengkuk Kirana.