Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 13 - Kejadian Mencengangkan

Chapter 13 - Kejadian Mencengangkan

"Kamu kenapa, May?"

Sore hari usai jam kerja habis. Kakrataka mengantarkan Kirana untuk pulang ke rumah. Gadis itu tidak membawa mobil sendiri karena telah bersepakat dengan Kakrataka untuk berangkat dan pulang bersama.

Karena terus diam dan melamun, Kirana beberapa kali dicurigai oleh Kakrataka tengah terjadi sesuatu dalam dirinya.

"May!" Sekali lagi Kakrataka mencoba untuk menyadarkan Kirana.

"Ada apa, Pak Bos?" tanyanya mulai tak santai karena merasa beberapa kali dikejutkan oleh lelaki itu.

"Kamu kenapa melamun terus?" Kakrataka juga mulai menunjukkan bahwa dalam dirinya telah geram dengan sikap Kirana. Berubah secara tiba-tiba dan tidak diketahui penyebabnya.

"Hanya sedikit lelah," elaknya.

"Kalau begitu, tidur saja!"

"Tidak mengantuk."

"Ya sudah, bersantailah."

"Hmm."

Suasana hatinya buruk semenjak kedatangan Delina dan Arlan siang tadi. Karena berusaha menahan amarah yang membuncah, Kirana lebih baik diam dengan suasana hati yang terasa begitu kacau.

"Kamu mau berhenti sebentar untuk minum teh di kafe dekat sini?"

Kirana hirau. Ia sudah tak sadar dengan ajakan bicara dari Kakrataka, meski di sampingnya begitu dekat.

"May!" tegas Kakrataka menyentak Kirana.

"Astaga! Ada apa?"

Cit!

Tubuh Kirana terlempar ke depan dan bagian keningnya membentur kaca.

"Pak, bisa pelan-pelan saja tidak?" Setelah ia membenahi posisi duduknya, Kirana mulai mendumel tidak jelas. Kesal terhadap tindakan Kakrataka yang menambah suasana hatinya semakin kacau saja.

"Kamu sebenarnya kenapa, May? Dari tadi saya tanya, kamu banyak hiraunya. Apa saya ada salah?" Kakrataka mencoba untuk meluruskan kesalahpahaman jika memang itu yang terjadi di dalamnya.

Kirana melepas sabuk pengamannya karena mobil berhenti di jalanan sepi. Duduk menyamping untuk menghadap Kakrataka secara langsung. "Tadi Pak Bos menawari saya apa?" Samar walau melamun, Kirana dapat mendengar pertanyaan Kakrataka sebelum mobil berhenti dengan tidak sopan.

"Mau berhenti untuk mampir ke kafe?" tanya Kakrataka mengulang. Masih dengan sisa kesabaran yang ada dalam hatinya.

"Tidak perlu. Kita langsung pulang saja, saya hanya ingin istirahat di rumah." Kirana menolak.

Ingatannya terus berputar pada kejadian di siang tadi. Bagaimana akrabnya Kakrataka dengan Delina dan keputusan sepihak yang Arlan ambil tanpa memedulikan perasaan Kirana.

"Pak Bos dulu dengan Delina lama, ya, pacarannya?" tanya Kirana. Ia tidak lagi menutupi keingintahuan tersebut.

Kakrataka menatap Kirana lekat. "Sekitar enam tahun, dari mulai kelas dua SMP sampai setelah lulus SMA," jawabnya.

Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat kata manusia telah paham tentang segala baik buruk dari manusia tersebut. Semua tentang suka dan duka telah dilalui bersama.

Jadi, Kirana paham. Sejauh apa pun mereka melangkah, jika memang berjodoh akan tetap kembali dipertemukan. Sisa kenangan yang ada tidak akan menghambat, justru setiap jalan yang pernah ditempuh, keduanya akan tetap ingat dan semua itu menjadi kebahagiaan tersendiri jika akan kembali berjalan pada rute yang sama.

"Kenapa bertanya tentang itu?" Sekarang giliran Kirana yang bingung harus menjawab apa.

"Hm ... saya hanya ingin tahu saja," jawabnya walau dengan raut wajah yang terlihat berpikir keras.

"Kalau lelaki yang tadi siapa?"

Kirana yang telah mengubah posisi duduknya untuk kembali menghadap depan, urung. "Arlan," jawabnya dengan cepat.

Sabuk pengaman kembali dipasang dan Kirana tak ingin lagi menatap Kakrataka lebih lama. Yang ia rasa seperti ada pedang yang keluar dan menusuk-nusuk setiap inchi dari hati kecilnya.

"Siapa dia?"

"Masa lalu saya."

Karena merasa siang tadi telah dibakar api cemburu, Kirana mencoba untuk membanggakan masa lalunya di hadapan Kakrataka. Siapa tahu rasa sesak dalam dadanya bisa lega hanya dengan ikut-ikutan mengungkit masa lalu dalam hidup.

"Ada kepentingan apa, sampai dia menemui kamu di kantor?"

"Ya terserah dia. Lagian masa lalu Pak Bos juga datang ke kantor, bukan?"

Kakrataka terdiam. Lelaki itu kembali menjalankan mobilnya secara perlahan. Membelah jalanan kota yang cukup padat pada sore hari ini.

Keadaan di mobil begitu hening, bahkan setelah sampai di rumah Kirana pun masih sama.

Namun, Kakrataka yang berniat untuk segera pulang, justru terpaksa turun karena ada mobil orang tuanya yang terparkir di halaman rumah Kirana.

"Itu beneran mobil Mama Papa, kan?" tanya Kirana saat keduanya sudah turun dan bersiap untuk melangkah.

"Iya, kenapa mereka ada di sini sore-sore?" tanya Kakrataka yang tentunya Kirana pun tak tahu harus menjawab apa.

Daripada menanti tanpa tahu kepastian yang asli, Kakrataka berjalan lebih dahulu. Tak lupa menautkan jemarinya pada jemari Kirana. Mereka berjalan tak beriringan tetapi jemari saling bertautan.

"Assalamualaikum," ucap Kakrataka dan Kirana bersamaan.

"Wa'alaikumussalam," jawab beberapa orang yang ada di dalam rumah.

"Kakrataka dan Kirana, cepatlah kemari!" titah Lesmana yang terlihat berapi. Sedangkan kedua orang tua Kirana hanya diam membisu.

'Ada apa ini?' batin Kirana mulai merasa was-was.

Keduanya bergegas duduk berdampingan. Terdiam sembari menanti orang tua mereka bersuara dengan sendirinya.

"Kita akan membatalkan pernikahan ini."

Kirana yang sebelumnya sempat menunduk karena ketakutan, kini seketika mendongak. Menatap manik hitam pekat milik Lesmana yang baru saja mengucapkan kalimat tersebut. Semua ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya.

"Benar, Pa?" tanya Kakrataka terlihat antusias.

Berbanding terbalik dengan Kirana yang sedikit murung, walau mencoba tetap mempertahankan senyum.

"Iya, karena Kirana telah dilamar oleh pria lain," ujar Lesmana.

Tidak adil! Kirana tersenyum sinis saat menyadari bahwa kedatangan Arlan siang tadi hanya membuat kekacauan dalam hidupnya.

"Siapa?" tanya Kakrataka menoleh pada Kirana.

"Arlan," jawab gadis itu dengan gamblang.

"Wah, selamat, May. Saya turut bahagia dengan kabar ini. Semoga secepatnya bisa menuju pelaminan," ucap Kakrataka tak tahu betul mengenai hati Kirana yang terpecah belah.

"Dan kamu, Kakrataka. Besok kita akan datang ke rumah Delisa untuk melamarnya," sanggah Anindya.

Kirana menatap kedua orang tuanya yang hanya menyimak perbincangan ini. Ia kesal sekaligus heran, mengapa pertunangan yang akan segera dilangsungkan justru hanya dibuat layaknya mainan anak kecil yang tak berharga sama sekali.

"Baik, kalau begitu kami pamit dahulu, permisi." Lesmana bersama keluarganya beranjak dan menjabat tangan kedua orang tua Kirana, begitu juga dengan Kirana yang terdiam membisu.

Tanpa mengantarkan sampai teras, Kirana berjalan menuju kamarnya. Ia tidak tahu mengapa satu hari ini merasa dunianya hancur perlahan. Semua orang seperti tengah mempermainkannya secara halus.

Datangnya Delina dan Arlan benar-benar memperburuk keadaan. Akankah Kirana merasa bahagia saat semua ini terjadi dalam hidupnya? Menikah dengan Arlan memang menjadi cita-citanya, dahulu. Sedangkan kini, rasa dalam hatinya telah berbeda. Lebih memihak pada Kakrataka yang notabenenya adalah bosnya sendiri.

Tidak pantas memang. Namun, apakah kisahnya harus kembali berakhir tragis. Dengan tidak bahagia dan tersiratnya merasa terpaksa.