Menikah bukan perkara gampang. Banyak yang harus disiapkan, terutama kesiapan diri secara lahir dan batin. Ada manusia yang dipaksa untuk segera menikah, justru berakhir dengan tidak bahagia.
Sebagai seorang wanita muda yang masih sangat ingin berada pada lintas karir, Kirana tak pernah berpikir untuk segera menikah. Namun, dalam taraf suka tentunya wajar saja.
"Kenapa baru datang?" tanya Kakrataka.
Lelaki itu kondisinya masih sama seperti kemarin. Belum ada perubahan, bahkan terlihat rautnya lebih pucat.
"Pak Bos, kita ke rumah sakit saja, ya," bujuk Kirana setelah menaruh tas selempangnya di atas sofa.
"Saya baik-baik saja," jawab Kakrataka dengan begitu cepat.
"Jangan bandel, Pak. Nanti kalau dibiarkan, takutnya tua sebelum waktunya," celetuk Kirana.
"Nanti juga sembuh. Saya orangnya kuat. Jadi, jangan remehkan saya!"
Jika sudah seperti itu, tandanya Kakrataka memang tak lagi ingin dibantah. Keras kepalanya terkadang membuat banyak manusia geleng-geleng. Terutama Kirana yang setiap harinya bertemu dengan lelaki tersebut.
"Sudah makan?" tanya Kirana.
"Sudah."
"Hmm ... kemarin saya bertemu dengan mantan kekasih saya."
Kakrataka terbelalak usai mendengar perkataan Kirana. Dari yang awalnya fokus dengan langit-langit kamar, kini menatap Kirana lekat.
"Lalu?" tanya Kakrataka dengan ketus.
"Lalu, dia melamar saya," jawab Kirana dengan cepat.
"Melamarmu?!" Antara berani dan tidak, Kirana mencoba untuk menatap Kakrataka yang sejak tadi berubah menjadi dingin.
Perlahan, Kirana mengangguk ragu. "Dia datang membawa janjinya dulu."
"Cih! Lelaki buaya!" umpat Kakrataka.
Kirana mendelik. Ia tak senang dengan umpatan Kakrataka. Sehingga dengan itu, Kirana memilih untuk diam tak berkutik. Dalam kepalanya masih terus menimang akankah melanjutkan permainan cinta bersama Kakrataka. Walau sebenarnya ia suka, tetapi takut semakin dalam terluka. Karena Kakrataka tak pernah menyukainya. Namun, dengan perlakuan lelaki itu, Kirana merasa keadaannya telah berbeda. Harapannya melambung tinggi pada Kakrataka yang bisa kapan saja mengubah rasa dalam hatinya.
"Tidak apa! Dia mau datang dan serius dengan saya," ujar Kirana berusaha untuk memancing.
"Kamu kira tidak ada lelaki lain di dunia, sampai-sampai mau kembali dengan bekas luka?" Kakrataka beringsut. Duduk seraya menyandarkan tubuhnya ke tembok. Menatap Kirana dengan tajam sampai yang ditatap tak berani membalas.
"Kalau saya suka bagaimana?" Kirana menggoda.
Dengan gampang, Kakrataka melengos. "Terserah!"
Membiarkan sudah itu lebih baik, ketimbang melanjutkan dan berakhir dengan sesuatu yang tidak baik.
Melihat buah-buahan yang tertata di piring, tepatnya di atas nakas, Kirana mengambilnya saja. Memilih apel untuk dikupas dan dipotong kecil untuk diberikan kepada Kakrataka.
"Ini, Pak Bos. Supaya cepat sehat dan kalau mau ngomel bisa lebih semangat," ujar Kirana seraya menyuapkan satu potong kecil apel.
Jeda beberapa menit, hingga seluruh apel yang berada dalam mulut tertelan.
"Saya juga bertemu dengan orang terkasih saya," ujar Kakrataka tiba-tiba.
"Aw," pekik Kirana saat telunjuk kirinya tergores pisau tajam. Darah dengan lekas keluar dan Kirana hanya mampu meniupnya. Berharap supaya perih lekas hilang.
"Sakit, May?" Walau tempat duduk keduanya berseberangan, Kakrataka yang tengah sakit tetap sigap untuk menolong Kirana.
Acuh, masih terus fokus dengan darah yang keluar. Kirana beranjak sebelum tangan Kakrataka sampai meraih jemarinya. Gadis itu berlari menuju lantai satu dan berusaha mencari kotak P3K.
"Mbak Mega, ada kotak P3K?" tanya Kirana saat berada di anak tangga terakhir lantai satu.
Mega plonga-plongo karena terkejut. Wanita itu tengah fokus dengan masakannya, sedangkan Kirana grasak-grusuk dan berteriak-teriak meminta P3K.
"Ada, Mbak?" tanya Kirana sekali lagi.
"Hah, ada, Mbak," jawab Mega dan segera berlari menuju ruang tamu.
Mengambil sebuah kotak yang berada dalam tempat penyimpanan khusus di dinding.
"Ini, Mbak." Mega menyerahkan kotak P3K pada Kirana yang tengah panik meniup-niup jari telunjuk bagian kiri.
"Terima kasih, Mbak." Kirana dengan sigap menerimanya.
Padahal lukanya hanya kecil, tetapi Kirana terlihat begitu takut. Memang ia tak bisa sedikit saja menahan rasa sakit. Sedari kecil tak punya nyali yang besar ketika melihat darah keluar dari bagian tubuhnya sendiri. Rasa takut dan panik bercampur menjadi satu dalam dirinya.
"May!" seru Kakrataka dari lantai atas. Suaranya terdengar lemah, walau coba untuk dikeraskan sebagai pertanda ia teriak.
Kirana dengan lekas mendongak. Menatap Kakrataka yang tepat berada di lantai dua dan letaknya berseberangan dengannya.
"Ada apa?" tanya Kirana kemudian kembali mengalihkan fokus pada jari telunjuknya yang memerah dan beberapa bagian telah ditempeli darah kering.
"Kau tidak apa?"
"Tenang saja, saya tidak apa," balas Kirana.
Usai menempelkan plaster, Kirana berniat untuk menutup kotak P3K. Namun, itu semua urung tatkala ia ingat kembali tentang ucapan terakhir Kakrataka di kamar. Di mana kalimat itu adalah sebab dari terlukanya jemari Kirana.
"Orang terkasih?" gumam Kirana.
Dalam benaknya terus saja menduga. Mungkinkan Kakrataka memang benar telah memiliki tambatan hati? Jika memang iy, tidak ada lagi kesempatan untuk Kirana menumbuhkan rasa cinta dalam hati Kakrataka.
Ketimbang terus menduga dan tiada ujungnya, Kirana memilih menutup kotak P3K. Berjalan ke lantai atas untuk kembali menemui Kakrataka. Menanti jawaban yang tak serta-merta membawa bahagia tentunya.
Satu, dua, dan terakhir adalah langkah ketika. Kirana memasuki kamar Kakrataka yang tanpa ditutup atau dikunci dari dalam.
"Kau benar baik-baik saja?" tanya Kakrataka memastikan kembali.
Kirana mengangguk. Sejak terakhir kali menatap lelaki itu, ada perasaan kecewa dan anti dalam hati Kirana.
"Saya lanjut bercerita, boleh?" Kemungkinan besar yang akan dibahas adalah topik awal pembicaraan keduanya.
Sebelum mengiyakan, Kirana berusaha menyiapkan mental untuk mendengar penuturan secara gamblang dari Pak Bos.
"Silakan," tandas Kirana seraya mengembuskan napas secara perlahan.
"Orang terkasih itu adalah mantan istri saya yang telah tiada. Saya merasa cukup merindukan mereka. Mungkin esok atau lusa, kamu bisa menemani saya ke makamnya?"
Kirana mengusap dadanya pelan. Merasa lebih lega setelah mendengar penjelasan asli. Sehingga praduga yang bermuara dalam benaknya perlahan menciut hingga tak lagi terlihat.
Ragu untuk sekadar mengangguk, tetapi Kirana tentu ingin tahu di mana malam mantan istri calon suaminya. "Bo-boleh, Pak Bos," jawab Kirana.
Tangan kanan Kakrataka meraih jemari Kirana yang terluka. "Kasihan, karena mengupayakan saya buah, tangan kamu jadi seperti ini, May." Tiupan-tiupan lembut membelai telunjuk Kirana. Hingga gadis itu beberapa kali memejam karena merasa nyaman dengan perlakuan bosnya sendiri.
"Pak!" tegur Kirana seraya menepis tangan Kakrataka perlahan.
Mereka mulai dilanda canggung dengan posisi Kirana menunduk dan Kakrataka terdiam menikmati mahakarya Tuhan.
"Ah, mungkin lusa saja, ya, May. Karena saya belum tentu kuat kalau datangnya besok." Kakrataka meralat ucapannya yang bernada janji.
"Oh, baik, Pak." Dengan salah tingkah, Kirana mengangguk paksa untuk menyetujui keinginan Kakrataka yang akan diundur.