Suasana siang hari di rumah Kakrataka cukup terasa menegangkan. Pasalnya Anindya dan Lesmana datang dengan memboyong seorang perancang busana.
"Ma, maksudnya apa?" Bahkan Kakrataka pun terkejut kala melihat Ayah serta ibunya heboh sendiri dalam mengurus pernikahannya.
Anindya yang tengah berbincang dengan seorang perancang busana pun menanggapi. "Pertunanganmu dengan Kirana itu tidak lama lagi, loh," ucapnya.
Semua terjadi begitu saja. Seseorang yang telah menyebabkan hal itu bisa terjadi, justru hanya duduk serta menahan amarah yang meletup-letup.
Iya, Kakrataka tengah berdiam dengan wajah memerah. Sedangkan, di sampingnya ada Kirana yang terduduk lemah saat tak sengaja mencuri pandang ke arah Kakrataka.
"Pak Bos, Bapak bisa katakan yang sebenarnya jika merasa ini semua sudah melampaui batas," ucap Kirana dengan tulus hati, meski akhirnya tak akan pernah seindah yang ada dalam bayangannya selama ini.
Respons yang Kakrataka berikan sungguh tak masuk akal. Lelaki itu justru menggeleng dan menampilkan senyum penuh keterpaksaan saat menghadap Kirana.
"Waktunya belum tepat." Singkat saja. Jawaban dari Kakrataka membuat Kirana merasa tak enak hati. Namun, Kirana tak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Kakrataka sendiri.
"Kalian tidak mau memilih contoh-contoh bajunya, supaya terinspirasi untuk membuat dengan model yang bagaimana?" Lesmana turun tangan.
"Kita berdua serahkan semuanya ke Papa dan Mama saja," jawab Kakrataka seraya menatap Kirana supaya sepaham dengannya.
"Benar?" sahut Anindya.
"Iya," jawab Kakrataka.
Di sela-sela mereka memilih, Mega datang membawakan minum.
Dalam nampan berisi dua kopi dan dua teh. Seketika itu Kirana merasa mual dan segera berlari ke kamar mandi. Mengiraukan panggilan dari orang-orang yang berkumpul d ruang tamu.
"Kirana kenapa?" tanya Anindya panik.
Mega yang kala itu mengingat sesuatu, seenaknya berucap tanpa melalui tahap penyaringan terlebih dahulu.
"Mungkin Mbak Kirana hamil," celetuknya.
Mereka yang mendengarkan hal itu seketika terbelalak.
"Hamil?!" tanya Mega dengan tak santai.
"Iya, kemarin Mbak Kirana dan Pak Kakrataka tidur bersa ... ma." Mega hampir mati kala mendapat tatapan Kirana yang amat tajam sekembalinya dari kamar mandi.
Anindya dan Lesmana berterima kasih pada perancang busana yang sudah datang. Dengan segera, keduanya menyuruh perancang busana tersebut untuk pulang.
Atmosfer dalam rumah tersebut semakin panas saja.
Mereka sama sekali tak mengklarifikasi yang dimaksud kemarin oleh Mega itu kapan. Karena setelah Kirana melayangkan tatapan nyalang, Mega segera kembali ke dapur untuk mencari aman saja.
"Apakah itu semua benar?" Anindya dengan wajah ketusnya menanyai kedua orang yang berubah menjadi polos saat itu juga.
"Tidak, ma," jawab Kakrataka.
"Benar, Ki?!" Sedikit penegasan yang membuat jantung Kirana semakin cepat memompa.
Kirana bingung harus menjawab bagaimana. Yang tahu tentang kejadian itu hanya dirinya dan Mega. Kakrataka tengah tertidur pulas dan sampai dirinya bangun pun, lelaki itu sama sekali tak menyadari.
Memang sejak pagi tadi Kirana merasa kurang enak badan. Ia masuk angin, karena kemarin saat pulang mobilnya sempat mogok di jalan dan ia terpaksa turun, serta hujan-hujanan sampai basah kuyup.
"Bagaimana, Kirana?" Sekali lagi pertanyaan itu dilayangkan, hanya berganti saja. Lesmana yang menanyai karena tak kunjung mendapat jawaban pasti dari Kirana.
"Jadi, kemarin ...." Kirana menceritakan semua kejadiannya. Tidak berniat menutup-nutupi apa pun, supaya kesalahpahaman itu segera beres.
Anindya dan Lesmana mengangguk setelah Kirana menjelaskannya dengan detail. Sedangkan Kakrataka justru tengah terdiam. Kedua pipinya memerah. lelaki itu benar-benar tak sadar jika hal itu terjadi dan penyebabnya adalah dirinya.
"Jadi, kejadian itu tepat kemarin?" tanya Anindya.
"Iya," jawab Kirana dengan sungguh.
Dengan lurusnya kesalahpahaman itu, keadaan rumah kembali tenang. Namun, Kirana dan Kakrataka mungkin akan melakukan pembalasan dendam terhadap Mega yang tak menepati janji terhadap Kirana.
"Nah, maka dari itu, daripada menimbulkan fitnah, lebih baik kalian segera menikah," ucap Lesmana yang seketika itu diangguki oleh Anindya.
Sontak Kirana dan Kakrata sama-sama menoleh dan berhadapan. Terbelalak satu sama lain karena cukup terkejut dengan keputusan sepihak yang orang tua Kakrataka ambil.
"Ya, tidak seperti itu juga, Pa," jawab Kakrataka merasa tak setuju.
"Bagaimana bisa kalian mau terus seperti ini. Sedangkan Kakrataka yang baru dibilang Kirana akan berjarak sudah menyentak tak karuan." Dengan mata melotot, Lesmana berapi-api saat mengucapkan kalimatnya.
Kirana yang saat itu tengah beradu pandang dengan Kakrataka di sampingnya segera memutuskan. Padahal niatnya untuk menyelamatkan Kakrataka dari paksaan orang tuanya untuk menyegerakan pernikahan. Namun, Kakrataka justru tidak bisa membaca pengorbanan yang Kirana lakukan.
"Maksud saya kan biar kita selamat dari pernikahan paksa ini," bisik Kirana.
"Tidak seperti itu caranya," balas Kakrataka.
"Lalu, bagaimana?" Kirana geram sendiri dengan keinginan Kakrataka. Memang bosnya itu bisa dibilang seperti anak kecil ketika sudah bertingkah. Padahal jika sedang dalam mode lelaki dewasa, berpikirnya juga sangat dewasa.
"Kalian diskusi mengenai apa?"
"Tidak!" jawab Kirana dan Kakrataka serempak.
"Kalian saja sudah sehati, mengapa tidak disegerakan?"
Benar, ya. Orang tua memang paling menentukan segala tingkah laku dan kehidupan anak. Mereka selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, tetapi tidak berpikir bahwa yang mereka lakukan membuat anaknya merasa tidak nyaman.
Memanipulasi waktu supaya inginnya selalu dijawab dengan kata setuju.
"Orang tua May juga belum tentu setuju," ucap Kakrataka setengah merengek karena terlanjur frustrasi.
"Mereka setuju. Kalau tidak, mereka tidak mungkin mengatakan iya pada saat obrolan serius saat itu," jawab Anindya.
Mau bagaimana pun juga, mereka sudah harus menuruti segala ingin orang tuanya. Sedari awal memang Kakrataka melakukan sesuatu yang salah. Tindakannya ceroboh dan berakhir dengan tidak baik pula.
"Terserah kalian lah. Raka akan istirahat." Kakrataka oleng saat berdiri.
Kirana yang duduk di sampingnya, dengan sigap berdiri dan membantu Kakrataka untuk naik ke lantai dua.
"Raka, kalau kamu sakit, akan ada yang mengurus juga. Kamu sudah pernah menikah, bukan? Kamu sudah tahu bagaimana rasanya menjadi seorang suami dan memiliki istri?" Anindya terus berceloteh padahal Kirana dan Kakrataka sudah sampai di anak tangga ke-20 dan hampir sampai di lantai atas.
"Hiraukan saja!" titah Kakrataka.
Sejak awal kedatangan Anindya dan Lesmana, wajah Kakrataka berubah menjadi pucat pasi. Entah memang karena takut atau bagaimana, lelaki itu berekspresi lain dari biasanya.
Kirana juga tak mampu membaca adanya kesalahan dalam hati Kakrataka. Ia hanya mencoba melindungi lelaki itu dari perjodohan tak disengaja ini. Namun, bodohnya Kakrataka justru seperti menahan Kirana supaya tidak mencegah perjodohan yang terjadi.
'Saya tidak pernah meminta Pak Bos untuk melakukan ini semua. Saya juga tidak pernah berharap lebih untuk melangkahkan kaki sampai di pelaminan bersama Pak Bos. Saya sadar, saya hanyalah bawahan dan tidak mungkin Pak Bos menaruh rasa pada saya, sedangkan almarhumah istri Pak Bos begitu cantik. Wajahnya ayu begitupula dengan anak Pak Bos yang juga telah tiada pasti sangat berat untuk berpindah ke lain hati,' batin Kirana seraya memapah Kakrataka untuk sampai di kamarnya.
Keduanya masuk ke dalam kamar. Entah sengaja atau tidak, Kakrataka menendang pintu supaya tertutup kembali. Namun, Kirana hirau, karena setelah membantu Kakrataka merebah, ia akan segera pulang. Sudah ada Anindya dan Lesmana di sana. Jadi, dirinya tak perlu mengkhawatirkan lebih keadaan Kakrataka.
"Setelah ini saya akan pulang, Pak," ucap Kirana meminta izin.
"Tidak bisa nanti saja?"
"Saya ada urusan," ujar Kirana.
"Ya, sudah. Saya antarkan, ya." Kakrataka menawarkan.
"Untuk berjalan sendiri saja sempoyongan. Bagaimana mau mengantarkan saya. Saya takut diajak menantang mau."