Kirana merenung dalam ruang kerjanya. Kemarin, usai berziarah ke makam almarhumah istri Kakrataka, ia menemukan sesuatu yang janggal. Perihal rasa yang mungkin masih banyak tertinggal dalam hati lelaki itu.
Kakrataka yang tak pernah menunjukkan kesedihan, kemarin di pusara sang istri, ia menangis tanpa henti sampai kedua matanya bengkak.
Rasanya mustahil untuk Kakrataka akan kembali membangun rumah tangga bersama wanita lain yang notabenenya hanya tangan kanan atau rekan kerjanya saja.
"Permisi." Kirana terlonjak saat seseorang tengah mengetuk pintu ruaangannya.
"Masuk!" titah Kirana.
Seorang wanita dengan binar matanya yang indah dan penampilan anggun, memasuki ruangan Kirana yang terbilang cukup luas.
"Silakan duduk!" Meski tak tahu siapa tamunya, Kirana sudah tentu mempersilakan orang tersebut untuk duduk.
Hening untuk sebentar. Tatapan Kirana tak lepas dari wanita yang baginya sangatlah asing.
"Maaf, Anda ini siapa, ya?" tanyanya dengan hati-hati.
"Oh, iya. Saya Delina," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Kirana.
Kirana membalas uluran tangan tersebut dan tersenyum sama halnya seperti Delina.
"Kedatangan Anda kemari untuk apa?" tanya Kirana masih merasa penasaran.
"Saya memenuhi panggilan dari Mas Kakrataka."
"Mas?"
Kirana menepuk pelan mulutnya yang dengan lancang mengulang panggilan mas untuk seorang Kakrataka.
"Iya, saya adalah mantan kekasihnya sebelum ia menikah bersama wanita lain."
Merasa tertampar dengan kenyataan yang tengah dihadapi. Kirana terdiam seraya melamun. Ia mulai berpikir mengenai banyak hal. Tentang cinta lama yang bisa saja tumbuh kembali karena pertemuan serta keinginan hati untuk menyebabkan pertemuan tersebut terjadi.
"Mbak!" Delina membuat Kirana tersadar dari lamunannya.
"Iya?"
"Boleh antarkan saya ke ruangan Mas Kakrataka?"
"Boleh, mari saya antar," ajak Kirana.
Berat hati ia melakukan ini semua, tetapi ingat kembali bahwa profesional kerja harus tetap diterapkan dalam lingkungan kantor.
"Permisi, Pak Bos." Kirana mengetuk pintu ruangan Kakrataka.
"Masuk, May!" Suara dari dalam membuat Kirana menoleh serta mengangguk untuk memberi kode pada Delina.
Saat pintu sudah terbuka lebar, Kakrataka menatap ke arah Kirana. Ah, bukan. Lebih tepatnya ke arah Delina yang berdiri sekitar tiga langkah di belakang Kirana.
"Hai, apa kabar?" tanya Kakrataka seraya berjalan melewati Kirana. Memeluk Delina dan bercipika-cipiki seperti biasa.
"Baik, Mas. Kamu apa kabar?" tanya Delina.
"Baik, sangat baik."
Merasa tidak lagi dibutuhkan dalam ruangan tersebut, Kirana memilih untuk keluar dan menutup pintu dengan rapat.
Hatinya merasa sakit saat melihat kedekatan Kakrataka dengan wanita selain dirinya.
Semua sangat mendadak, sampai hati Kirana belum memiliki persiapan apa-apa.
"Mbak, ada yang nyariin," ucap Marina saat Kirana masih baru sampai di depan ruangannya sendiri.
"Siapa?" tanya Kirana.
Tumben sekali, biasanya hanya hari tertentu Kirana dicari oleh seseorang. Hanya ketika akan diadakan meting atau bahkan pertemuan makan siang bersama klien.
"Enggak tahu, tapi dia cowok," jawab Marina.
"Di mana?"
"Di parkiran."
Daripada terus dihantui rasa penasaran, Kirana bergegas menuju tempat parkir setelah mengucap terima kasih kepada Marina.
Bola matanya menyapu seluruh tempat parkir dan sialnya, siang ini ada banyak pria di sana. Sehingga membuat Kirana memutar otak lebih keras untuk mengetahui siapa yang datang dan mencarinya.
"Sial! Siapa yang datang? Kenapa tidak langsung ke ruangan?" Kirana mendumel kesal. Dari sekitar 20 pria yang ada, bagaimana caranya ia bisa mengetahui satu orang yang dimaksudkan oleh Marina?
"Aku yang datang."
Sontak Kirana berbalik. Ada satu laki-laki yang amat ia kenali. Wajahnya, senyumnya, serta penampilannya yang tak pernah berubah.
"Arlan," gumam Kirana.
"Ya, ini Arlan."
Arlan adalah masa lalu yang cukup lampau pernah menoreh kisah dalam kehidupan Kirana.
Lelaki yang pernah pergi karena tuntutan orang tua Kirana itu kembali hari ini. Datangnya seolah bertepatan dengan kedatangan masa lalu dari Kakrataka. Entah kebetulan atau memang sudah terencana. Kirana tak ingin ambil pusing untuk sekarang.
"Kamu kenapa datang ke sini?" tanya Kirana.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan bersama kamu."
"Apa itu?"
"Pagi tadi aku datang ke rumahmu."
Kirana terbelalak. Mengingat kisah kelam di mana orang tuanya meminta Arlan untuk angkat kaki dari rumahnya dengan tanpa hormat.
"Kamu ngapain ke rumahku?" tanya Kirana merasa geram.
"Untuk melamar kamu."
"HAH? KAMU GILA?!" Semua mata tertuju pada Kirana yang berteriak tanpa menyesuaikan tempat.
Arlan membungkan mulut Kirana. Sebelah tangannya yang bebas, mengangkat jari telunjuk dan menempelkan pada bibirnya sendiri.
"Jangan teriak-teriak. Enggak enak kalau didengar orang," ucap Arlan.
Kirana menurunkan tangan Arlan dari mulutnya. "Gimana enggak teriak-teriak, kamu terlalu mendadak dan mengambil keputusan secara sepihak," ujar Kirana berapi-api.
"Enggak, aku mewujudkan apa yang orang tua kamu inginkan," balas Arlan dengan gampangnya.
Di tengah perdebatan ringan keduanya, Kirana menatap Kakrataka tengah merangkul pundak Delina. Berjalan berdua keluar dari kantor. Tawa tak lepas dari bibir satu sama lain.
Jaraknya semakin dekat, tetapi Kirana tak memutuskan arah pandangnya.
"May, saya dan Delina akan pergi makan siang." Kakrataka membuat Kirana berhenti melamun.
"Baiklah. Selamat bersenang-senang, Pak Bos," jawab Kirana dengan polos.
"Kamu kalau ingin keluar juga tidak apa. Untuk mencari makan siang di luar, daripada di kantin kantor."
Setelah itu, Kakrataka melanjutkan perjalannya bersama Delina. Masuk ke dalam mobil dengan Kakrataka membukakan pintu mobil untuk wanita yang mengaku datang dari masa lalunya.
"Hei." Arlan melambaikan tangannya di depan wajah Kirana.
"Hmmm?"
"Dia Bos kamu?" tanya Arlan.
"Iya, dia Bos aku."
"Mau melanjutkan obrolan yang tadi, tidak?" Arlan kembali bertanya sebelum Kirana kembali hanyut bersama dengan lamunannya.
"Boleh. Maksud kamu mewujudkan keinginan orang tuaku apa?" tanya Kirana merasa tak sepaham dengan satu kalimat tersebut.
"Dulu orang tuamu tak menginginkan kita pacaran karena ingin aku segera menikahi kamu, bukan?"
Kirana mengangguk ... membenarkan.
Namun, sekarang jalannya telah berbeda. Rasa itu telah lama menguap bersama sedikit kenangan yang tersisa.
Kirana telah memilih jalannya sendiri dan tidak mungkin untuk berbalik ke arah yang sama.
"Dan ... orang tua kamu juga setuju," pungkasnya.
Mustahil! Kirana tak percaya tentang hal itu. Sebelum Arlan datang, sudah lebih dahulu Kakrataka dan keluarganya berbincang perihal lamaran serta pernikahan. Bahkan seluruh persiapan juga mulai digarap oleh kedua belah pihak.
"Ta-tapi a-aku su--"
"Kamu bisa menerimaku aku lagi, bukan? Aku berjanji kamu akan terus aku biarkan untuk bekerja sesuai yang kamu inginkan. Aku juga akan bekerja mengurus perusahaan yang sudah aku dan keluargaku bangun mati-matian." Arlan meraih kedua tangan Kirana untuk ia pegang erat.
Kirana menggeleng seraya melepaskan tangan Arlan. "Berikan aku sedikit waktu untuk ini semua."
Gadis itu pergi setelah mengucapkan kalimat terakhir. Semua begitu tiba-tiba dan tak bisa ia cerna secara mudah dan baik.
"Apakah Kakrataka juga akan kembali dengan masa lalunya?"