Usai hari di mana Kirana terjebak di labirin tersebut, Kakrataka jatuh sakit. Karena memang sedari awal kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat. Akibatnya, selama dua hari ini Kirana harus bolak-balik ke rumah Kakrataka. Merawat lelaki yang kini berganti status menjadi calon tunangannya.
"Mau makan apa? Nanti saya buatkan untuk Pak Bos." Kirana yang duduk di tepi ranjang sedang mengecek persediaan obat Kakrataka selama dua hari belakangan.
kakrataka tak henti menatap paras cantik di depannya tersebut. "Makan makanan sederhana saja. Makan bubur saja. lagian saya juga tahu bahwa akan ada penolakan jika saya meminta makanan yang berkuah santan dan juga berminyak," jawab Kakrataka dengan pasrah.
Kirana mengacungkan dua jempol setelah menaruh seluruh obat yang telah tersedia. "Anak baik," ucapnya memuji.
Makan siang sebentar lagi dan Kirana harus segera membuatkan makanan utuk Kakrataka yang tengah terbaring lemah.
"May, mau ke mana?" Kirana berbalik saat ditanya seperti itu oleh Kakrataka.
"Mau bikin bubur," jawabnya dengan polos.
"Tidak perlu. Kemarilah dan biarkan ditangani oleh Mega saja!" Kakrataka menepuk tempat yang sebelumnya dijadikan tempat duduk oleh Kirana.
"Saya juga harus bilang ke Mega dulu kalau begitu," balasnya.
"Saya sudah mengirimkan pesan pada Mega."
Pasrah dengan keadaan yang ada, Kirana kembali menempati posisi awalnya. Duduk di samping Kakrataka dan memperhatikan sekeliling. Karena rasa canggung yang cukup parah, Kirana menyadari bahwa keadaan sekarang adalah kali kedua berada dalam satu kamar dengan Kakrataka. Bukan hanya satu atau dua menit saja, tetapi berjam-jam.
"Saya juga mau makan," ucap Kirana berusaha lepas dari jeratan Kakrataka.
Sejak kedatangannya pagi tadi, Kakrataka sama sekali tak memberinya izin untuk keluar kamar.
"Saya sudah menyuruh Mega untuk membawakan makan siang untukmu," balas Kakrataka degan enteng.
Kemarin saat hari pertama sakit, Kakrataka tidak semanja itu pada Kirana. Namun, harus dijadikan maklum juga, karena Kirana baru tahu sebuah fakta tentang Kakrataka.
Lelaki itu tak bisa terkena hujan.
"Saya bosan, Pak Bos," rengek Kirana.
"Lalu?"
Dengan tidak sopan, Kirana melemparkan satu buah bantal yang tepat mengenai wajah Kakrataka.
Jangan macam-macam dengan Kirana yang ketika sudah marah tidak akan segan menghajar siapa saja yang telah membuatnya kesal.
Kakrataka menyingkirkan bantal yang ada di wajahnya dengan lemah. "May, jangan mentang-mentang saya sakit, kamu bisa dengan seenaknya memperlakukan saya seperti ini!"
Mampus!
Kirana lupa jika Kakrataka adalah Bos yang paling kejam di dalam hidupnya.
"Maaf, Pak Bos," ucap Kirana seraya menyengir. Mengusap bagian wajah Kakrataka yang terlihat kesal. Padahal tidak merah sama sekali, dan Kirana berpikir bahwa ini adalah satu rencana Kakrataka agar merasakan usap halus di wajahnya.
Tangan kanan Kirana berhenti mengusap wajah Kakrataka. Gadis itu menoleh dan mendapati kakrataka yang tengah terlelap seraya memeluk tangannya layaknya guling.
"Pak Bos, Pak Bos. Waktunya makan siang, loh. Jangan tidur!" tegur Kirana. Ia mengguncangkan tubuh Kakrataka dengan sebelah tangannya. Berharap lelaki itu segera membuka mata dan kemudian makan siang. Minum obat, setelahnya baru bisa tidur pulas.
"Pak Bos." Sekali lagi, Kirana mencoba membangunkan Kakrataka dengan lembut.
Percobaan ketiga ... dan ketika tidak berhasil, Kirana akan membiarkannya saja. "Pak Bos, baaaaaaaaaa!"
Tidak sesuai dengan ekspektasi. Kirana justru tertidur di samping Kakrataka karena tangan kanannya ditarik kuat oleh lelaki bertubuh kekar tersebut.
Lengan Kakrataka melingkar di pinggang Kirana. Masih dengan posisi tidur, Kirana kebingungan mencari celah untuk keluar.
"Punya Bos kok gini amat," gumamnya seraya mencoba mengangkat tangan Kakrataka.
Nihil, banyak kali dicoba, tetapi kekuatan Kakrataka tidak mampu ia tandingi.
Akhir dari kisahnya adalah pasrah. Kirana menjadikan sebelah tangannya sebagai bantal. Menatap lekat ke arah Kakrataka yang tengah tertidur.
"Tampan," lirihnya.
Semakin lama, sepasang mata Kirana terasa berat. Karena merasa nyaman serta hangat, ia ikut tertidur bersama Kakrataka dan tentunya masih tetap dalam pelukan lelaki itu.
***
Suara gemercik dari arah luar membangunkan Kirana yang tengah tertidur pulas. Sepasang matanya mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina. Di sampingnya masih ada seorang manusia yang memejamkan matanya rapat-rapat. Posisinya sama persis dengan kali pertama mereka tidur tadi.
Sekarang, Kirana mencoba untuk mengangkat tangan Kakrataka dari pinggangnya.
"Bisa," pekiknya dengan girang.
Kirana tak lagi banyak bicara. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan segera mengecek jam dinding.
"Ya Tuhan, udah jam empat sore dan Pak Bos melewatkan makan siangnya, begitu juga dengan aku sendiri."
Kirana sama sekali tak sadar bahwa dirinya telah tertidur selama hampir lima jam lamanya.
"Mbak." Kirana menoleh.
"Mbak Mega, ada apa?" Kirana berbalik tanya.
"Sudah bangun? Tadi saat saya mengantarkan makan siang, saya urungkan karena melihat Mbak Kirana dan Pak Kakrataka sedang tidur."
Glek!
Kirana menelan salivanya dengan kasar. Ia seperti maling yang tertangkap basah tengah mencuri.
"Mbak Mega, jangan bilang-bilang ke orang tua saya dan juga orang tua Pak Bos, ya. Lagian, saya dan Pak Bos juga enggak ngapa-ngapain, kok," bujuknya, mencoba mengunci mulut Mega yang bisa kapan saja mengatakan kesalahpahaman tersebut.
"Saya kira ... kalian berdua ... emm, anu." Pipi Mega merah merona saat ingin mengucapkan kalimatnya.
"Anu apa?" sahut Kirana dengan tak santai.
"Eh, enggak, Mbak."
"Ingat yang saya katakan tadi, ya, Mbak. Jangan bilang ke siapa-siapa," pesan Kirana sekali lagi, untuk memastikan Mega supaya benar-benar tutup mulut.
"Baik, Mbak. Kalau begitu saya turun lagi," pamit Mega.
Kirana ingin kembali ke kamar untuk memastikan keadaan Kakrataka.
"Mbak Ki!"
"Ya Tuhan, kenapa lagi ini?" Kirana berbalik menghampiri sumber suara. Dapat dipastikan bahwa itu adalah Mega yang tidak tahu masih ada urusan apa lagi.
"Kenapa, Mbak Mega?" tanya Kirana merasa lelah.
"Em ... beneran kalian berdua tadi enggak a--"
"ENGGAK, MBAK!"
Kirana kemudian berbalik untuk menutup pintu kamar Kakrataka. Ia cukup lelah menanggapi pertanyaan tak berguna dari Mega.
"May, ini jam berapa?" Kirana terlonjak saat melihat Kakrataka terbangun dari tidurnya.
"May. Saya tanya kenapa tidak dijawab!" tegur Kakrataka.
"Ah, jam empat lewat sepuluh," jawab Kirana.
"Astaga, saya melewatkan makan siang, ya?"
"Iya, keenakan peluk saya," ucap Kirana dengan sangat lirih.
"Hah?1 Peluk?"
"Pak Bos salah dengar. Keenakan tidur karena hujan dan banyak geledek," elak Kirana.
Kakrataka manggut-manggut. Ia beringsut dan duduk bersandar ke tepian tempat tidurnya.
"Sebentar lagi saya akan pulang. Takutnya orang rumah khawatir karena saya belum juga pulang," tutur Kirana seraya merapikan tempat tidur Kakrataka yang cukup berantakan.
"Tidak bisa menginap di sini saja?"
"Tidak lah!" jawab Kirana dengan tegas.
"Masalahnya, saya tidak bisa mengantar kamu pulang dan ini sudah mulai petang karena hujan. Bahaya kalau kamu mengemudi sendiri."
"Tidak apa, tenang saja."