Pagi sekali bel rumah berbunyi. Seorang manusia tengah bertamu tanpa tahu waktu.
"Mbak Kirana, pagi sekali. Ada apa?" Bahkan asisten rumah tangga Kakrataka pun bertanya dengan heran. Kedatangan kirana benar-benar menggemparkan.
Kirana tersenyum canggung. "Pak Bos ada?" tanya Kirana.
"Ada. Pak Kakrataka sedang sakit. Dia tidak bisa pergi ke kantor selama dua hari ini," jelas asisten rumah tangga tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perlakuan Kirana kemarin malam berefek berat bagi sosok Kakrataka. Satu hari kemarin, lelaki itu sudah tidak masuk dan tak ia ketahui alasannya. Bahkan seluruh orang yang ada di kantor pun tak tahu mengapa Kakrataka bisa tidak hadir, tanpa kabar.
"Apa sudah bangun?" Kedatangannya bukan hanya untuk menilik ambang pintu, tetapi untuk menjenguk Kakrataka yang tengah sakit. Penyebabnya adalah dirinya.
"Sudah, tetapi masih mandi."
"Boleh saya menanti di sini?"
"Masuk saja, Mbak!" titahnya.
"Tidak perlu," tolak Kirana.
Udara pagi di rumah Kakrataka benar-benar membuatnya kedinginan. Duduk di teras sendirian dengan pakaian kantor yang cukup pendek. Ditambah lagi surai yang terikat tinggi, membuat leher jenjangnya tertiup angin dengan puasnya.
Dilihatnya sebuah mobil mewah dengan warna keemasan memasuki pekarangan rumah Kakrataka. Kirana tak tahu harus berbuat apa jika yang datang adalah orang asing. Namun, hatinya berbicara untuk tetap tenang dalam keadaan apa pun.
Dua manusia dengan penampilan sederhana keluar dari dalam mobil tersebut. Tersenyum dengan sangat manis, seolah menebar semangat pagi.
"Kamu calonnya Kakrataka, ya?"
Kirana meneguk salivanya dengan kasar. Membasahi kerongkongan yang secara tiba-tiba kering begitu saja.
"Anda siapa, ya?" tanya Kirana bersusah payah.
"Ah, perkenalkan, saya Anindya Ibu dari Kakrataka dan ini suami saya, Lesmana Ayah dari Kakrataka."
Banyak bicara serta ramah. Kirana merasa seperti itu. Selama dua tahun bekerja bersama Kakrataka, belum pernah sekali saja Kirana mengenal keluarga dari kakrataka.
Hari ini, detik di mana debar jantungnya menggila, ia sendirian menghadapi orang tua Kakrataka yang masih sangat asing dengannya.
"Salam kenal, Om dan Tante. Saya Kirana ta--"
"Tamu spesial pagi ini yang akan Kakrataka kenalkan pada Mama dan Papa." Tidak sesuai ekspektasi dari Kirana. Dalam bayangnya, kedatangan lelaki itu akan membantu meluruskan kesalahpahaman, tetapi justru menyesatkan kedua orang tuanya sendiri.
"Syukurlah kalau kamu berhasil mengikhlaskan apa yang sudah Tuhan ambil dan berani melangkah untuk menjemput masa depan yang lebih baik." Lesmana menyetujui atas apa yang telah putranya putuskan, walau ia tak tahu bahwa semua ini hanya kebohogan.
Kedatangan Kirana pagi buta benar-benar membawa petaka. Bukan begitu caranya untuk menyukseskan rasa dalam dada, tetapi menjadi pendamping yang sesungguhnya lah yang diinginkan.
"Ayo, kita masuk," ajak Kakrataka seraya merangkul pundak Kirana. Membiarkan orang tua Kakrataka masuk terlebih dahulu, baru mereka mengekor di belakangnya.
Rasa canggung membuat Kirana benar-benar tak nyaman dengan posisinya kini.
"Kau kenapa?" Saat ingin bergabung dengan Kakrataka dan orang tuanya, Kirana justru jatuh dengan wajah pucat. Beruntungnya tangan kekar Kakrataka bisa sigap menangkap.
"Bawa dia ke kamarmu. Biarkan dia istirahat di sana!" Kalimat terakhir yang Kirana dengar dari Anindya. Setelahnya kegelapan menyergap secara perlahan.
***
Niat untuk menjenguk, justru kedatangannya membawa bencana. Kirana justru merepotkan saja, bukannya malah mengobati yang sakit.
Parahnya lagi ....
"Memangnya tidak ada rencana untuk keluarga dari dua pihak saling mengenal?"
Saat Kirana pingsan, Kakrataka dengan lancang mengambil ponsel gadis itu guna menghubungi orang tuanya. Hingga berakhirlah mereka pada obrolan serius yang akan menjebak tipu daya yang telah Kakrataka cipta.
Kirana mendengus berkali-kali. Setelah siuman, pendengarannya langsung disambut dengan obrolan serius yang entah arahnya akan berlabuh di mana. Walau bisa ditebak, tetapi otaknya masih mencoba menepis semua hal buruk yang mungkin akan terjadi.
"Untuk saling mengenal saja tidak masalah bagi kami," jawab Ayah Kirana.
Ingin rasanya gadis itu merutuki perbuatan ayahnya, tetapi ia tak ingin durhaka, sedang kelakuannya saja masih sering menggores hati mereka.
"Jika memang ditemukan kecocokan, boleh kita langkahkan ke arus yang lebih serius?" tanya Lesmana.
Sedari tadi Kakrataka telah menyenggol bahu Kirana berkali-kali. Kedua orang itu duduk berdampingan di sebuah sofa. Dengan keadaan yang hampur sama. Wajah pucat pasi dan saling diam jika tak ditanya.
"Maksudnya, kita menjodohkan mereka?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Ibu yang tengah berbadan dua.
Kirana terbatuk saat ibunya mengucapkan hal tersebut dengan lantang. Kedua matanya berkedip berkali-kali sebagai tanda bahwasanya ia tak suka.
"Iya, apa kalian setuju?" sambung Anindya.
"Tentu saja," jawab kedua orang tua Kirana dengan yakin.
Dua manusia yang tak mengira akan terjadinya hari ini, tengah menerka. Saling bergulat dengan pikiran rumit. Keteledoran Kakrataka membuat Kirana harus terjerat pada sandiwara yang siap membuat keduanya terjebak dalam labirin.
"Kami ini rekan kerja, loh. Mana mungkin kami akan dija--"
"Ma, Pa. Bukankah hal ini terlalu cepat?" sanggah Kakrataka.
"Tidak. Usiamu sudah tak lagi muda dan kita juga takut jika kau terus terbebani oleh masa lalumu yang kelam," jawab Lesmana.
Seakan menjerit pun tak lagi digubris. Kakrataka mulai terlihat frustrasi, sedangkan Kirana tengah datar menatap ke arah taman di depan sana.
"Kalian berdua punya hubungan spesial, bukan? Setiap hari bekerja bersama, jangan egois, hanya ingin berpacaran dan tidak kunjung mengikatnya," ucap Anindya.
Mampus! Apa yang Kakrataka lakukan benar-benar merugikan keduanya. Sebenarnya tak keseluruhan merasa dirugikan, karena Kirana akan mendapat keuntungan. Cinta seorang Kakrataka bisa kapan saja tumbuh untuknya. Namun, caranya salah!
"Kami belum siap," jawab Kirana dengan nada sedikit memohon.
"Yang bilang tamu spesial siapa? Kamu, 'kan, Kakrataka? Lalu, mengapa kau tak meresponsnya dengan baik?" Lesmana mulai mencecar habis-habisan.
"Iya, Pa, tap--"
"Kita sudah menentukan, bukan?" tanya Lesmana seraya menoleh ke arah dua manusia yang menjadi saksi kehidupan Kirana.
"Iya," jawab orang tua Kirana dengan kompak.
Keempat manusia dengan dipisah menjadi dua pasang tengah berbincang lebih serius. Mereka beralih ke ruang makan, sedangkan Kirana dan Kakrataka dibiarkan berdua di tempat awal mereka berembuk.
"Ayo, keluar," ajak Kakrataka.
Tanpa memandang ke arah lelaki itu, Kirana beranjak. Mereka duduk di taman yang rindang, supaya percakapannya tak didengar dari dalam sana.
"Maksudmu apa, Pak Bos?" Kirana bertanya dengan nada sedikit geram.
Terdengar embus napas gusar di sampingnya.
"Saya lelah karena mereka menjodohkan saya. Mencari pasangan yang katanya cocok untuk saya dan saya merasa muak dengan perlakuan mereka," tutur Kakrataka.
Kirana paham dengan apa yang lelaki itu rasakan. Ia pernah berada dalam posisi menyakitkan tersebut. Dipaksa untuk segera menikah dengan cara dijodohkan dan rasanya sungguh tidak nyaman.
"Memangnya mereka tidak membebaskan Pak Bos?"
"Mereka takut saya terus terpuruk karena kehilangan anak dan istri saya."
"Lalu, kita harus bagaimana?"
Kakrataka menoleh. Menatap Kirana lekat. "Kita ikuti saja permainan ini."