Chereads / Pak, Tanggung Jawab! / Chapter 8 - Sedikit Permainan Cinta

Chapter 8 - Sedikit Permainan Cinta

Satu pekan setelah obrolan panjang nan mendebarkan. Kirana dan Kakrataka lebih dekat serta intens dalam pertemuan serta kebersamaan. Keduanya tak lagi sungkan untuk mengumbar kebersamaan yang kadang dengan sengaja disembunyikan.

"Hari ini keluarga kita akan pergi jalan-jalan ke tempat wisata di pusat kota. Kita harus pulang lebih awal dan segeralah bersiap. Saya akan menunggumu bersama Papa dan Mama di depan rumah," pesan Kakrataka sebelum keduanya berpisah arah menuju ruangan masing-masing.

Di samping itu, Kirana mulai tak fokus dengan kerjanya. Dalam benak, terngiang bagaimana raut frustrasi Kakrataka saat kemarin menyendiri. Mungkinkah dirinya akan membawa malapetaka saat mulai menyelinap masuk dalam kehidupan lelaki itu?

"Mbak!"

Kirana tersentak.

"Astaga, Marina. Coba ketuk dulu pintunya!" peringat Kirana merasa dirugikan karena karyawannya lancang masuk ke dalam ruangan.

"Sudah, Mbak. Mbak Ki saja yang melamun."

"Oke, oke. Ada apa?"

"Saya hanya ingin memberikan ini."

Benda pipih berwarna hitam tersebut ditaruh di meja Kirana.

"Kok ponsel saya ada di kamu?"

"Tadi tergeletak di depan meja kerja saya, Mbak."

"Ah, makasih, Marina."

"Sama-sama, Mbak. Kalau begitu saya permisi dahulu."

"Iya, sekali lagi terima kasih."

"Sama-sama, Mbak.

***

"Kita akan ke mana?"

Tepat pukul 13.00, keluarga Kirana dan Kakrataka sudah sampai di tempat tujuan. Mereka berkeliling sebentar sampai akhirnya memilih untuk berpisah dengan pasangan masing-masing.

"Mau minum?" tawar Kakrataka.

"Boleh," jawab Kirana.

"Kamu tunggu di sini. Biar saya belikan."

Kirana duduk di sebuah kursi dekat dengan labirin. Seumur hidup, ia belum pernah menjelajah di dalamnya. Terbersit keinginan untuk masuk tanpa membawa pendamping. Hingga akhirnya Kirana memilih untuk menuruti kata hati. Sebelumnya ia menoleh ke sana-kemari, memastikan jika Kakrataka belum kembali.

"Semoga bisa keluar," gumam Kirana setelah melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam labirin yang siap memutarnya ke sana-kemari.

Kirana berjalan tanpa peduli dengan jalan yang ia tempuh benar atau tidak. Sudah dua kali mencoba jalan, tetapi berakhir dengan kebuntuan. Hingga sepercik air dari langit turun dan tetesan-tetesan kecil menaruh diri di wajahnya.

Kirana mulai panik, apalagi ditambah dengan gelap gulita yang diciptakan oleh pantulan awan di atas sana. Kilat cahaya dari langit seketika memunculkan gemuruh yang amat nyaring. Gadis itu merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di dalam labirin.

"Kakrataka! Tolong!" teriaknya, walau terdengar mustahil bahwa Kakrataka di luar sana akan mendengarnya yang sudah sampai di pertengahan jalan.

Sebuah ponsel dikeluarkan dari dalam tas oleh Kirana. Namun, tiada satu pun jaringan yang terlihat di sudut kiri atas ponsel tersebut. Ia kebingungan mencari jalan keluar, sedangkan hujan mulai deras mengguyur bumi.

"Sial! Aku juga lupa jalan keluar!" umpatnya seraya memasukkan ponsel dengan tangan yang sudah tremor.

Meski begitu, Kirana masih coba menenangkan diri. Berpikir positif jika akan ada bantuan yang datang dan dirinya bisa selamat dari dalam labirin yang seolah menjebaknya.

***

Di lain tempat, Kakrataka tengah membuang minumannya begitu saja. Mengetahui hujan semakin deras dan Kirana tidak tahu di mana. Kakrataka panik berkeliling ke sana-kemari dengan bajunya yang telah basah kuyup.

"May! Kamu di mana?!"

Tidak hilang akal, Kakrataka mencari sebuah kemungkinan pada labirin besar di depannya. Ia telah kembali pada titik awal di mana Kirana berhenti dan menanti dirinya.

"Apa mungkin Kirana ada di sana?"

Secepat mungkin Kakrataka berlari dan masuk ke dalam labirin tersebut. Ia tidak peduli dengan air yang terus mengguyur diri.

"Kirana!"

***

"Kirana!"

"Pak Bos!" teriak Kirana saat mendengar teriakan yang tak jauh darinya.

Gadis itu mencoba untuk berjalan mencari arah yang menuntun kedua kaki untuk melangkah.

"Pak Bos!" teriaknya lagi.

"May!"

Mereka bertemu pada satu titik di mana keduanya sama-sama berhadapan dengan jalan buntu.

Kirana berhambur memeluk lelaki itu. Air matanya sedari tadi mengalir deras, tetapi melebur bersamaan dengan air hujan.

"Kenapa kau tidak menuruti perintahku tadi, ha?"

"Maaf, aku hanya ingin bermain di labirin, sendiri."

"Jika tidak tahu arah, jangan coba-coba sendiri. Kau tahu akhirnya bagaimana, bukan?"

"Aku takut ...," lirih Kirana.

"Iya, kita keluar sekarang."

"Sebentar."

Kirana melepas pelukan tersebut. Ia menatap Kakrataka dengan lekat. Mengusap wajah lelaki itu dengan kedua tangannya yang telah terbebas dari genggam Kakrataka di belakang tubuhnya.

"Terima kasih sudah menepati janji," ucap Kirana sedikit berteriak agar tak kalah dengan suara hujan yang berbenturan dengan tanah, riuh.

"Tidak mungkin saya meninggalkan tangan kanan saya begitu saja."

Deg!

Kirana menerima kenyataan bahwa Kakrataka tak pernah menganggap dirinya lebih dari itu semua. Ia saja yang terlalu berharap, ditambah lagi dengan adanya perjodohan yang terjadi di antara keduanya.

"Maaf, sudah berusaha menyelinap masuk dalam kehidupanmu," ungkap Kirana dengan sangat tulus.

"Maksudmu?"

"Maaf, karena saya, Pak Bos harus menerima kenyataan bahwa orang tua kita saling menjodohkan."

"Bukankah yang mengawali adalah saya, seharusnya yang meminta maaf itu saja."

"Namun, saya tahu jika Pak Bos merasa tertekan."

"Tidak. Saya sedikit tidak enak hati kepadamu, May. Karena kamu harus terikat dengan saya, padahal kamu harusnya bisa bebas bersama lelaki pilihanmu sendiri. Saya tahu jika kamu tidak bahagia."

'Saya sangat-sangat bahagia jika kita bisa bersama,' batin Kirana meronta.

Keduanya saling berpandangan. Di mana derasnya hujan menjadi sekat di tengah jarak mereka yang tak begitu jauh. Kirana mundur selangkah demi selangkah saat Kakrataka mendekat.

Lelaki itu menguncinya di tembok labirin yang cukup tinggi.

Mereka beradu pandang, walau terhalau dengan hujan.

"Saya minta maaf," ucap Kakrataka.

Lelaki itu membelai surai Kirana yang telah basah hingga tak lagi indah seperti biasa. Tergerai, tetapi tak mampu terbang kala tertiup angin.

Kakrataka semakin mendekat dengan binar di sepasang matanya.

Kecupan hangat mendarat di kening Kirana. Gadis itu hanya memejam dan menahan debar dalam dadanya yang terasa begitu kuat. Kirana meratapi isi hati yang mulai meminta hak atas balasnya sebuah rasa yang selama ini dipendam sendiri.

Keduanya menikmati guyuran hujan bersama, dengan Kakrataka yang masih membiarkan bibirnya menempel di kening gadis itu.

"Pak Bos," tegur Kirana sehingga Kakrataka sedikit mundur dan mengakhiri kecupan di kening gadis itu.

"Ayo, kita keluar sekarang. Saya tidak enak melihat penampilanmu seperti ini. Sialnya! Saya tidak membawa jaket atau jas yang bisa menutupi keterbukaan dalam penampilanmu tersebut!"

Kirana menunduk dan benar saja. Pakaiannya terlihat begitu transparan dan menunjukkan pakaian dalam yang tengah ia gunakan sekarang.

"Pak Bos, kaki saya kaku," ungkap Kirana saat sebelah tangannya ditarik Kakrataka untuk segera beranjak dari sana.

"Biar saya gendong." Tanpa basa-basi lagi, Kakrataka membiarkan Kirana untuk naik di pundaknya.