Setelah meninggalkan studio kafe, Andra mencoba menghibur Sintia agar tidak terlalu stres karena kejadian kamera tersembunyi yang hampir merekam lekuk indah tubuhnya. "Jadi kita mau ke mana?" tanya Andra bingung mengarahkan mobil yang Sintia, Andra, dan Arin tumpangi.
"Enggak tahu! Mau nyari tempat lain juga Aku sudah tidak mood untuk pemotretan," ungkap Sintia yang terlihat masih sangat syok.
"Sebelumnya belum pernah kejadian seperti tadi, kah?" tanya Andra pada Sintia.
"Enggak pernah sama sekali! Atau jangan-jangan Aku yang selama ini enggak ngeh ya?" ungkap Sintia ragu.
"Maaf ya, Sin. Aku juga tidak memastikan semua aman dulu sebelum Kamu mau ganti baju," kata Arin menyesal.
"Iya, Kamu juga sih. Jangan makan gaji buta dong! Coba saja kalau ada Yumi, semua pasti beres!" seru Sintia.
"Sudah ... sudah ... ambil saja hikmahnya untuk lebih berhati-hari ke depannya," ingat Andra.
"Untung saja ada Kamu, Ndra! Kalau enggak, hancur sudah masa depanku," ungkap Sintia merasa beruntung.
"Hanya kebetulan saja. Perasaanku tidak enak saja tadi. Masak mau ganti saja dipesan harus sendiri. Padahal ini mau pemotretan lo!" kata Andra heran.
"Nah, itulah. Padahal yang bilang pemiliknya langsung lo!" kata Sintia.
"Siapa pemiliknya? Kamu kenal dia dengan baik?" tanya Andra curiga.
"Kenal cukup baik sih. Dia teman kerjaku. Dulu pernah pemotretan bareng sama dia," jawab Sintia.
"Seharusnya Kamu mencurigai dia. Apakah Kamu pernah membuat dia marah atau kecewa?" tanya Andra mencoba mencari tahu.
"Hmmm ... sejauh ini sih hubungan kami baik-baik saja. Tapi kalau diingat-ingat, dulu dia sempat mendekatiku sih. Tapi Aku menghindar dan cenderung mengacuhkannya," terang Sintia.
"Nah ... jangan-jangan dialah orang di balik semua kejadian hari ini!" Andra menduga teman Sintia pemilik studio kafe itulah pelakunya.
"Benar juga katamu, Ndra. Jangan-jangan ini semua ulah dia! Sialan! Pantas saja dia memohon-mohon untuk Aku melakukan pemotretan di tempatnya. Masuk akal sih kalau semua karyawannya enggak tahu kalau ada kamera di ruang ganti itu. Lagian tadi pas kutanya, apa sebelumnya ada peringatan untuk tidak masuk ke kamar ganti berdua atau sendirian, katanya belum pernah ada sebelum Aku barusan," jelas Sintia.
"Fix ... menambah bukti bahwa itu akal-akalan si pemilih studio kafe itu sih menurutku." Kecurigaan Andra semakin menjadi dengan beberapa bukti yang ada. "Jadi tadi Kamu sudah mendapatkan bukti-bukti atas kejadian yang hampir saja merusak masa depanmu sebagai publik figur tadi?" tanya Andra.
"Iya, sudah. Tadi Aku minta semua rekaman CCTV yang bisa kujadikan bukti sambil mengancam mereka untuk memasukkan mereka semua ke penjara," kata Sintia.
"Tapi Kamu yakin mereka tidak akan menyembunyikan buktinya setelah kepergian kita ini?" tanya Andra meyakinkan.
"Tenang, tadi Aku sudah menghubungi Papa untuk meminta orang hukumnya ke sana. Jadi semua beres. Aku tidak akan membiarkan mereka semua lolos!" seru Sintia.
"Baguslah kalau begitu. Memang tidak bisa dibiarkan. Nanti bisa-bisa ada Sintia-Sintia yang lain yang jadi korban!" tandas Andra.
"Betul banget! Aku setuju! Ya sudah kalau begitu kita jalan aja, yuk? Bagaimana kalau nonton untuk mengembalikan mood?" ajak Sintia.
"Aduh ... maaf sekali Teh, Arin tidak bisa bergabung kali ini. Sudah ada janji dengan klien yang tempo hari ada perjanjian kerja sama dengan Teh Sintia," kata Arin pamit tidak bisa ikut serta.
"Oh iya juga ya. Ya sudah, Aku berdua saja sama Andra. Enggak apa-apa, kan Ndra?" tanya Sintia.
"Berhubung kerjaanku ditunda, jadi apa boleh buat. Ayuk ajalah!" Andra pun menerima ajakan Sintia untuk nonton film di bioskop berdua. Tidak ada sedikit pun pikiran lain selain niat bekerjanya ditunda.
"Oh iya, coba saja ajak Ayumi kalau mau," kata Sintia.
"Benar juga! Baiklah akan kucoba tanyakan padanya barangkali dia mau gabung," jawab Andra. Andra pun menghubungiku. Namun sayang sekali, aku masih ada rapat organisasi yang tidak bisa kutinggalkan. Meskipun bersama Sintia, aku sempat menyesal kenapa tidak ikut saja dengan mereka. Karena tanpa kehadiranku, mereka akan ke bioskop berdua.
Padahal aku sudah lama tidak pergi berdua dengan Andra. Jangankan melihat film di bioskop. Untuk sekedar jalan-jalan keluar saja, belum pernah sejak jadian. "Semoga mereka berdua menikmati filmnya dan chemistry mereka semakin terbentuk. Toh kedepannya, mereka akan semakin sering bekerja sama," ungkapku dalam hari yang sebenarnya sedikit cemburu.
"Aku turun di sini saja, Ndra," kata Arin meminta turun dari mobil. Andra pun menghentikan mobilnya sesuai permintaan Arin.
"Ya sudah, Aku pindah depan saja," kata Sintia yang berpindah dari kursi belakang ke kursi depan samping kemudi.
"Enggak apa-apa Kamu duduk di sampingku begini?" tanya Andra pada Sintia.
"Ya enggak apa-apa, memangnya kenapa? Ada yang salah?" tanya Sintia kembali.
"Ya Aku sih enggak apa-apa. Barang kali Kamu takut ada yang melihat dan akan terjadi keributan. Secara Kamu kan publik figur," ungkap Andra.
"Alah … santai saja! Kan Kamu kerja sama Aku, jadi kalau pun ada gosip biar kujelaskan saja. Atau jangan-jangan Kamu yang keberatan dan takut ketahuan cewekmu?" kata Sintia tengah meledek Andra.
"Enggaklah, kan Aku kerja profesional. Dan sekarang lagi mencoba membahagiakan bosku yang lagi sedih," balas Andra mencoba mencairkan suasana.
"Jadi benaran Kamu sudah punya cewek?" tanya Sintia penasaran.
Andra diam sejenak, lalu menjawab pertanyaan Sintia. "Enggak kok, Aku sendiri aja. Jadi tenang aja, enggak bakal ada yang marah atau cemburu," kata Andra berbohong kepada Sintia bahwa dia masih sendiri.
Seperti yang sudah pernah dia sepakati bersama denganku, dia menutupi hubungan antara dirinya dengan diriku. Kami tidak akan selamanya menutupi hubungan ini dari Sintia, karena dia pun berhak tahu. Tapi menurut kami, sekarangmasih belum saatnya Sintia tahu. Demi kelancaran kerja sama yang baru saja terjalin antara dirinya dengan Andra.
Sesampainya di bioskop, Andra mempersilakan Sintia untuk memilih judul film yang akan ditontonnya. "Jadi kita mau nonton apa?" tanya Andra pada Sintia.
"Hmmm … apa ya kira-kira yang seru? Sebenarnya Aku pengin nonton film horor sih, tapi Aku penakut. Jadi gimana ya enaknya?" ungkap Sintia terlihat ragu.
"Ya sudah, sekalian saja kita nonton film horor. Pas kan, Kamu sekalian bisa teriak-teriak," kata Andra memberikan solusi.
"Baiklah kalau begitu. Tapi Kamu harus janji untuk tidak meledekku ketika Aku terlihat ketakutan bahkan mungkin memalukan, ya?" pinta Sintia.
"Baiklah, tenang saja. Tanpa meledekmu ingatan itu akan selalu terekam di dalam memori otakku," balas Andra terus menggoda Sintia.
"Oke, belikan Aku tiket untuk film itu. Ini uangnya … Aku beli popcorn dan minuman dulu," kata Sintia sembari menunjuk gambar film horor yang ingin ditontonnya dengan jari telunjuknya.
Andra dan Sintia pun masuk ke dalam studio bioskop. Mereka memilih berada di kursi barisan paling belakang dan di posisi tengah. Beruntung saat membeli tiket film tersebut, masih banyak kursi kosong. Sehingga mereka bisa memilih kursi yang paling nyaman menurut mereka untuk menikmati film yang telah dinantikannya.
Belum-belum filmnya dimulai, wajah Sintia sudah terlihat tegang ketakutan. "Hei, belum mulai lo. Wajahnya kok sudah semringah enggak sabar gitu?" ucap Andra mengejek Sintia.
"Dasar … kan Kamu sudah janji tidak akan meledekku!" seru Sintia kesal.
"Sssttt … diam! Filmnya sudah dimulai tuh!" ungkap Andra sambil mengacungkan jari telunjuknya melekat di depan mulutnya.
Sintia pun terdiam dan memperhatikan layar bioskop yang ada. Sesekali dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sembari mengintip-intip penasaran. Sekitar 10 menit film diputar, tangan Sintia terlihat mulai gemetaran. "Aaa …," teriak Sintia.
Secara spontan Sintia bersembunyi di balik bahu Andra. Dia ketakutan melihat adegan di film yang sedang ia saksikan. Karena terlihat serius dan tidak bergeming sedikit pun, Andra membiarkan Sintia yang seperti itu. Beberapa saat dia membiarkan Sintia bersembunyi di balik bahunya, hingga Sintia tersadar bahwa sudah cukup lama dia berlindung di balik Andra.
"Ih ... Kamu kok tadi diam saja saat Aku memelukmu? Aku kan enggak sadar kalau udah pegang-pegang bahkan memelukmu begitu," kata Sintia.
"Ya habisnya Kamu kelihatan asik banget nontonnya. Jadi Aku pun tidak berani mengganggu," jawab Andra.
"Alah, dasar mencuri kesempatan di balik kesempitan," kata Sintia bercanda.
"Ye … yang meluk siapa yang dibilang mencuri kesempatan siapa?" balas Andra.
"Hahaha … iya-iya maaf! Tapi terima kasih lo, Kamu sudah mau menemaniku nonton. Jadi Aku enggak sendirian deh hangout-nya," ungkap Sintia.
"My pleasure, Sin. Asal enggak sering-sering aja. Nanti Aku banyak haters lagi hara-gara sering jalan sama artis," kata Andra menggoda Sintia.
"Paling bisa deh Kamu. Kenapa enggak dari dulu saja ya ketemu sama Kamu?" ungkap Sintia.
"Wah, jangan menyesal begitu dong! Yang pentingkan kita sudah dipertemukan. Semoga kedepannya kerjaanku juga bisa membuatmu puas dan melanjutkan kerja sama kita," kata Andra.
"Pasti dong! Apalagi hari ini Kamu sudah menyelamatkanku. Itu sih sudah bisa menambah poin plus dari aku," kata Sintia sembari keluar dari bioskop bersama Andra.
"Syukurlah kalau begitu. Jadi habis ini kita ke mana? Mau langsung pulang atau makan dulu?" tanya Andra.
"Hmmm … bagaimana kalau beli mi ayam abang-abang dekat kampus sekalian Aku antar Kamu balik ke asrama?" tanya Sintia menawarkan makan bersama Andra.
"Boleh, dengan senang hati. Sebagai anak asrama yang lagi ngirit, ditraktir bos adalah sebuah keberuntungan," ungkap Andra.
"Hahaha … Aku pun demikian. Merasa beruntung punya partner kerja sepertimu yang multitalent sepertimu. Bisa jadi fotografer, bisa juga jadi bodyguard," ungkap Sintia.
"Aduh … kok hujan. Mana enggak bawa paying lagi. Sini mendekat, kupayungin pakai jaketku saja kita lari. Yuk?" ajak Andra sambil merangkul Sintia dari belakang dan memayungi Sintia dengan jaket yang telah dilepas dari tubuhnya. Mereka pun berlari menuju mobil yang tengah di parkir di depan gedung bioskop.
Sesampainya di dalam mobil, Sintia berkata, "Belum pernah lo ada cowok yang bersikap semanis ini ke Aku kecuali Papa."
Mendengar perkataan Sintia, Andra pun melihat wajah Sintia lalu berpaling. Dia merasa sedikit takut jika ucapan Sintia itu merupakan salah satu kode yang ditujukan untuknya. Kode bahwa Sintia mulai memperhatikan bahkan tertarik kepadanya. Tanpa berkata apa-apa, Andra menjalankan mobil dan tak berani melihat wajah Sintia sedikit pun.
Andra hanya terdiam dan memohon dalam hati, "Semoga pikiranku salah. Semoga Sintia menganggapku biasa saja selayaknya partner kerja dia yang lainnya. Amit-amit jangan sampai dia jatuh hati padaku. Duh … percaya diri sekali Aku ini."