"Terima kasih karena Kamu telah bersedia memberiku kesempatan untuk menjadi imammu," ungkap Andra setelah aku menerima lamarannya.
"Terima kasih juga karena menganggapku pantas menjadi calon istrimu sekaligus calon ibu dari anak-anakmu," balasku atas pinangan Andra.
"Cieee ... so sweet banget sih!" ungkap Nada menggodaku dan Andra yang baru saja meresmikan hubungan kami. "Jadi kapan dong Kamu nembak Aku seromantis ini?" tanya Nada kepada Dion.
"Waduh ... kalau Aku sih enggak pintar bersikap romantis seperti Andra," jawab Dion secara terang-terangan.
"Ah, payah nih!" keluh Nada sambil bercanda. "Ya sudahlah, walaupun hubunganku dengan Dion sepertinya masih jalan di tempat dan belum mampu menyusul kalian, setidaknya Aku turut berbahagia atas hari bahagia kalian ini," kata Nada dengan penuh bahagia.
"Terima kasih, Sayang. Kamu udah mau bela-belain membawa bunga sebanyak ini untukku. Pasti berat!" ungkapku pada Nada.
"Ah ... ini sih tidak ada apa-apanya dibanding dengan besarnya cinta Andra untukmu." Nada mencoba menggodaku.
"Jadi malam ini kita makan-makan nih?" tanya Dion sudah terlihat tidak sabar dan mungkin sudah merasa kelaparan.
"Tentu saja! Pesan saja apa yang Kau mau!" ucap Andra lantang.
"Wih ... sok keren banget anak ini. Baiklah kalau memang Kamu sudah mengizinkan, Aku akan pesan makanan yang banyak kali ini. Sudah lama Aku tidak makan enak. Hahaha ...," ungkap Dion kegirangan.
"Dasar rakus! Kasihan Andra kalau habis banyak hanya gara-gara Kamu. Dia kan baru keluar dari rumah sakit," kata Nada mencoba mengingatkan.
"Tidak apa-apa. Hitung-hitung syukuran juga atas kesembuhanku sekaligus atas peresmian hubunganku dengan Ayumi. Lagi pula, biaya rumah sakit sudah ada yang membiayai. Entah siapa, mungkin si pelaku tabrak lariku sendiri," terang Andra.
"Aduh ... kok suasananya jadi sendu begini. Gara-gara Dion sih!" candaku ingin mencairkan suasana.
Kami pun menghabiskan malam dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan. Di balik itu semua, aku masih merasa sedikit cemas bagaimana jika nantinya Dito kembali ke Indonesia dan masih memiliki perasaan yang sama sebelum dia meninggalkanku di sini. "Ah, sudahlah ... bodoh sekali Aku terus berharap itu semua terjadi. Saat ini Aku harus fokus pada hubunganku dengan Andra yang benar-benar nyata!" ucapku dalam hati.
***
"Halo, Yum. Bagaimana kabar Andra?" tanya Sintia melalui telepon.
"Alhamdulillah dia sudah keluar dari rumah sakit kemarin. Maaf ya lupa memberi tahumu," jawabku.
"Iya enggak masalah. Kalau begitu, Aku hubungi dia langsung saja kalau begitu. Aku butuh dia melakukan pemotretan besok pagi," kata Sintia.
"Oke deh. Sukses ya untuk pemotretannya. Aku tidak perlu bergabung dengan kalian, kan?" tanyaku.
"Oh, tidak perlu. Aman kok, hanya pengambilan gambar di studio temanku. Biasalah, endorse baju gitu," jelas Sintia.
***
"Halo, Ndra. Besok temani Aku pemotretan ya," pinta Sintia pada Andra melalui telepon.
"Oke siap! Nanti infoin aja di mana dan jam berapanya ya kalau sudah pasti," jawab Andra.
"Baiklah ... tapi Kamu yakin besok sudah bisa kerja? Kata Yumi, kemarin Kamu masuk rumah sakit?" tanya Sintia memastikan.
"Iya sudah sehat kok. Sudah bisa bekerja keras bagai kuda," balas Andra setengah bercanda.
"Bisa saja Kamu. Kamu kan ganteng, masak disamain sama kuda?" balas Sintia menggoda.
"Jadi apa yang harus kubawa besok? Cukup kameraku saja, kan?" tanya Andra pada Sintia.
"Iya, boleh saja Kamu bawa kameramu. Biasanya Aku juga sudah menyediakan kamera, lensa dan perlengkapannya sih. Sebut saja apa yang Kamu butuhkan," ungkap Sintia.
"Iya, gampanglah besok saja. Tapi untuk jaga-jaga, Aku tetap membawa kameraku sendiri saja. Takutnya kalau pakai kamera yang tidak biasa kupegang, hasilnya tidak sesuai harapan," balas Andra.
"Ya sudah, terserah Kamu saja. Sampai jumpa besok ya!" kata Sintia.
***
"Gimana, Sintia sudah menghubungimu lagi soal kerjaan?" tanyaku pada Andra ketika dia menjemputku sepulang kuliah.
"Iya, sudah kok. Besok pagi aku ambil gambarnya," jawab Andra.
"By the way, kalau bisa untuk sementara waktu jangan sampai Sintia tahu tentang hubungan kita ya," pintaku.
"Tanpa Kamu minta pun sebenarnya Aku pun berpendapat sama. Aku tidak ingin Sintia tahu dulu. Takut dia berpikir kalau Aku bekerja dengannya dengan memanfaatkan kedekatan kita. Aku tidak mau dia menganggapku sebagai laki-laki yang suka memanfaatkan orang lain, terlebih memanfaatkanmu sebagai sahabat baiknya," ungkap Andra.
"Baiklah ... sama kok. Aku juga tidak mau dia berpikir Aku memanfaatkan kedekatanku dengannya untuk membantumu mendapatkan pekerjaan. Apa ya istilahnya? Nepotisme! Padahal Kamu kan bekerja secara profesional dan memang ahli di bidang itu sesuai yang dia butuhkan," imbuhku.
"Benar! Ya … mungkin itu semua karena ketakutan kita saja, namun memang sebaiknya kita menunda dulu untuk memberitahunya tentang hubungan terbaru kita," tambah Andra.
***
Hari ini adalah hari di mana Andra mengambil gambar Sintia. Mereka bertemu di salah satu kafe studio, di mana itu merupakan sebuah studio foto yabg berada pada lantai 2 sekaligus sebuah kafe pada lantai dasar bangunannya. Awalnya Andra menunggu di lantai dasar karena ketidaktahuannya. Kemudian setelah Sintia sampai, dia mengajak Andra untuk naik ke lantai 2.
Sebelum mulai pemotretan, Sintia izin untuk berganti baju dulu. Tidak seperti biasanya, Arin manajer sekaligus asistennya yang selama ini menggantikanku tidak membantunya berganti baju. Melihat ada sesuatu yang sedikit ganjil, Andra bertanya, "Enggak dibantuin Arin?"
"Enggak, tadi dipesenin katanya ruang gantinya sempit. Jadi akan sulit jika dimasuki 2 orang," jawab Sintia dengan santainya.
"Tunggu ... sebelum Kamu masuk, boleh Aku masuk dulu?" tanya Andra sambil menahan Sintia yang bersiap memasuki ruang ganti tersebut. Tanpa ragu, Andra memasuki ruang ganti kemudian mengecek semua sisinya.
Sintia merasa kebingungan melihat tingkah Andra yang sepertinya tengah curiga ada sesuatu yang tersembunyi di salah satu bagian ruang ganti itu. Dan benar saja, Andra menemukan sebuah kamera kecil dibalik baju yang sedang digantung di sana.
"Astaga!" teriak Sintia terkejut. "Apa-apaan ini?" tanya Sintia heran.
"See?" kata Andra sambil memberikan kamera kecil yang dia temukan kepada Sintia.
"Sialan! Berani-beraninya ada orang iseng kayak gini. Aku tidak akan tinggal diam, akan kulaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib!" ancam Sintia murka.
"Siapa yang bertanggung jawab di sini? Ini sih bukan iseng lagi, tapi berniat buruk!" kata Andra kepada penjaga studio kafe tersebut.
"Sebentar, Kak ... akan Saya panggilkan manajer di sini. Tapi sungguh, kami tidak tahu menahu mengenai hal ini," kata penjaga itu sambil ketakutan.
Beberapa saat kemudian, manajer studio kafe itu pun menunjukkan wajahnya dan menghadap Sintia sebagai korban pada kejadian tersebut.
"Barusan petugas di sini sudah menjelaskan situasi yang telah terjadi kepada Saya. Dengan sangat berat hati, Saya mewakili seluruh tim studio kafe ini mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan apa yang telah terjadi kepada Kakak. Jujur, kami tidak tahu menahu dan sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa ini," ungkap manajar studio kafe tersebut.
"Mau beralasan apa pun, Anda tetap terlibat. Karena Anda adalah manajer studio kafe ini! Sumpah Saya kecewa banget. Padahal Saya tidak hanya sekali lo foto di sebuah studio kafe. Tapi baru kali ini Saya diperlakukan seperti ini. Ini namanya kriminal!" ungkap Sintia marah.
"Sabar Sin ... ayo kita cari tempat lain dulu. Enggak enak dilihat pengunjung lain. Sepertinya mereka memang tidak tahu apa-apa," kata Andra mencoba menenangkan.
Sintia terdiam dan mendengarkan perkataan Andra. Dia berjalan bersama Arin dan Andra menuju ke mobil. Andra meninggalkan motornya di studio kafe itu dan ikut mobil Sintia.
Ini adalah kejadian pertama yang dialami Sintia selama melakukan pemotretan. Syok adalah hal yang dia rasakan saat ini. Wajahnya terlihat sangat marah, tetapi juga sedih karena tidak habis pikir bahwa nyaris saja rekaman tubuh tanpa busananya bisa dimanfaatkan oleh orang yang tak bertanggung jawab, bahkan bisa disebarluaskan dengan seenaknya.