Om Danu berhasil melewati masa kritisnya. Sekitar 4 hari om Danu mengalami koma. Tante Lidya begitu setia menemani di sampingnya.
Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku di rumah sakit. Sesekali setelah menemani tante Lidya dan om Danu, aku ke kamar tempat Andra dirawat. Syukur kondisi kesehatan Andra semakin membaik, tidak seperti yang aku takutkan sebelumnya.
Hari ini rencananya Andra akan keluar dari rumah sakit dan mulai menjalani rawat jalan. Aku menemani tante Anis dan om Arif untuk berkemas. "Tante setelah ini rencananya mau menginap di mana bersama om Arif?" tanyaku pada tante Anis.
"Tante dan Om langsung pulang kampung, Nak. Andra juga sudah sehat dan sudah bisa masuk kuliah lagi, jadi sudah waktunya kami kembali ke Jogja. Kasihan sawah di kampung tidak ada yang mengurus," ungkap tante Anis pamit.
"Aduh ... cepat sekali, Tante. Kan belum sempat jalan-jalan selama di Bandung," kataku sedikit menahan.
"Tidak apa-apa, Nak. Nanti kami pasti akan kembali lagi, mungkin saat Andra diwisuda. Sekalian jalan-jalan keliling Bandung ya. Nak Yumi mau menemani?" tanya tante Anis padaku.
"Wah ... tentu saja mau, Tante!" seruku dengan penuh semangat.
"Apa ini bisik-bisik? Ajak-ajak dong kalau ngobrol hal seru," kata Andra yang baru keluar dari kamar mandi.
"Idih ... kepo deh! Mau tahu saja atau mau tahu banget?" tanyaku menggoda Andra.
***
Setelah semua berkemas dan rapi, Andra dan kedua orang tuanya mulai meninggalkan ruangan. Aku pamit untuk kembali menemani tante Lidya dan om Danu. Aku hanya mengantar mereka sampai ke depan gerbang rumah sakit.
Sebelum masuk ke mobil yang telah dipesannya, Andra berpesan padaku, "Hati-hati dan terus waspada, ya! Aku tidak mau terjadi hal buruk kepadamu. Terlebih terlibat terlalu jauh ke dalam urusan keluarga mantanmu itu." Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa mampu membalas perkataan Andra.
Aku yakin, dia sangat mengkhawatirkanku. Namun dia juga sadar bahwa dia tidak memiliki hak untuk melarangku ikut campur dan membantu menyelesaikan masalah keluarga Dito. Sebenarnya, aku paham tentang perasaan Andra. Dia sedikit keberatan jika aku masih sering terlibat ke dalam urusan keluarga Dito, namun akunya saja yang tidak tahu diri dan egois.
Dalam langkahku menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar tante Lidya dan om Danu dirawat, aku sekejap seperti melihat sosok Isabela. Segera aku mempercepat langkahku dan berlari menuju ke kamar mereka. Entah apa yang telah terjadi, bercak darah berceceran di lantai. Kudapati tante Lidya yang sedang menangis, pun dengan om Danu.
Aku tidak berani mempertanyakan apa yang tengah terjadi. Aku hanya terdiam membisu tanpa sepatah kata. Aku membantu tante Lidya yang jatuh terjerembap, sementara perawat membatu om Danu yang juga dalam posisi tersungkur ke lantai.
"Maaf ya, Yum … lagi-lagi kami merepotkanmu," kata tante Lidya kepadaku.
"Tidak apa-apa, Tante. Yang penting Tante dan Om baik-baik saja," balasku. "Hmmm … maaf, kalau tidak salah sepertinya barusan Yumi melihat …," tanyaku dengan ragu menyebut nama Isabela di hadapan tante Lidya dan om Danu.
"Isabela," sahut om Danu yang sudah sadarkan diri. "Benar, wanita itu tadi ke sini. Maafkan Om, karena selama ini bersalah besar kepadamu dan teman-temanmu. Terlebih kepadamu, Lidya istriku. Semoga Kamu masih mengizinkanku memanggilmu dengat sebutan itu," kata om Danu penuh penyesalan.
"Alhamdulillah, Papa sudah sadar atas kesalahan yang selama ini Papa lakukan. Mama setiap saat selalu memaafkan Papa. Karena hari seperti inilah yang selalu Mama nantikan, di mana Papa sadar bahwa selama ini Papa sudah berbuat banyak kesalahan pada keluarga kita," balas tante Lidya.
Aku melihat tangis penyesalan yang sangat mendalam dari raut wajah om Danu. Om Danu dan tante Lidya menangis di ranjang masing-masing dengan saling berpegang tangan, karena keadaan tubuh masing-masing yang masih sangat lemas. Aku menduga, kedatangan Isabela ke sinilah yang membuat suasana ruang ini menjadi berubah 180 derajat.
"Yumi juga mau memaafkan om Danu, kan?" tanya tante Lidya kepadaku.
"Tentu saja, Tante. Selama om Danu tulus dan berjanji tidak akan mengulangi apa yang telah ia lakukan kepadaku dan teman-temanku lagi!" jawabku tegas.
"Ya … Om tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi kepadamu dan teman-temanmu. Aku sudah sangat menyesal. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan lagi dengan kedua kakiku yang lumpuh seperti saat ini?" ungkap om Danu menyesal.
"Jangan menyerah, Sayang. Ini semua hanya sementara. Insyaallah nanti Papa juga bisa segera sembuh jika mau berobat dan terapi secara teratur. Tetap semangat, ya!" kata tante Lidya menyemangati suaminya.
"Benar kata tante Lidya, Om. Om Danu jangan menyerah dulu dan harus terus optimis untuk bisa sehat lagi seperti sedia kala," imbuhku.
"Terima kasih banyak, ya. Aku sangat malu kepada kalian yang masih saja sudi memaafkan bahkan memberiku semangat seperti saat ini. Terlebih dengan apa yang telah kulakukan terhadap kalian," ungkap om Danu yang masih sangat menyesal. "Kalau bukan karena kebodohanku selama ini menjalin hubungan dengan wanita brengsek itu, ini semua tidak akan terjadi!" kata om Danu.
"Sudah, Pa … tidak perlu menyalahkannya terus. Toh, bagaimana pun juga … dia adalah ibu dari anakmu juga," kata tante Lidya mencoba menenangkan.
"Aku saja tidak yakin kalau anak itu adalah anakku. Bisa saja dia itu anak dari dirinya dengan pria lain yang diperalat untuk memerasku selama ini," kata om Danu penuh curiga.
"Sudah, Pa … kasihan anak yang tak berdosa itu. Yang berdosa adalah ibunya, bukan anaknya. Jadi sebelum ada bukti yang pasti, anggap saja dia memang anakmu. Sayangi dia selayaknya Kamu menyayangi Dito selama ini," kata tante Lidya yang rela membagi kasih sayang papa dari anaknya itu untuk anak Isabela juga.
"Betapa luar biasa besarnya hati, Ma. Bodoh sekali Aku selama ini selalu menyakitimu," tangis om Danu penuh penyesalan.
"Mungkin ini memang jalan yang harus kita lalui untuk membalik semua keadaan yang kemarin-kemarin kita hadapi," ungkap tante Lidya bijak.
"Mohon maaf, Tante … Om … Saya mau pamit dulu. Karena siang ini Saya ada kelas yang tidak bisa saya tinggalkan," kataku pamit.
"Iya silakan saja. Oh iya … bagaimana kabar teman laki-lakimu yang kemarin masuk rumah sakit?" tanya om Danu secara tiba-tiba.
"Alhamdulillah hari ini dia sudah keluar dari rumah sakit, Om. Baru saja sebelum Saya masuk ke ruangan ini," jawabku.
"Sekali lagi, Om minta maaf ya. Gara-gara tindakan bodoh Saya, temanmu itu jadi korban. Terkait biaya rumah sakit, nanti biar Om yang ganti," kata om Danu.
"Baik, Om. Dengan senang hati," jawabku tanpa ragu. Karena jujur, aku pun kesulitan untuk mengembalikan uang yang telah aku pinjam itu dari Sintia. Lagi pula, itu semua terjadi karena tindakannya sendiri, jadi sudah semestinya ia membayar apa yang telah ia lakukan.
"Ya sudah, kalau begitu Yumi pamit ya!" Aku pamit dan meninggalan om Danu bersama tante Lidya berdua. Aku bahagia melihat mereka akhirnya akur lagi. Terlebih, sekarang aku juga bisa lebih tenang karena tidak akan mendapat gangguan lagi dari om Danu.
Di balik rasa lega yang kurasakan, aku teringat sosok Andra yang selama ini membiarkanku terus terlibat dalam urusan keluarga Dito, mantan kekasihku. Malam ini, aku akan mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Sudah lama aku tidak mengobrol banyak dengannya.
"Hai … sudah lama menunggu?" tanya Andra yang baru tiba setelah beberapa menit kutunggu. "Maaf ya, tadi Aku mengantar Dion sebentar beli buku untuk bahan dia mengerjakan tugas," jelasnya.
"Iya, tidak apa-apa. Jangan terlalu capek dulu, Kamu kan baru saja sembuh, jadi belum pulih sepenuhnya," ungkapku khawatir.
"Cie … ada yang khawatir nih!" Andra meledekku. Seperti biasanya, dia selalu ceria dan humoris.
"By the way … ada apa nih ngajak ketemu malam-malam. Tadi pagi juga baru saja ketemu, masak sudah rindu?" goda Andra.
"Rindu banget!" balasku.
"Aku juga rindu lo!" jawab Andra kembali menggodaku.
"Ih … Kamu itu. Baru juga keluar dari rumah sakit, tapi kok tengilnya enggak berkurang-kurang, ya?" ejekku.
"Tutup mata!" pinta Andra secara tiba-tiba.
"Kenapa memangnya?" tanyaku bingung.
"Sudah menurut saja!" serunya. Aku pun menuruti perkataan Andra untuk memejamkan mata. Beberapa saat setelahnya, aku merasa suasana di sekitarku mulai semakin gelap.
"Buka!" kata Andra. Suasana yang semula masih ramai tiba-tiba hening dan lampu pun redup. Kudapati Andra tengah mendongakkan wajahnya ke arahku dengan menjatuhkan lutut kirinya ke lantai sambil mengulurkan tangannya.
"Maukah Kau menjadi calon istriku?" tanya Andra sembari mengulurkan cincin yang ada di tangannya. Seketika air mataku terjatuh. Aku tak menyangka, malam ini dia akan memberiku kejutan yang luar biasa ini.
Belum sempat aku menjawab, Nada dan Dion berjalan lalu berdiri di belakang Andra. Nada membawa sebuah karangan bunga mawar merah, sementara Dion memetik gitar yang dibawanya. "Ya Tuhan, Aku harus menjawab apa? Apakah ini saatnya Aku benar-benar harus melepas Dito?" tanyaku dalam hati.