MEREKA sama-sama terbawa suasana, entah siapa yang mendahului, keduanya pun mulai saling menyentuh.
Dari sentuhan tangan, hingga beranjak ke sentuhan bibir. Sandi merasa jauh lebih hidup dan sehat, saat kehangatan mulut Laura mencengkram bibirnya dengan sebuah pagutan yang kuat.
"Sial, kamu ternyata begitu membara, Suster." Gairah Sandi meletup-letup membalas pagutan itu.
Sebuah penjelajahan yang dalam telah membawa lidahnya menyelinap masuk ke celah-celah geligi dan lidah si perawat eksotik.
"Hentikan, Mas. Oh, hentikan ...!" seru Laura setengah merengek.
Sandi melepaskan lidahnya dari belitan lidah Laura. "Apakah kamu yakin bisa menghentikan semua ini, Sayang?" tanyanya dengan nafas tersengal.
Laura tak manjawab, membuka mata pun dia enggan. "Sial, kamu ternyata ingin bermain-main denganku?" rutuk Sandi sambil menahan rasa.
Tubuh sintal itu ditariknya ke arah tubuhnya sendiri. "Kamu sudah terlalu lama mempermainkan tubuhku Suster. Saatnya aku yang sekarang mempermainkan tubuhmu."
Lelaki itu mendesis-desis, persis seperti seekor ular membeliti sebatang pohon di tengah padang gersang, yang terpanggang matahari siang.
Bayangan dalam cermin, menyadarkan lelaki itu dari pikirannya yang sempat melayang kemana-mana. Sekarang, Sandi hanya ingin bertemu Hana Aura. Banyak yang ingin ditanyakannya pada wanita itu.
***
HANYA butuh empat puluh lima menit untuk berbenah. Beberapa saat setelah itu, Sandi telah memacu mobilnya kembali ke lokasi acara.
Jalanan yang lengang membuat ia bisa melarikan SUV itu dengan lebih kencang. Hatinya diliputi kecemasan, sebuah rasa cemas yang sulit untuk dijelaskan.
Vila Bidara terlihat megah dari kejauhan. Halamannya masih sepi ketika Sandi memarkir mobilnya di sana.
Dua orang tamu, nampak tengah duduk di sofa lobi vila. Mereka duduk sambil menikmati berita di koran pagi itu.
Meja resepsionis kosong. Hanya televisi yang menempel di dinding bagian dalam yang nampak menyala dengan volume sengaja dikecilkan.
Lelaki itu memencet bel. Pada dering ketiga, muncul lah seorang gadis cantik bergaun batik. Di lehernya, terbelit scraft bermotif cerah dengan warna senada.
"Ada yang bisa kami bantu, Mas?" tanyanya dengan suara mendayu.
"Tamu workshop Kepenulisan Onlen atas nama Hana Aura, check-in di kamar nomor berapa, Mbak?" tanyanya sambil menelekan siku di meja resepsionis itu.
"Sebentar, ya Mas." Gadis berbaju batik mulai mencek daftar tamu.
Dengan sabar, Sandi menunggu petugas berseragam itu membuka file daftar tamu di layar monitornya.
Sesaat setelah mencari dengan teliti, si petugas mengangkat kepalanya. "Maaf Mas, sepertinya tamu atas nama Hana Aura sudah check-out beberapa waktu yang lalu." Petugas itu menjelaskan.
"Check-out?" Sandi mengulangi perkataan si petugas berseragam.
"Kata mbak Hana, ia batal ikut acara karena ada urusan mendadak di Jakarta." Petugas itu mengulangi pesan yang disampaikan Hana kepadanya.
Duk!
Sandi merasa ada yang memukul bagian dalam kepalanya. Rasa kecewa dan marah, memunculkan beribu pertanyaan yang menohok-nohok di ulu hatinya.
'Kenapa kamu melakukan ini padaku, Hana? Kenapa, sayang, kenapa …?' tanyanya berulangkali di dalam hati.
Dengan gontai, ditinggalkannya lobi vila itu, dan melangkah menuju ke parkiran. Sandi menghidupkan mesin mobil dengan perasaan kacau.
Tak lama kemudian, SUV itu pun terlihat menggelinding perlahan-lahan meninggalkan halaman vila Bidara, menuju ke jalan utama.
Aneka ragam bentuk vila dan cottage yang berjejer rapi di sepanjang pantai Anyer, nampak tak menarik lagi baginya. Sandi patah semangat. Dia sudah kehilangan minat dengan semua keindahan itu.
Untuk kembali ke cottage, Sandi memilih jalan lain. Jalan yang dipilihnya adalah jalanan kampung yang jarang dilalui kendaraan. Setidaknya jalanan itu bisa menjauhkannya dari segala kenangan tentang Hana Aura.
Masih terlalu pagi, tapi hati Sandi sudah demikian murung. Sarapan yang diantarkan room boy pun sama sekali tidak disentuhnya. Begitu pula dengan semua kegiatan lainnya. Sandi seperti kehilangan minat.
Di atas nakas kecil itu, entah sudah berapa kali ponselnya bergetar dan berputar-putar minta direspon. Namun, jangankan menjawab, melihat pun dia tidak. Di dalam kepalanya hanya ada satu pertanyaan saja, 'Hana kamu dimana?'
***
Para penulis yang hadir di sana, rata-rata membawa serta rasa penasaran dan keingintahuan mereka yang besar pada satu hal yang sama.
Mereka saling memendam rasa ingin tahu. Seperti apa wujud nyata dari para anggota grup whatsapp binaan Sandi Lakaran.
Walaupun beberapa di antaranya masih terlihat begitu canggung memaknai pertemuan itu. Namun, dari sorot mata mereka, tercermin rasa antusias untuk mengikuti acara yang digelar sore itu.
Sandi mengenakan celana jeans dipadu t-shirt biru langit yang nampak begitu pas membalut tubuh atletisnya.
Kacamata yang dipakainya pun, makin menambah kharisma dan kesan angker, di wajah lelaki itu.
Karakter lelaki sejati yang selalu tak ingin dibantah. Begitulah kesan yang ditimbulkan oleh penampilannya.
Beberapa penulis nampak ragu saat hendak mendekatinya. Namun, ketika bibirnya tersenyum, semua kesan angker itu pun luntur seketika.
~ Happy reading Beib ~