SANDI sadar, dia tak akan bisa menenangkan Hana, karena jarak mereka yang begitu jauh?
Bila saja mereka saling berdekatan, mungkin sebuah sentuhan atau tatapan mata penuh empati, bisa membuat semuanya jadi sedikit lebih baik.
Tapi sepertinya tidak untuk saat ini. Sandi benar-benar pusing memikirkan cara apa yang bisa membuat Hana mengerti.
["Cinta memang tidak perlu balasan. Aku yang salah karena telah menuntut sesuatu yang memang bukan hakku."] Kalimat Hana kembali membuat Hati Sandi beriak.
["Hana, hentikan!"] serunya berupaya menahan emosi.
["Sudahlah, Mas. Sekarang aku sudah paham semuanya. Aku berjanji tidak akan pernah menghubungi Mas lagi. "] Hana seolah akan menghakhiri percakapan itu.
["Aduh, Hana. Jangan pernah mengambil keputusan di saat emosimu begitu kacau."] Sandi mencoba mengingatkan.
["Please, dengarkan aku dulu. Semuanya tidak seperti yang kamu fikirkan,"] ujar lelaki itu dengan suara begitu berharap.
["Aku mencintaimu, Hana. Sangat mencintaimu. Apa kamu fikir mudah ditinggalkan begitu saja? Ditelantarkan tanpa berita? Menunggu yang tak pernah pasti?"] Suara Sandi memelas.
["Aku juga sangat menginginkan apa yang kamu impikan. Tapi kita bukan sosok sendiri, yang hanya memiliki kebutuhan pribadi."] Suara lelaki itu setengah tercekik.
Setelah berkali-kali menarik nafas Sandi akhirnya mampu melanjutkan kalimatnya. ["Masing-masing kita sama-sama memiliki tanggung jawab, Hana. Ada perasaan yang harus dipertimbangkan."]
Hana tak menjawab. Semua kalimat yang diucapkan Sandi, sejak awal sudah diduganya akan diucapkan lelaki itu.
Melihat Hana tak bereaksi Sandi kembali bersuara. ["Kalau hanya untuk diriku, tak ada yang perlu diragukan lagi. Aku dengan segenap jiwa raga akan memilihmu, hanya dirimu. Kamulah wanita pertama yang bisa membuat aku mampu merindu dalam resah, dan membayangkan dalam gairah."]
["Cukup."] Hana muak mendengarkan omong kosong.
["Belum."] Pungkas Sandi merasa belum selesai bicara.
["Aku tidak mau mendengar lagi,"] balas Hana. Suaranya terdengar tegas.
Sandi terdiam, ["Begitukah? Lalu apa yang bisa membuat kamu tenang? Tolong katakan padaku."]
["Aku yang salah menjatuhkan pilihan pada hatimu Mas,"] ketus Hana.
Sandi membalas suara ketus itu dengan tertawa kering. ["Jangan berbohong, karena semua kebohongan hanya akan sama-sama menyakiti kita."]
["Bukan cuma buat dirimu Hana, tapi juga diriku. Namun, bila kebohongan yang bisa menyelesaikan masalah ini, maka aku akan melakukannya buatmu."] Suara itu lebih berupa keluhan dari pada sebuah pernyataan.
Sandi memang putus asa mendengar apa yang diucapkan Hana setelah itu. Semua ucapannya berisi untaian kata penyesalan yang memancing air mata.
Sandi Lakaran tahu, semua kalimat yang diucapkan Hana Aura hanyalah pelampiasan dari keinginannya yang tak sampai.
Dia sangat paham soal itu. Bagaimana tidak, bila semua kata yang diucapkan Hana adalah pantulan suara hatinya sendiri. Jeritan kalbunya juga.
Sandi sudah tak tahan lagi. Sudah saatnya untuk menghentikan permainkan kata-kata yang terjadi di antara mereka. Lelaki itu pun tak ingin Hana berlarut-larut dalam emosi dan kebimbangan.
Mau tak mau lelaki itu harus memilih di antara dua wanita yang saat ini sama-sama mengisi relung hatinya. Bila dia memilih Hana Aura, bagaimana nasib ketiga anak-anaknya.
Sebaliknya, bila dia memilih Laura, Hana tidak akan terlalu kecewa, karena dia masih memiliki suami yang sah, dan mencintainya.
Toh tadi Hana berkata, persoalannya bukan karena dia tak cinta dengan suaminya, tapi karena dia ingin Sandi menikahinya.
Realita kehidupan sepertinya memang tidak memberi banyak pilihan kepada Sandi.
["Baiklah, Hana. Dengar baik-baik apa yang akan aku katakan,"] Sandi menghela nafasnya dengan sekali tarikan kuat.
["Apa yang ingin kamu katakan?"] suara Hana begitu datar. Sandi merasa sedih mendengar suara yang ketus itu.
Meskipun sekarang mereka bisa saling menatap, tapi mereka tidak berada di tempat yang sama.
Semua serba terbatas dan berjarak. Tapi Sandi tetap bisa merasakan aura kemarahan dan terluka yang begitu dalam, setiap kali Hana bersuara.
["Maafkan aku Han, aku sebenarnya tak pernah mencintaimu."] Sandi mengucapkan kata itu dengan sedih, bahkan bibirnya pun sampai gemetar ketika mengeja huruf demi huruf dengan perlahan.
Hasilnya luar biasa. Tidak ada lagi jawaban, tak ada lagi kata-kata penuh emosi atau bahasa yang begitu putus asa.
Layarnya tiba-tiba kosong, Hana telah meninggalkan percakapan itu. Hening sesaat. Sandi merasa otaknya buntu. Tapi apa yang hendak disampaikannya belumlah tuntas.
Ia melanjutkan semua yang masih bersisa di dalam kepalanya, ke dalam tulisan di chatting room whatsapp Hana Aura.
Laki-laki itu tak tahu seburuk apa hubungan Hana dengan suaminya. Sehebat apa khayalan yang telah terbangun di kepalanya.
Tapi dia merasa Hana Aura memang harus berhenti memikirkannya, demi kebaikan semua pihak.
Memang benar, bahwa hubungan yang dijalin di luar hubungan sah yang telah ditakdirkan Tuhan, sangat berpotensi menghancurkan diri dan kehidupan pelakunya.
Sandi mengabaikan kata hati. Dia menulis dengan penuh kesadaran. Hasilnya, Sandi tak hanya menyakiti Hana, dia pun juga tengah menyakiti dirinya sendiri.
["Aku tak pernah menyayangimu Hana. Jadi, aku ikhlas kalau memang kau memang ingin mengakhiri semuanya."] itu barisan pertama yang ditulisnya.
["Aku sudah terbiasa gagal, aku amat sering menelan kegagalan, kesedihan, kesialan, keputus-asaan."] Dibacanya berulang kali kalimat itu sebelum menekan enter. Kalimat itu terkirim ke whatsapp Hana.
Baris terakhir dan kalimat yang ditulisnya berbunyi, ["Bila hari ini aku mencicipinya kembali? Tidak masalah. Aku tidak akan terkejut. Karena aku telah begitu hafal rasanya."]
Tak ada respon. Hanya ada centang satu di akhir kalimat yang ditulis Sandi.
Apakah Hana memblokir nomor whatsapp Sandi? sepertinya tidak, karena dia masih melihat foto profil di akun whatsapp Hana Aura.
BETAPA banyak manusia menyalahgunakan kata "cinta" yang sesungguhnya amatlah indah dan suci.
Hampir semua orang mempunyai pandangan dan keinginan untuk memaksakan cinta.
Bedanya hanya pada sikap. Ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian orang yang bersikap kasar.
Apakah yang selalu didengung-dengungkan selama ini cinta? Benarkah itu cinta? Ketika orang berani bersumpah bahwa dia itulah cinta, maka hati kemudian jadi egois.
Keinginan agar orang yang dicintai bisa membalas cinta dengan sama besarnya makin menggebu.
Kita pun menginginkan orang yang kita cintai dapat menyenangkan hati, melayani jiwa, dan memenuhi hasrat.
Kemudian cinta semakin menuntut. Hanya dia lah yang harus selalu dilihat, yang selalu terlihat. Tak boleh ada yang lain lagi.
Bila semua keinginan ini dilanggar, walau satu saja dari sekian banyak kehendak cinta, yang tak terpenuhi, "cinta" akan berubah bentuk menjadi kebencian yang penuh dengan cemburu dan kecewa.
Apakah ini memang sejatinya cinta? Ataukah ini hanya satu cara dalam memenuhi keinginan hati kita, memenuhi kesenangan, baik lahir maupun batin?
Sandi masih bisa melihat air mata yang mengalir dari pipi tirus Hana. Semakin dipikirkan, bayangan itu terasa menyiksanya.
Tak jauh berbeda dengan perasaannya sendiri, bahkan mungkin persis sama dengan luka yang telah dibuatnya sendiri.*
~ Happy reading Beib ~