"MAAFKAN aku Mas," isaknya. Haikal terpana melihat luapan emosi Hana berubah menjadi tangisan.*
"Aku yang mestinya minta maaf. Selama ini akulah yang kurang memberi perhatian kepadamu," bujuk Haikal terharu.
Haikal tak tahu, kalau air mata yang tercurah di wajah istrinya bukan semata karena liburan yang terlambat.
Tangisan Hana juga bentuk dari penyesalannya pada sebuah kesalahan fatal yang tak sengaja dilakukannya bersama Sandi. Haikal mempererat pelukannya saat Hana kian terisak di dadanya.
Sebenarnya Haikal adalah lelaki dan suami yang baik. Di awal-awal pernikahan, kebahagiaan yang mereka rasakan nyaris tak bercacat.
Kesibukan kerja lah yang telah membuat semua kemesraan di antara mereka berkurang bahkan nyaris menghilang seiring berjalannya waktu.
"Sayang maafkan aku. Selama ini aku memang terlalu sibuk dengan begitu banyak urusan di kantor." Suara Haikal memelas.
Dibelainya rambut Hana dengan perasaan bersalah yang dalam. Di sela-sela tangisnya, Hana menikmati sentuhan penuh kasih sayang yang diberikan oleh lelaki itu kepadanya.
"Please, Sayang. jangan jadikan kesibukanku sebagai sesuatu yang melukaimu. Karena aku melakukan semua ini demi masa depan kita." Suaranya terdengar begitu memelas.
Haikal memohon kepadanya? Hana tiba-tiba didera rasa bersalah. Apa pantas, orang yang selama ini memberi semua fasilitas hidup kepadanya, malah memohon-mohon untuk minta dimengerti?
Apa pantas, setelah semua pengorbanan yang dilakukannya, Sekarang dia harus pula meminta maaf dan minta dimaklumi oleh istri yang setiap waktu kerjanya hanya duduk manis, menunggu kepulangannya di rumah?
'Istri macam apa aku ini sebenarnya? Hana menuding diri sendiri sebagai wanita tak tahu diri.' Tubuh wanita itu menggigil menyadari semua kenyataan yang terjadi.
'Ya, Tuhan ...! Benarkah seburuk itu kepribadianku?' raung batin Hana Aura.
"Aku tahu, banyaknya tugas dan tanggung jawab yang kuemban, telah membuat hubungan kita nyaris kehilangan romantis." Suara Haikal masih terdengar memelas.
"Aku tahu, pekerjaan ini telah merubahku menjadi robot waktu. Dari semua rutinitas yang kulakukan, tak satu pun yang menyertakanmu di dalamnya." Hana makin nelangsa mendengarnya.
"Aku juga tahu, bila kamu menginginkan kebersamaan kita, maka kau harus membuat rencana lebih dulu." Haikal menarik nafas berat, sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Aku sudah tak punya waktu lagi untuk bercanda dan berkengkrama dengan istriku sendiri." Hana gerah mendengar nada bersalah di setiap kalimat yang diucapkan Haikal.
"Cukup Mas, cukup! Aku yang bersalah dalam hal ini. Aku yang terlalu mendramatisir hidup. Padahal, mestinya aku mendukungmu. Bukan malah memojokkanmu seperti ini." Sedu sedan Hana, membuat kata-kata yang diucapkannya jadi terputus-putus.
"Sssst, sudah Sayang, sudah! Kita tak perlu berlarut-larut membahas ini bukan. Aku tak mau merusak suasana yang kita dapatkan dengan susah-payah."
Dengan sesugukkan Hana mengangguk. Haikal makin mempererat pelukannya di tubuh Hana yang molek.
***
HANA Aura adalah pribadi yang hangat dan manja. Terkadang Haikal bingung juga menghadapi kelakuannya.
Di usianya yang sudah matang ini pun, kemanjaanya tak pernah berkurang. Bahkan akhir-akhir ini, sikapnya malah jauh lebih manja dari biasanya.
Keintiman mereka pun belakangan jadi kian intens dari biasanya. Haikal mengukir senyuman penuh arti, bila ingat bagaimana Hana semalam memperlakukan dirinya.
Sebagai istri tak ada yang kurang pada diri Hana Aura. Baik dari fisik maupun sikap dan perilakunya. Hana adalah wanita yang nyaris sempurna, walau sampai saat ini mereka belum juga dikaruniai anak.
Semua itu bukan kesalahan Hana, Haikal lah yang tak mampu dalam hal ini. Untung saja sejauh Hana tak pernah mempermasalahkannya.
"Asal Mas Haikal setia, aku tak akan mempermasalahkannya." Hana membisiki suaminya, suatu kali, saat mereka tengah duduk santai di depan televisi.
"Makasih, Sayang, kamu benar-benar istri yang baik," kata Haikal sambil menarik Hana ke dalam pelukannya.
Haikal, mengenyahkan bayangan yang melintas di kepalanya seiring dengan redanya isak tangis Hana yang masih didekapnya dengan erat.
"Kita kembali ke hotel ya, Sayang?" tanyanya dengan lembut.
Hana Aura mengangguk patuh. Tanpa melepas pelukannya, lelaki itu mengajak istrinya masuk ke ruang kemudi.
Ruang kemudi dilengkapi alat komunikasi termasuk juga GPS dan pendeteksi kedalaman air. Dua kokpit yang tersedia, bisa dipakai lebih dari satu operator.
Di dalam kokpit itu, Hana Aura duduk persis di samping Haikal yang tengah memegang kemudi.
"Ini keluaran terbaru, loh Han. Speedboat ini dilengkapi dengan berbagai fitur canggih yang bisa mengurangi hambatan gelombang air, untuk mencapai kecepatan maksimal." Haikal menjelaskan panjang lebar.
"Mau belajar mengemudi?" tanya lelaki itu kemudian.
"Enggak." Jawaban spontan Hana membuat Haikal terkekeh.
Haikal berdecak beberapa kali, "Padahal enak lo! Kalau kamu sudah terbiasa membawanya, rasanya jauh lebih enak dari pada mengendarai mobil."
"Mau coba, nggak?" Melihat gaya suaminya mempromosikan benda itu, Hana pun jadi tertarik.
Dengan ragu-ragu dia mendekat. Haikal menempatkan tubuh Hana persis di depan tubuhnya sendiri. Kedua tangan istrinya diletakkan Haikal di atas gagang setir.
"Speedboat ini sanggup melesat lebih dari 160 km/jam di atas permukaan air," kata Haikal, kembali menjelaskan keunggulan dari speed boat yang sekarang dikemudikannya.
"Apa kita sanggup mengendalikan benda ini, dengan kecepatan segitu?" Pertanyaan Hana membuat Haikal jadi tergelitik untuk menggodanya.
"Bisa dong! Tapi kalau buatku, sih. Rasanya jauh lebih suka mengendalikan kecepatan saat bersamamu saja," kelakar Haikal
sambil terbahak-bahak.
"Mas Haikal ...! Aku ngebut nih." Hana pura-pura sewot. Dia berancang-ancang menekan pedal gas untuk menaikkan kecepatan laju speedboat.
"Aku ngikut aja, Han. Asal bersamamu, baik dan buruk pun, aku enggak masalah," Haikal terus-menerus meledek Hana.
"Ih, Mas nggak asyik, ah!" Hana mengeluarkan jurus pamungkasnya. Laki-laki itu terkekeh merasa berhasil mencandai istrinya.
"Kayaknya kita mesti cepat-cepat ke hotel," suara lelaki itu berubah serius.
"Memangnya kenapa, Mas? Ada pekerjaan lagi ya?" tanya Hana curiga.
"Iya, aku sedang kepingin bikin proyek maha cinta bersamamu." Haikal sengaja meletakkan kepalanya di atas pundak Hana, saat mengatakan hal itu. Nafasnya yang hangat menyelusup ke seluruh tengkuk perempuan itu.
Hati Hana langsung berubah cerah, pipinya pun terlihat bersemu merah. "Ih, apaan sih." Benar-benar sebuah penolakan yang penuh kepura-puraan. Dan, mereka berdua sama-sama memahaminya.
"Yuk! Kemudikan benda ini dengan kencang," ajak Haikal, sembari meletakkan tangannya di atas jemari Hana Aura.
Berdua mereka mengemudikan laju speedboat hingga akhirnya sampai di dermaga.
Kedatangan mereka di dermaga, membuat beberapa ekor camar yang sedang terbang menukik, segera berhamburan dan terbang tinggi kembali.
Sementara di atas pagar jembatan kayu, beberapa ekor yang lainnya hanya melompat dari satu tiang ke tiang yang lain.
Haikal memarkir speadboat di bantu oleh pemiliknya. "Sudah selesai aja Pak?" tanya lelaki separuh baya itu ramah.
"Hari ini nggak ada ikan yang nyantol di joranku."
"Oh, ya? Padahal cuaca cukup bagus kan Mas?"
"Ya, mestinya banyak, tapi sejak pagi tak ada yang berminat dengan umpan yang kuberikan."
"Mas pakai umpan apa?" tanya kelaki itu kembali.
"Udang, seperti biasanya," jawab Haikal. "Tapi nggak apa-apa juga sih, aku malah berhasil memancing yang lebih besar dan lebih berharga."
Mata Haikal melirik pada Hana Aura, yang terlihat tengah memasang jubah mandi ke tubuhnya.*
~ Happy reading Beib ~